- Dampak krisis iklim makin nyata di Sumatera Barat. Pesisir di beberapa wilayah di provinsi itu terus terkikis abrasi. Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut, abrasi pantai terjadi di Padang, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat.
- LRSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan mengambil sampel untuk Padang saja mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun. Kehilangan itu terjadi sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang pada 2009-2018.
- Rumah-rumah miring, bahkan sebagian terpaksa pindah karena pemukiman mereka sudah jadi lautan. Mongabay mendatangi Pantai Air Manis, Pantai Pasia Jambak, di Kota Padang sampai Pantai Baru di Limau Manis, Kabupaten Pariaman.
- Wisnu Arya Gemilang, peneliti geologi lingkungan LRSDKP, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, penting manajemen pantai berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir.
Pesisir Sumatera Barat di beberapa wilayah mulai terdampak krisis iklim. Pesisir terus terkikis abrasi. Rumah-rumah miring, bahkan sebagian terpaksa pindah karena pemukiman mereka sudah jadi lautan. Mongabay mendatangi Pantai Air Manis, Pantai Pasia Jambak, di Kota Padang sampai Pantai Baru di Limau Manis, Kabupaten Pariaman.
Di Pantai Air Manis, rumah warga sudah ada yang rusak terkena abrasi, seperti dialami Yus dan keluarga. Pengalaman mencekam Yus alami September 2021, kala hantaman ombak besar ke rumah mereka. Lantai kamar ambrol dan air laut masuk.
Yus bersama Edi, sang suami dan anak sedang menguras air yang masuk ke kedai, berada di bangunan rumah paling depan. Saat sibuk menguras, terdengar gemuruh mencurigakan. Ketika melihat ke dalam, Yus lemas.
“Onde mande di siko sudah parah,” katanya. Lantai salah satu kamar sudah bolong.
Debur ombak langsung dari tempatnya berdiri. Ada lubang sekitar satu meter. Mereka pun mengeluarkan perabot dalam kamar. Angkut lemari dan dipan ke ruang tengah. Lubang yang menganga di kamar Yus ditimbun pasir dan batu karang dari pulau seberang.
Yus bilang, air laut sering seperti menerpa rumahnya berkali-kali. Pukul 18.00 WIB ke atas, rumah mereka jadi garis pantai. Pada hari berikutnya mereka tidur di kamar yang tak roboh. Meski pun dinding berdentumoleh hantaman ombak.
Karena tak tahu harus pindah kemana lagi dan ekonomi pas-pasan, Yus dan Edi berinisiatif menanam mangrove sedikit dan menumpuk karung-karung berisi pasir dan batu karang di dinding rumah yang menghadap laut lepas.
Kejadian ini membuat pengeluaran mereka bertambah. Mereka membeli selusin karung di pabrik roti Rp300.000. Kadang sebulan dua sampai tiga kali mereka beli. “Pasir sama batu ambil di pulau,” kata Edi.
Peristiwa 2021 itu bukan pertama dan sepertinya bukan terakhir. Yus dan keluarga selalu was-was. Abrasi parah terus terjadi sejak 2015. Hingga kini, kalau sudah masuk musim penghujan, mereka was-was.
Mereka beruntung ajuan pinjaman kedit usaha rakyat (KUR) lolos dengan jaminan motor. Uang mereka gunakan untuk jualan ikan dan kedai makan dan minum kopi bagi warga sekitar dan orang berkunjung.
Ibu anak tiga ini sedikit lega ketika satu anaknya sudah bekerja. Setidaknya, uang mereka bisa untuk memperbaiki rumah. Rumah yang sudah dapat dana renovasi dari Badan Amil Zakat Nasional di Padang.
“Kalau ada uang maulah pindah. Tidak jauh-jauh dari sini juga karena mata pencaharian kami di laut inilah.”
Nada suara Yus naik ketika ingat omongan Walikota Padang, Mahyeldi Ansyarullah– kini Gubernur Sumbar–, datang dan menyuruh Yus dan keluarga pindah begitu saja. Mereka disuruh minta tanah pada ninik mamak.
“Kalau ada uang kami tentu tidak mengeluh ke pemerintah waktu itu,” katanya ketus.
Abrasi tak hanya Kota Padang, juga terjadi di Pariaman, seperti di Pantai Pasir Baru Sungai Limau.
Nur Eli, warga Pasir Baru, ingat betul beberapa bulan lalu dentuman ombak menghantam bagian belakang rumah. Rumah Nur pun ambruk.
Malam itu, rumahnya ramai seperti biasa. Dia tinggal dengan suami dan delapan anak. Mereka panik, berlari keluar rumah.
Setelah reda mereka melihat warung yang biasa digunakan Nur berdagang sarapan pagi juga roboh sebagian. “Usaha kita macet. Ndak bisa jualan,” katanya.
Nur tidak bekerja seperti biasa. “Lokasi sedang tidak mengizinkan. Nunggu bantuan dari pemerintah. Kalau sekarang modal juga belum ada. Kalau sudah ada dana pasti jualan nasi seperti biasa dari pukul 10.00 pagi sampai sore.”
Enekregel, suami Nur masih melaut dari pukul 6.00-18.00. Selama 10 hari berturut-turut melaut sampai ke Tiku, dengan hasil tangkapan mengecewakan.
Enekregel mengatakan, laju kerusakan makin parah pada akhir 2021.
“Ada beberapa bantuan seperti karung pasir. Tapi tetap dimakan abrasi,” katanya. Sumur mereka pun sudah masuk terkena ombak laut walau ada dua batu pemecah ombak mengapit rumahnya.
Tetangga Enek pun alami hal serupa termasuk sebuah sekolah negeri dengan pasir mulai menutupi dinding sekolah.
Pantai Pasia Jambak di Pariaman pun mengalami abrasi parah. Tommy Adam, Kepala Bidang Riset dan Advokasi Walhi Sumbar mengatakan, dampak nyata abrasi di pantai Padang makin meningkat.
“Seperti baru-baru ini terjadi di Pantai Pasia Jambak, gelombang pasir mencapai tiga meter, berdampak di Kelurahan Pasia Nan Tigo.”
Kala itu, gelombang pasir dengan cakupan luas 1.457 hektar dengan garis pantai sepanjang 7,2 km. Dari topografi terletak pada ketinggian 0–3 meter di atas permukaan laut. Kelurahan ini sedang mengalami dampak dan ancaman nyata.
Dari analisis spasial Walhi Sumbar, abrasi mencapai lebih 50 meter di dari bibir pantai Kelurahan Pasia Nan Tigo. Ada ratusan rumah terancam hilang dan diperkirakan kerugian miliaran rupiah karena abrasi. Data Dinas Sosial, 11.581 jiwa penduduk akan terpapar di kelurahan itu.
Faktor internal yang mempengaruhi abrasi, katanya, alih fungsi lahan di Kelurahan Pasia Nan Tigo. “Alih fungsi lahan mangrove atau tanaman rawa menjadi tambak udang.”
Pada 2021, sebanyak 31 petak tambak udang di Kelurahan Pasia Nan Tigo, berasal dari alih fungsi lahan rawa dan hutan mangrove. “Sejatinya, hutan mangrove yang menjaga kestabilan ekosistem pesisir dari gelombang air laut,” katanya.
Menurut Tommy, bila tidak ada antisipasi Pemerintah Sumbar dan Kota Padang bencana abrasi akan banyak merugikan masyarakat. “Maka pemerintah kota harus mengeluarkan anggaran besar untuk relokasi pemukiman, dan mencari alternatif mata pencarian baru bagi warga Pasir Nan Tigo.”
Dampak perubahan iklim
Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan mengambil sampel untuk Padang saja mengalami kehilangan garis pantai 21-49,4 meter per tahun. Kehilangan itu terjadi sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang pada 2009-2018.
Di Kabupaten Padang Pariaman ada sekitar 10,58 meter abrasi terjadi tiap tahun. LRSDKP menyebut, abrasi pantai terjadi di Padang, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat.
Ulung Jantama Wisha, peneliti Oseanografi Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, dampak perubahan iklim seperti kenaikan air muka laut memang terjadi. Kenaikan di Kota Padang 0,37 cm per tahun. Pemerintah berusaha memasang batu grip atau groin untuk mencegah abrasi.
Moushumi Chaudury, Program Director Community Resilience dari The Nature Conservation mengatakan, tidak cukup hanya pembangunan sea wall tetapi perlu rekayasa solusi berbasis alam. Keduanya mesti digabungkan.
Wisnu Arya Gemilang, peneliti geologi lingkungan LRSDKP, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, penting manajemen pantai berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir.
“Ini diakui pemerintah kota dan pemerintah lokal, terlebih pemerintahan Sumatera Barat. Pengembangan dan pertumbuhan kawasan pesisir sangat pesat,” katanya.
Meskipun begitu manajemen pantai harus untuk mencapai penggunaan fisik optimal dan pengembangan sumber daya pesisir selatan. Ia dibuat dengan memperhatikan elemen fisik alami dari lingkungan pantai serta memenuhi dasar kebutuhan sosial dalam lingkungan pesisir.
“Penilaian terhadap indeks kerentanan pesisir mempertimbangkan beberapa faktor penyebab kerentanan pesisir baik faktor alam, antropogenik, sosial ekonomi serta efektivitas respons rekayasa bangun pelindung pantai,” kata Wisnu.
Dia bilang, terjadi ketidakseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Satu buktinya, abrasi-akresi, perubahan sifat air tanah kawasan pesisir menjadi payau-asin dan banyak penurunan tanah di kawasan pesisir padat penduduk.
Menurut dia, ada beberapa faktor lain yang mendorong fenomena abrasi akresi di pesisir Sumbar. Faktor-faktor itu adalah material penyusun pantai, paparan gelombang yang berkaitan dengan lokasi apakah ada pelindung pantai baik natural atau buatan.
“Tata guna lahan terpenting adalah kondisi muara-muara sungai sekitar pesisir yang jadi sumber sedimentasi,” katanya.
Selain itu, fenomena abrasi di Sumbar sangat dipengaruhi kondisi hidrodinamika perairan laut lepas dengan kecepatan energi gelombang cukup kuat. Ini disertai material penyusun pantai berupa material bebas seperti pasir.
“Juga tidak disertai upaya penahan atau peredam gelombang tepat guna hingga makin memperparah fenomena abrasi di beberapa tempat.”
“Penentuan efektivitas pelindung pantai di Sumbar, katanya, sangat penting agar bangunan pelindung pantai bisa efektif meredam energi gelombang dan mengurangi dampak abrasi.
Selain itu, katanya, muka air tanah dangkal di kawasan pesisir jadi satu faktor air tanah pesisir rentan terhadap pencemaran baik antropogenik maupun alam.
Kondisi penggunaan lahan dapat menimbulkan beberapa penyesuaian terhadap alam. Mengingat jumlah sumber daya air tanah pesisir terbatas dan jarak muka air tanah terhadap muka air laut sangat dekat, katanya, dapat memicu proses perubahan kualitas air tanah jadi payau-asin.
Peningkatan ekstraksi air tanah pesisir yang berlebihan, katanya, bisa menyebabkan penurunan muka air tanah. Dengan begitu, zona interface air tanah lebih rendah terhadap zona interface air laut hingga menyebabkan perubahan kualitas air tanah.
Dia bilang, perlu penelitian menyeluruh terhadap fenomena perubahan kualitas air tanah ini hingga dapat diketahui faktor pemicunya, antropogenik atau alam.
********