- Nelayan Natuna dan Anambas Provinsi Kepulauan Riau terusir oleh kapal ikan asing (KIA) trawl dari Vietnam dan China di laut mereka sendiri. Akibat maraknya KIA tersebut mereka tidak bisa melaut di laut sendiri.
- Nelayan memaksakan diri mencuri ikan di laut negara lain yaitu Malaysia dan Brunei Darussalam. Kondisi ini sudah terjadi tiga bulan belakangan.
- Nelayan sudah memahami resiko mencuri ikan di perairan orang lain, tetapi bagi mereka itu jalan satu-satunya untuk bisa menafkahi keluarga.
- Pengamat menilai pemerintah abai terhadap keselamatan nelayan yang tertuang dalam UU No.17/2015 yang mengatur keselamatan dan pemberdayaan nelayan. Pemerintah harus mencarikan solusi, mengembalikan laut Natuna Utara untuk nelayan lokal.
Nelayan Natuna dan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau terusir dari laut mereka sendiri. Akibat maraknya kapal asing yang mencuri ikan dan merusak ekosistem laut Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 711 itu. Perjuangan protes nelayan lokal kepada pemerintah belakangan ini tidak membuahkan hasil. Puluhan hingga ratusan kapal ikan asing (KIA) terus masuk ke laut Natuna beberapa bulan terakhir. Bahkan KIA itu masuk jauh ke pesisir Natuna.
Nelayan Natuna mengaku tidak bisa berdiam diri melihat kondisi itu. Mereka tidak patah semangat untuk mencari nafkah di laut. Salah satu cara yang dilakukan adalah menangkap ikan di negara lain secara ilegal, seperti di perairan Malaysia hingga ke Brunei Darussalam.
“Bagaimana lagi, di laut kita karang rumah ikan sudah rusak, tidak ada lagi ikan,” kata Rahmat Wijaya salah seorang nelayan Natuna kepada Mongabay Indonesia, Kamis (21/7/2022).
Ancaman Ditangkap
Rahmat dan ratusan nelayan Natuna lainnya memahami resiko yang akan diterima ketika mencuri ikan di perairan negara lain. Namun, kondisi itu terpaksa dilakukan nelayan karena laut sendiri tidak ada ruang lagi. Kucing-kucingan terjadi antara kapal patroli Malaysia dan nelayan lokal Natuna ketika melaut di negara tersebut.
Resiko yang ditakuti nelayan tersebut sudah menimpa beberapa kolega Rahmat. Petugas patroli Malaysia memberikan peringatan dengan cara menyita ikan hasil tangkapan nelayan. “Tidak hanya itu, solar nelayan juga disita mereka,” kata Rahmat.
Menurut Rahmat, petugas patroli laut Malaysia mengerti nelayan Natuna yang mencuri di laut mereka bukanlah menggunakan alat tangkap yang merusak seperti yang dilakukan kapal asing Vietnam atau China di laut Natuna. Sehingga petugas patroli hanya memberikan peringatan kemudian menyuruh mereka keluar dari perairan Malaysia.
Nelayan tidak tahu lagi harus berbuat apa di tengah kondisi laut mereka yang terus dirusak kapal asing. Satu sisi nelayan harus bertahan mencari nafkah untuk keluarganya yang menunggu di rumah. “Kalau sudah seperti ini, Pemerintah masih diam. Kami tidak tahu lagi harus apa,” ujar Rahmat.
baca : Banyak Kapal Asing di Natuna, Sayangnya Patroli Laut Terbatas
Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN) Hendri membenarkan bahwa nelayan Natuna dan Anambas sudah tiga bulan belakangan terpaksa menangkap ikan secara ilegal di perairan Malaysia dan Brunei Darussalam. Hasil tangkapan nelayan di laut sendiri (Natuna Utara) jauh berkurang akibat intrusi kapal asing dari Vietnam dan China beberapa waktu belakang.
Laporan nelayan kata Hendri, banyak spot karang ikan tempat nelayan memancing rusak disapu oleh trawl kapal asing. Nelayan yang memaksakan untuk melaut di perairan Natuna terus mengeluh setelah kembali ke darat, mereka tidak mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan.
“Bahkan mereka tidak bisa mengganti modal yang dikeluarkan untuk melaut, nelayan betul-betul sudah terganggu,” katanya.
Kondisi itu, memaksa nelayan mencuri ikan di laut Malaysia dengan resiko yang tinggi. Hendri juga mendapatkan laporan dari anggota aliansi, mereka harus harus kejar-kejaran dengan kapal patroli laut negara Malaysia ketika melaut. “Kalau lihat marine Malaysia, nelayan Natuna lari,” katanya.
Nelayan Natuna, bahkan sudah memahami, waktu yang tepat untuk mencuri, yaitu ketika kapal patroli Malaysia libur patroli yaitu pada akhir pekan. Tidak hanya kapal berukuran besar kata Hendri, kapal nelayan yang berukuran 5 gross tonnage (GT) juga terpaksa melaut ke Malaysia.
Dari analisa ANN, hasil tangkapan nelayan ketika melaut di perairan Natuna jauh berbeda dengan melaut di laut Malaysia atau Brunei Darussalam. Diperkirakan tiga hari melaut di negara tetangga itu, nelayan bisa mendapatkan ikan 800 kilogram sampai 1 ton ikan menggunakan alat tangkap tradisional, pancing ulur. Sedangkan ketika melaut di Natuna kata Hendri, selama 14 hari nelayan hanya bisa mendapatkan ikan maksimal 400 kilogram dengan alat tangkap yang sama.
Hendri tidak bosan-bosan sudah melaporkan masalah intrusi KIA di laut Natuna tersebut. Tetapi sampai saat ini tidak ada tindakan konkrit untuk mengusir KIA dari Natuna. “Lucunya kapal asing ke tepi, kapal perang (patroli) Indonesia jauh ke tengah. Pertanyaannya sekarang, siapa mengawasi siapa,” kata Hendri.
baca juga : KKP dan TNI AL Tangkap Kapal Ilegal, Nelayan Natuna Terus Menjerit
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, negara Indonesia tidak memberikan akses nelayan Natuna terhadap laut mereka sendiri. Artinya, pemerintah tidak mematuhi UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. “Pemerintah harus mengembalikan laut Natuna untuk mereka. Nelayan punya kedaulatan yang dijamin oleh negara,” katanya.
Tidak hanya itu, secara konstitusi ada Keputusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 yang menyebutkan bahwa nelayan punya hak akses laut. “Negara artinya lalai menjamin hak itu terpenuhi,” katanya.
Jangankan soal akses hak ruang laut, akses untuk mendapatkan kartu asuransi nelayan perlu perjuangan yang cukup besar. Apalagi soal ruang laut yang berkaitan dengan investasi. “Ironis, nelayan harusnya merebut hak mereka itu,” kata Susan.
Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim Indonesia Abdul Halim menyayangkan kasus maraknya kapal asing ilegal di Natuna membuat nelayan terusir dari laut mereka sendiri. Beberapa kali Halim mengadvokasi nelayan yang tertangkap di Malaysia ditahan tiga sampai enam bulan. “Ini ironis, resiko sangat besar, kalau ditangkap denda juga besar,” katanya.
Nelayan menjadi korban akibat pembiaran kapal asing yang melakukan pencurian ikan di Laut Natuna. Pengabaian itu sudah jelas melanggar ketentuan UU No.7/2016. “Ini jelas pengabaian, padahal UU menegaskan keselamatan nelayan, jelas ini pelanggaran,” katanya.
Nelayan harus bergerak menggugat pemerintah untuk kembali melaksanakan mandat yang tertera di UU tersebut. “Nelayan harus bergerak kirim surat secara resmi kepada Presiden dan pihak terkait, bahwa WPP 711 harus dikembalikan untuk nelayan,” katanya.
Halim mengatakan, pemerintah tidak bisa lepas tangan terkait nasib yang dihadapi nelayan Natuna saat ini. Ruang laut nelayan harus dikembalikan seperti tertera dalam konstitusi.
baca juga : KIA Vietnam Makin Berani di Natuna, Nelayan: Kami Mau Makan Apa?
Solusi Diplomasi
Permasalahan konflik hancurnya laut Natuna oleh kapal asing yang merugikan nelayan lokal sudah terjadi sejak lama. Susan melihat selama ini permasalahan kapal asing yang mencuri ikan, sebatas ditangkap kemudian diberitakan di media. Tetapi upaya secara diplomatik terlihat masih kurang. “Jadi seolah-olah di media gagah (melakukan penangkapan), tetapi implementasi di lapangan tidak seperti itu,” katanya.
Menurutnya harus ada upaya diplomasi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia di Laut Natuna, melihat selama ini belum ada penangan progresif dari pemerintah Indonesia untuk berdaulat di laut Natuna Utara. “Harus kita akui pengamatan laut juga masih lemah,” katanya.
Susan sangat menyayangkan pemerintah masih beralasan permasalahan ini terjadi karena keterbatasan anggaran. “Sudah berganti menteri beberapa kali, masalah anggaran tidak bisa diselesaikan, artinya negara ini nggak belajar bertahun-tahun, untuk mengatasi masalah ini,” katanya.
Solusi anggaran kata Susan, bisa saja melalui pemberdayaan nelayan untuk menjaga laut Natuna Utara. “Masalah ini tidak bisa diselesaikan seperti menghadapi kebakaran, kalau ada api baru sibuk,” katanya.
Sekarang ini kata Susan, efek jera tidak hanya lagi bisa dengan memberikan penangkapan, penenggelaman, ataupun membakar kapal asing yang ditangkap. Tetapi, harus lebih progresif dari pada itu.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso mengatakan, dalam UNCLOS sudah dijelaskan Indonesia sebagai negara bendera (flag state responsibility) memiliki kewajiban untuk mencegah, menanggulangi, dan memberantas IUU Fishing oleh kapal ikan Indonesia di semua zona maritim. “Termasuk ZEE (zona ekonomi eksklusif) negara lain,” katanya.
Imam sependapat dengan nelayan, bahwa terjadi pembiaran terhadap praktik illegal fishing oleh KIA di Laut Natuna Utara. “Kondisi itu sangat berdampak buruk bagi ekosistem dan mendorong Kapal Ikan Indonesia melakukan illegal fishing di ZEE negara lain karena terdesak oleh KIA di Laut sendiri,” katanya.
baca juga : Laut Natuna Diatur Zonasi, Nelayan: Jangan Batasi Kami
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap empat kapal ikan yang ditengarai menangkap ikan secara ilegal di Selat Malaka dan Perairan Ternate.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksmana Muda TNI Adin Nurawaluddin menyampaikan kapal yang ditangkap tersebut terdiri dari dua Kapal Ikan Asing (KIA) berbendera Malaysia dan dua Kapal ikan Indonesia. Dua KIA Malaysia tersebut adalah 2 (dua) KIA Malaysia, PKFB 1269 (97,71 GT) dan PKFB 1280 (93,11 GT), sedangkan dua Kapal ikan indonesia adalah KM. Najwa Nahda (24 GT) dan KM. Suci Asti (14 GT).
“Dua KIA Malaysia ditangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 571 Selat Malaka pada Rabu (8/6) sedangkan Dua KII diamankan di WPPNRI 715 Perairan Pulau Ternate pada Kamis (9/6)”, terang Adin dalam siaran pers KKP, Minggu (12/6/2022).
Penangkapan keempat kapal ikan tersebut mempertegas komitmen KKP dibawah kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono dalam menjaga kedaulatan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Selama 2022, KKP telah menangkap 79 kapal ilegal yang terdiri dari 8 kapal berbendera Malaysia, 1 kapal berbendera Filipina, dan 68 kapal ikan Indonesia.
Sebelumnya Menteri Trenggono dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan kepada seluruh jajaran Ditjen PSDKP yang didaulat sebagai benteng KKP, untuk menindak tegas pelaku illegal fishing yang beroperasi di WPPNRI.