- Peringatan Hari Mangrove Sedunia dilakukan dengan aksi menanam di kawasan yang sedang bergejolak karena penolakan warga Desa Adat Intaran, Sanur, Bali, dengan rencana pembangunan terminal gas LNG di kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai.
- Pemerintah sebelumnya mewacanakan hutanmangrove sebagai showcase KTT G20 di Bali pada November ini. Sejumlah proyek revitalisasi mangrove, termasuk di Tahura Mangrove Ngurah Rai Bali dibuat untuk menyambut delegasi G20.
- Pemrakarsa proyek pembangunan terminal LNG ini menyebarkan siaran pers tentang upaya mengkaji kembali lokasi terminal LNG.
- Warga Desa Adat Intaran yang selama ini melakukan aksi penolakan sejak Juni lalu meminta kepastian rencana pembangunan terminal gas LNG dengan pencabutan semua izin.
Hutan mangrove diwacanakan jadi showcase ajang KTT G20 yang puncaknya November 2022 nanti di Bali. Pemerintah pusat pun sedang mengerjakan proyek revitalisasi di Tahura Mangrove Ngurah Rai, Bali selatan.
Wacana ini dijadikan pijakan bagi warga Desa Adat Intaran, Sanur yang masih melakukan aksi penolakan pembangunan terminal LNG di pesisir dan area hutan mangrove yang masuk Tahura Ngurah Rai. Pembangunan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) ini dinilai berpotensi merusak kawasan mangrove dan terumbu karang pesisir.
Aksi lanjutan dari sejumlah aksi longmarch yang dilakukan sejak Juni lalu adalah penanaman bibit mangrove di Muntig Siokan, Sanur. Ini adalah kawasan pasir timbul yang dikelilingi mangrove, ditata dan dikelola desa adat Intaran. Muntig adalah istilah untuk pasir yang timbul, salah satunya akibat reklamasi Pulau Serangan diseberang pantai Sanur. Sedangkan Siokan, juga istilah lokal siak seok, bergeraknya pasir timbul yang terus berubah bentuk mengikuti arus.
Desa Intaran membuat beberapa fasilitas seperti bungalow, restoran, dan tempat bermain di Muntig Siokan.
Made Madeg adalah salah seorang warga yang ikut menanam bakau pada peringatan Hari Mangrove Sedunia pada 26 Juli 2022 lalu. Desa adat merencanakan menanam sekitar 1000 bibit baru di area yang masih bisa ditambah tutupan mangrove.
baca : Aksi Protes Warga Desa Adat Intaran Sanur terhadap Rencana Proyek Terminal LNG
Hari itu, terlihat ratusan warga turun ke lumpur dan membagi diri menanam bibit yang disediakan Dinas Kehutanan. Mereka membuat lubang dengan alat bantu pembuatan biopori dari besi, kemudian menanam bibit yang sudah setinggi hampir satu meter.
Jenis mangrove dominan di kawasan ini adalah jenis endemik. Warga lokal menyebutnya Prapat. Jenis ini termasuk Sonneratia alba yang memiliki akar mencuat di atas permukaan dan mencengkeram erat seperti kaki laba-laba. Karena itu jenis ini cukup kuat menjadi benteng alami pesisir, misalnya mencegah dampak rob dan tsunami.
Madeg mengingat masa kecil dan remajanya yang mencari nafkah dari rapatnya mangrove di kawasan ini. Pada kurun 1960-an, ia masih bisa menangkap aneka jenis kepiting dari sekitar 200 perangkap atau bubu yang dipasang di kawasan mangrove.
“Waktu itu air masih bersih, sekarang aliran sungai tercemar limbah hotel. Dulu banyak kepiting, ada yuyu andus, bunga, kedungu, bedoong, dan kepiting warna merah,” ia mengingat nama-nama kepiting bakau dan laut dalam bahasa lokal. Masa terakhir ia menggantungkan diri dari mangrove sekitar tahun 1970-an.
Seiring makin tercemarnya kualitas sungai dan laut, keragaman hayati pun berkurang. Terlebih setelah ada proyek mengisi kembali pantai Sanur dengan pasir karena abrasi parah. Proyek menambal pasir ini juga dilakukan di Pantai Kuta.
baca juga : Proyek Energi Bersih Tapi Berisiko Merusak Ekosistem Pesisir dan Mangrove?
Kepala Desa Adat Intaran atau Jro Bendesa I Gusti Agung Alit Kencana dalam kegiatan tanam mangrove ini mengatakan pihaknya mendukung kampanye Presiden Joko Widodo menanam mangrove dan kampanye Gubernur Bali. “Apalagi kegunaanya besar menghindari intrusi air laut, menyerap karbon. Kami akan tetap lakukan sampai area penuh,” ujarnya. Ia mengingat penanaman mangrove secara masif sejak 1990-an pasca kerusakan pesisir akibat meluasnya usaha tambak.
Ia berharap suara penolakan terminal LNG yang direncanakan di dekat kawasan Muntig Siokan ini dibatalkan. “Update terakhir Gubernur katanya proyek tidak ada di mangrove tapi tetap dikaji. Bisa jadi tetap di lokasi mangrove. Harusnya setop, ini yang jadi pertanyaan kami,” lanjut Alit. Sebuah spanduk raksasa yang menanyakan wacana ini juga dipasang di depan pintu masuk Muntig Siokan.
Made Krisna Dianta, Direktur Walhi Bali meminta Gubernur Bali menerbitkan surat keputusan disertai pencabutan semua izin pembangunan LNG di pesisir dan kawasan mangrove tersebut. Agar ada kepastian dan warga tidak risau lagi.
Mengkaji pembangunan terminal LNG
Berkaitan dengan rencana pembangunan terminal LNG di Desa Sidakarya, PT. Dewata Energi Bersih menyampaikan siaran pers pada 13 Juli 2022 yang menyatakan akan mengkaji pembangunan agar dibangun di luar mangrove.
Kepala Humas PT. Dewata Energi Bersih, Ida Bagus Ketut Purbanegara menyebut beberapa hal dalam siaran pers itu. Pertama, pembangunan Terminal LNG Sidakarya merupakan penugasan kepada Perumda Kerta Bali Saguna yang membentuk PT. Dewata Energi Bersih (DEB). Perusahaan ini bekerjasama dengan PT. PLN Gas dan Geothermal untuk mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam penyediaan energi, yaitu Bali Mandiri Energi Dengan Energi Bersih.
baca juga : Warga Intaran Paparkan Dampak Pembangunan Terminal LNG pada Tahura Mangrove
Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, Gubernur Bali telah memanggil jajaran perusahaan milik daerah (Perumda) Kerta Bali Saguna beserta PT. DEB dan memberikan arahan. Di antaranya PT. DEB agar memperhatikan dengan serius aspirasi masyarakat terkait rencana Pembangunan Terminal LNG Sidakarya.
Berikutnya, mengkaji kembali konsep pembangunan Terminal LNG Sidakarya dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, pembangunan terminal LNG tidak boleh berdiri sendiri, tanpa memerhatikan wilayah desa/kelurahan yang terdampak langsung maupun tidak langsung
Kedua, pembangunan yang dilakukan harus bersifat pembangunan kawasan. Di dalam kawasan berisi pembangunan Terminal LNG Sidakarya, skema pengembangan, perekonomian yang memberi manfaat untuk Desa/Kelurahan Sidakarya, Serangan, Sesetan, Pedungan, dan Intaran.
Ketiga, pembangunan Terminal LNG Sidakarya tidak boleh mematikan aktivitas perekonomian, nelayan, di desa/kelurahan terdampak, serta meminimumkan risiko kerusakan lingkungan, sosial dan budaya di wilayah desa/kelurahan terdampak. Keempat, mengkaji pelaksanaan pembangunan Terminal LNG Sidakarya agar dibangun di luar areal mangrove.
Kelima, PT. DEB harus bersinergi dengan desa/kelurahan terdampak, agar harmonis dan mendapat manfaat secara bersama-sama. Selanjutnya disebutkan, konsep pembangunan kawasan sedang disusun oleh kelompok ahli pembangunan yang melibatkan para pakar sesuai keahlian yang dibutuhkan.
perlu dibaca : Padat Karya Penanaman 600 Ribu Hektare Mangrove di 34 Provinsi Dimulai
Proyek mangrove untuk G20
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam website-nya menyatakan penataan kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai untuk menyambut KTT G20 di Bali.
Kementerian PUPR mulai menata kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai pada Januari 2022 dan ditargetkan selesai September 2022. Sehingga pada Oktober 2022 bisa digunakan sebagai showcase mangrove.
Lingkup pekerjaan penataan kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai antara lain pembangunan gerbang masuk, area drop off, wantilan, tracking mangrove, area persemaian, area penerima (lobby, ticketing, kantor penerima), menara pandang, viewing deck ke arah Teluk Benoa, dan area parkir di sekitar Waduk Muara.
Belum ada data terbaru tentang kondisi mangrove Bali saat ini yang bisa diakses. Berdasarkan hasil inventarisasi BP DAS Unda Anyar (2011), dari 2.215,5 hektare luas hutan mangrove di seluruh Bali, terdapat 253,4 hektare atau 11,44% termasuk kategori rusak berat, 201,5 hektare atau 9,10% kategori rusak dan 1.760,6 hektare atau 79,47% kategori tidak rusak.
Ditinjau dari sebarannya menurut kawasan hutan, dari 2.004,5 hektare luas hutan mangrove yang berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu seluas 253,40 hektare atau 12,64% berada dalam kondisi rusak berat, rusak 131,5 hektare atau 6,36% dan tidak rusak 1619,6 hektare atau 80,8%.
Sedangkan dari 211 hektare hutan mangrove di luar kawasan hutan, seluas 83,5 hektare (39,57%) berada dalam kondisi rusak dan 127,5 hektare (60,43%) tidak rusak.
baca juga : Tahura Mangrove: Mudahnya Merusak, Sulitnya Menumbuhkan [Bagian 3]
Sedangkan ditinjau dari sebarannya menurut kawasan, hutan mangrove di kawasan Benoa mengalami kerusakan terluas yaitu 253,5 hektare dalam kondisi rusak berat. Hutan mangrove di Kabupaten Buleleng, Kawasan Teluk Banyuwedang serta Kawasan Pejarakan dan Sumberkima seluruhnya (100%) dalam kategori rusak.
Hutan Mangrove di Kawasan Teluk Trima dan Menjangan berada dalam kondisi rusak mencapai 90,8%, sedangkan hutan mangrove di Kawasan Perancak dan Tuwed, Teluk Gilimanuk dan Nusa Lembongan berada dalam kondisi rusak masing-masing 29,76%, 11,85% dan 4,61%.
Gede Hendrawan, peneliti di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, Denpasar dalam sebuah diskusi lingkungan mengingatkan peran mangrove sangat vital. Menurutnya pertukaran masa air menurun signifikan pasca reklamasi Serangan, apalagi ditambah reklamasi perluasan pelabuhan.
“Tak bisa pembersihan alami. Kalau aktivitas darat meningkat, polutan tak bisa tercuci maka muncul akumulasi polutan. Sedimentasi Teluk Benoa bisa dari darat dan laut karena makin sempitnya kanal Teluk dan Serangan,” jelasnya.
Mangrove adalah pertahanan pertama yang memerangkap sedimentasi. Sedimen terjaga sehingga tak masuk laut. Sehingga padang lamun dan air ke terumbu karang di laut bisa lebih bersih.