- Sejak tahun 2000-an terjadi konflik antara manusia dengan gajah di sekitar lanskap Saka Gunung Raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan banyak Kawasan hutan dibuka untuk perkebunan dan pertanian, serta adanya perburuan gading.
- Banyak pendatang dari Jawa dan Lampung yang membuka kebun di sekitar lanskap Saka Gunung Raya, tapi mereka tidak memahami bagaimana bersikap terhadap gajah. Misalnya, membangun rumah atau membuat kebun di jalur gajah.
- Para pendatang seharusnya belajar dari pengetahuan masyarakat lokal, seperti Suku Ranau, Suku Gayo, dan Suku Ogan, yang selama ratusan tahun hidup harmonis dengan gajah, serta satwa lainnya seperti harimau, beruang, dan monyet.
- Lanskap Saka Gunung Raya merupakan wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan, yang masih ditemukan kawanan gajah. Lanskap Jambul Nanti yang luasnya 282.727 hektar, tidak lagi ditemukan gajah.
Tulisan ini bagian kedua dari lima artikel yang diterbitkan untuk memperingati Hari Gajah Sedunia. Silakan baca tulisan pertama.
**
Kematian satu individu gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] di sebuah kebun milik warga Desa Kota Dalam, Kecamatan Mekakau, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan, awal Januari 2018 lalu, cukup mengejutkan.
Selama ini, hubungan masyarakat dari sejumlah Suku Melayu di kabupaten yang berbatasan dengan Lampung dan Bengkulu itu, cukup harmonis dengan gajah.
Kematian gajah ini, kemungkinan besar dilakukan para pemburu dengan cara diracun. Sebab saat ditemukan, dua gadingnya sudah dipotong atau hilang.
Gajah yang dibunuh tersebut merupakan satu dari beberapa individu gajah sumatera yang tersisa di SM [Suaka Margasatwa] Gunung Raya. Sebab keberadaan kebun warga Desa Kota Dalam berbatasan dengan SM Gunung Raya, yang merupakan penyanggah dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].

Beberapa bulan sebelumnya, Abdurrahman [80] ditemukan meninggal terinjak gajah di kebun kopinya di Desa Durian Sembilan, Kecamatan Buay Pemaca. Jasad Abdurrahman ditemukan keluarga pada Kamis [04/08/2017] sore, sekitar pukul 17.00 WIB.
Sebelum menyerang Abdurrahman, sekitar lima individu gajah dilaporkan warga merusak sawah, kebun, dan pondok masyarakat.
“Saat kawanan gajah datang, saya sudah memperingatkan saudara saya itu. Tapi, dia bilang tidak apa-apa. Dia yakin gajah-gajah itu tidak menyerangnya,” kata Cik Nurdin [71], tokoh masyarakat Desa Durian Sembilan, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [14/06/2022].
Dijelaskan Cik Nurdin, sebagian wilayah perkebunan dan pertanian di Desa Durian Sembilan, merupakan jalur gajah. Hampir setiap tahun kawanan gajah, yang populasinya terus berkurang, melintas di jalur tersebut.
Jalur dimulai dari Danau Kuning yang berbatasan dengan Desa Pilla hingga ke Berangin, Desa Tanjung Baru. Melalui sejumlah desa, seperti Desa Durian Sembilan dan Desa Sidodadi. Tapi, kawanan gajah banyak berdiam di perkebunan warga Desa Sidodadi dan Danau Kuning.

Cik Nurdin yang berasal dari Jawa, merantau ke Desa Durian Sembilan pada akhir 1950-an. Saat menetap, dia diberi tahu masyarakat lokal jika gajah juga “manusia”, “Sehingga kita harus memperlakukannya seperti manusia juga. Dihormati dan dihargai. Jangan bicara kotor atau berbuat tidak baik terhadapnya,” kata Cik Nurdin.
Dulu, selain tidak pernah mengganggu atau merusak jalur dan habitat gajah berkumpul, masyarakat juga tidak pernah berkata kasar jika kawanan gajah memakan tanaman warga. Maka, dari 1950-an hingga 2000, tidak pernah terjadi konflik.
“Tapi, setelah hutan dibuka oleh sebuah perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan dirambah masyarakat untuk perkebunan kopi, kawanan gajah sering makan tanaman warga. Seperti kelapa, padi, dan lainnya. Nah, persoalannya, warga yang baru menetap tidak memahami gajah ini. Mereka berkata dan bertindak kasar, sehingga kawanan gajah itu marah, lalu merusak kebun dan pondok,” kata Cik Nurdin.
Ada warga Desa Durian Sembilan yang tidak paham mengenai jalur atau koridor gajah, ketika membangun rumah di jalur mega fauna tersebut. Dua kali rumah tersebut dirusak. Pemiliknya hanya memperbaiki, tapi tidak pindah lokasi.
“Syukur kawanan gajah itu akhirnya pindah jalur. Dia melewati kebun kopi tidak jauh dari rumah tersebut. Tapi entah pada tahun-tahun mendatang. Semoga tidak melewati jalur yang sudah terhadang rumah tersebut,” kata Cik Nurdin.
“Di masyarakat sekitar Gunung Raya ini sudah hilang rasa hormat terhadap gajah,” katanya. “Meskipun begitu tidak ada warga di sini yang berniat membunuh atau memburu gading,” lanjutnya.

Pada 2004, kawanan gajah sebanyak lima individu, menyerang sebuah wilayah permukiman tidak jauh dari Desa Sidodadi.
“Tidak jelas mengapa mereka mengamuk. Mungkin, karena ada kawasan hutan yang selama ini lokasi bermukim mereka [gajah] dibuka untuk perkebunan atau juga dikarenakan ada warga yang berbuat tidak baik,” kata Sarki [60], tokoh masyarakat Desa Sidodadi, Kecamatan Buay Pemaca.
“Sejak saat itu, hampir setiap tahun mereka melintasi perkebunan warga di sini. Mereka beberapa minggu berdiam, termasuk di kebun karet saya. Bahkan dalam setahun mereka datang dua kali, awal dan pertengahan tahun,” kata mantan Kepala Desa Sidodadi ini.
Dijelaskan Sarki, yang menetap di Desa Sidodadi sejak awal 1980-an, sebagian besar warga di desanya yang berasal dari Jawa dan Lampung, saat datang atau menetap tidak memahami cara berhadapan dengan gajah.
Mereka menilai, gajah sama seperti binatang lain yang sering masuk kebun. Sehingga, tidak jarang mereka menggunakan cara yang membuat gajah murka. Misalnya, menghalau dengan api obor dan mercon, yang saat ini justru membuat gajah marah.
“Dulu gajah-gajah itu masih takut dengan api obor dan mercon. Sekarang tidak lagi.”
Berjalan waktu, warga Desa Sidodadi mulai memahami gajah. Jika gajah masuk kebun dan memakan tanaman, sebagian besar warga diam. Tidak menghalaunya. “Dengan cara seperti itu, gajah justru cepat pergi, dibandingkan diusir,” ujarnya.

Para pendatang harus belajar
“Bumi dipijak, langit dijunjung. Itu prinsip yang seharusnya dipegang para pendatang ke kabupaten ini. Sehingga mereka dapat hidup harmonis, bukan hanya dengan sesama manusia, juga dengan alam, seperti dengan gajah dan harimau,” kata Ahmad Basid, tokoh pemuda Kabupaten OKU Selatan, kepada Mongabay Indonesia.
Dijelaskan Basid, konflik manusia dengan gajah, termasuk adanya perburuan, dapat dikatakan bersamaan dengan hadirnya para pendatang untuk membuka kebun di sekitar Gunung Raya. “Termasuk pula hadirnya perkebunan skala besar, baik milik pribadi maupun perusahaan,” katanya.
“Mereka ini hadir tanpa memahami habitat atau koridor gajah dan harimau. Sehingga terjadi konflik tersebut,” ujarnya.
Masyarakat lokal, seperti Suku Ranau, Suku Gayo, dan Suku Ogan, selama ratusan tahun tidak pernah berkonflik dengan gajah dan harimau. “Sebab, mereka memiliki pemahaman jika hidup damai di sekitar hutan harus menghormati makhluk lainnya yang hidup bergantung pada hutan. Baik makhluk halus [gaib] maupun satwa, terutama gajah, harimau, badak, beruang, monyet, dan lainnya.”
“Tidak ada tradisi berburu satwa berkaki empat. Hanya burung yang diburu, sebab dikonsumsi. Rusa dan kijang tidak diburu, ditangkap jika terlihat di kebun. Itu pun hanya sesekali. Sebab, masyarakat tahu satwa itu makanan harimau,” jelas Basid.

Habitat gajah
Kawasan Gunung Raya ditetapkan Pemerintah sebagai Suaka Margasatwa melalui Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 55/Kpts/Um/2/78, tertanggal 7 Februari 1978. Luasnya mencapai 39.500 hektar.
SM Gunung Raya bagian dari lanskap Saka Gunung Raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan yang luasnya mencapai 75.883 hektar dengan ketinggian 130 – 1.600 meter dari permukaan laut. Lanskapnya terdiri Hutan Lindung [HL] Saka, Hutan Produksi [HP] Saka, dan SM Gunung Raya.
Berdasarkan Identifikasi dan Pemetaan Kantong-Kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, bekerjas ama dengan Fakultas Matematika dan Ilmi Pengetahuan [MIPA] Universitas Sriwijaya dan BIOCLIME pada 2016, lanskap Saka Gunung Raya merupakan wilayah dataran tinggi yang masih ditemukan kawanan gajah.
Sebab, habitat gajah dataran tinggi lainnya, seperti Hutan Jambul Nanti yang terletak di Kabupaten Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Pagar Alam, yang berbatasan dengan Bengkulu, dengan luas 282.727 hektar dan ketinggian 125 – 2.500 meter, tidak lagi ditemukan gajah.
Kawasan dengan tipe ekosistem hutan pegunungan dan dataran rendah ini, terdiri dari kelompok HL Bukit Jambul dan Gunung Patah-Bukit Jambul Asahan-Bukit Nanti-Mekakau. Sekitar 140.000 hektar merupakan hutan alami.