- Nasib populasi satwa yang namanya diberi embel-embel jawa, semua nyaris punah.
- Kehilangan habitat menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan satwa endemik jawa.
- Pulau jawa, hanya menyisakan sekitar 24 persen hutan saja untuk menopang kebutuhan hidup 150 juta penduduk.
- Proteksi habitat mampu menjadi jembatan antara satwa dan manusia. Tujuannya agar ekosistem terjaga.
Barangkali jangan tanyakan nasib populasi satwa yang namanya diberi embel-embel jawa. Semua nyaris punah: macan tutul jawa, badak jawa, owa jawa, surili jawa, lutung jawa, ataupun elang jawa. Keberlanjutan nafas mereka bergantung pada kesediaan hutan Jawa yang kopong.
Awal Agustus lalu, pelepasliaran primata endemik kembali dilakukan. Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat bersama The Aspinall Foundation Indonesia Program (TAF-IP) melepas sepasang Surili jawa hasil rehabilitasi di Cagar Alam Gunung Burangrang, Jawa Barat.
Gunanya, tentu saja untuk memperkuat populasi dengan cara re-introduksi di alam. Apalagi populasi primata endemik itu diprediksi tersisa sekitar 6.000 individu tersebar di Jawa bagian barat dan tengah.
Sejak tahun 2011, TAF-IP mencatat sudah meliarkan 217 individu primata hasil rehabilitasi. Terdiri dari 49 Owa jawa, 20 Lutung jawa dan 14 Surili, dan 134 lutung Jawa jenis Jawa Timur. Nyaris seluruhnya merupakan satwa sitaan dari perdagangan ilegal dan perburuan.
Ditangkap, direhabilitasi dan dilepasliarkan lagi ke alam demikianlah siklus hidup primata masa kini. Celakanya lagi tren memelihara satwa malah dimaknai sebagai gaya hidup yang “konservatif”. Sungguh pemaknaan keliru.
baca : Penurunan Populasi Satwa Dilindungi: Suramnya Nasib Penghuni Hutan Jawa
Padahal menurut Kepala Perawat Satwa TAF-IP, Sigit Ibrahim, rehabilitasi satwa butuh ongkos besar. Setidaknya butuh waktu 2-3 tahun untuk sampai melepasliarkan sepasang surili kemarin itu. Belum lagi upaya penentuan lokasi lepas liar yang rigid.
“Penentuan lokasi tak bisa sembarang dilakukan. Selain butuh kajian daya dukung dan daya tampung, aspek sosial menjadi faktor penting untuk memastikan keberlanjutan hidup satwa pasca lepas liar,” kata Sigit dihubungi telepon beberapa waktu lalu.
Sekali waktu, ketika monitoring side lepas liar TAF, Sigit sempat menemukan Siamang (Symphalangus syndactylus) di hutan Jawa. Tentu saja fenomena ini membikin bingung lantaran tak sesuai habitat alaminya. Sebab, habitat kerabat owa jawa itu merupakan endemik belantara Sumatera.
“Di satu sisi fragmentasi habitat adalah ancaman serius yang dapat berakibat habitat loss. Tapi ada pula masalah “pencemar” populasi akibat dari tren memelihara satwa endemik yang semakin mengkhawatirkan,” tuturnya.
Barangkali konservasi saat ini memang begitu realitanya. Di tengah degradasi laju hutan yang sporadis, ada saja hal yang mengerutkan dahi. Semisal, segelintir orang menganggap bahwa memelihara sama dengan melindungi.
Pemerhati Elang, Zaini Rakhman, sempat terheran-heran mendapati kelompok pecinta satwa yang mengklaim mampu menangkarkan elang jawa. Mereka dengan bangga memamerkan “kegagahan” ragam elang sebagai satwa peliharaan.
Padahal, elang-elang yang dipamerkan itu kasusnya mengambil alias diburu dari alam. Bukan dengan cara penangkaran. Mereka kadang memberi tanda berupa ring pada kaki sebagai kamuflase. Bahkan, mantan Direktur Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) Garut itu berani bertaruh jika tak ada yang mampu menangkarkan di Indonesia.
baca juga : Elang Jawa, Penguasa Langit yang Menghadapi Risiko Kepunahan
Mau bukti? Lihat saja penampilan elang-elang di PKEK. Kegagahannya jelas berbeda. Bulu rontok, warna kusam, sorot mata kuyu, loyo bahkan cacat permanen. Semuanya merupakan bekas peliharaan manusia.
Agaknya, kali ini elang jawa punya harapan hidup cukup menjanjikan di alam. Setidaknya, setelah diidentifikasi bertelur di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Jawa Barat, sejak tahun 2019.
Berdasarkan identifikasi tim Elang Jawa TNGC pada tahun 2015-2019, sedianya 29 individu ekor elang jawa sudah beranak pinak. Padahal, saat 2011 hanya teridentifikasi 4 individu elang jawa.
Petugas pengendali ekosistem hutan (PEH) Balai TNGC, Iwan Sunandi, mengatakan, hasil pemantauan tiga tahun terakhir menyimpulkan bahwa salah satu satwa kunci tersebut bertelur tiap tahun.
“Sudah 3 telur terpantau menetas di sangkar. Karena keterbatasan pemantauan, besar kemungkinan yang menetas bisa lebih dari itu,” terang Iwan.
Jambul coklat kehitaman dengan warna putih pada ujungnya di bagian kepala adalah satu karakteristiknya. Matanya berwarna kuning. Di ekor terdapat tiga garis hitam. Kakinya pendek dengan cakar panjang dan runcing.
Penampilan satwa langka ini memang layak dibanggakan. Sebagaimana halnya kaum elang di mana saja di dunia, elang jawa gagah mempesona identik dengan citra keperkasaan. Wajarlah, jika disandingkan dengan lambang negara.
Tapi, karena ciri-ciri keperkasaan itulah ia diburu. Kata Zaini, para kolektor menganggap elang jawa sebagai simbol status. Meski dilindungi oleh peraturan yang melarang penangkapan dan perdagangan satwa, hukum cuma ada di atas kertas.
Bisa jadi tiap tahun elang jawa dijajakan kepada penyuka burung seantero Pulau Jawa. Pengamatan Zaini, harganya cuma Rp3 juta.
baca juga : Elang Laut Sitaan di Jawa Tengah Menanti Hidup Bebas
Karena populasi elang jawa kian menyusut, manusia lalu berupaya menaikkan jumlahnya dengan cara yang bisa mereka kontrol, yaitu melalui penangkaran. Namun, di Indonesia belum ada yang mampu melakukannya.
Padahal upaya itu dilakukan karena manusia tak berdaya menanggulangi ulah masyarakat yang menjadi penyebab utama kemusnahan burung ini, yakni penyemprotan pestisida dan pembabatan serta kebakaran hutan tropis.
Adapun, eksploitasi satwa dan habitatnya sulit dicegah lajunya. Ditambah sifat elang jawa yang cuma bertelur sebutir tiap 2—3 tahun, berdampak populasi satwa endemik ini belum beranjak dari status endangered.
Menyoal itu, Zaini punya hitung-hitungan sendiri. Jika elang jawa bertelur 1 dalam setahun. Bisa dipastikan, anakan yang ditetaskan adalah betina. Dan jika lebih dari 2 tahun, indukan elang jawa berpotensi menetaskan pejantan.
“Karena elang jawa termasuk monogami, mereka akan kembali bertelur setelah membesarkan anaknya. Dan untuk membesarkan anakan jantan, membutuhkan waktu lama ketimbang betina. Setidaknya butuh waktu sekitar 2 tahun bagi indukan untuk mengajarkan berburu,” papar Zaini.
Zaini turut memantau populasi di alam. Menurutnya, ada 64 kantong populasi elang jawa se-Jawa. Ada pula, persebarannya ditemukan di Bali. Mereka akan memasuki musim kawin di umur 3-4 tahun.
Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah proteksi habitat. Apalagi, kata Zaini, fragmentasi hutan bisa memisahkan antara Jawa bagian barat dan timur. Dia khawatir, jika itu terjadi bukan saja rentan menimbulkan habitat loss tapi berdampak inbreeding atau perkawinan sedarah.
Zaini menuturkan, tantangan konservasi elang di Indonesia sangat kompleks. Perkara ini seharusnya memecut penelitian elang. Tentu saja tujuannya, katanya, agar konservasi tak jalan ditempat.
“Minimalnya, punya strategi proteksi habitat. Kita mesti sudah bicara konservasi ini 50 tahun kedepan akan seperti apa?” tanyanya.
baca juga : Elang Jawa, Inilah Sosok Asli Sang Garuda
Secuil Hutan Jawa
Sebenarnya, perlindungan habitat tersisa ini kerap didengungkan para peneliti termasuk Hendra Gunawan. Duduk di pemerintahan sebagai peneliti utama pada Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK), Hendra kerap menggawangi beberapa perencanaan kebijakan agar masih ada ruang bagi satwa di alam.
“Luasan hutan mungkin tidak akan berkurang, tapi tutup hutan sudah sangat berubah,” imbuhnya. Biarpun demikian, dia tak tahu berapa luasan hutan tersisa di pulau berpenghuni lebih dari 150 juta penduduk itu. Yang jelas, tingginya konflik penanda terjadinya perebutan ruang hidup.
Senada dengan Zaini Rakhman, Hendra pun mafhum, jika tantangan konservasi satwa memang tentang habitat. “Pemerintah sudah berupaya melalui penyusunan rencana aksi bagi satwa-satwa endemik kunci. Secara kebijakan itu belum cukup kuat karena sifatnya hanya sebagai rujukan atau roadmap saja. Butuh kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya.”
Di tengah nasib hutan Jawa yang dikhawatirkan banyak orang, isu harimau Jawa kembali menyeruak. Sebagian orang-orang mengaku melihat penampakan si loreng itu di hutan-hutan sekitar tempat tinggal mereka.
Beberapa waktu terakhir, di Sukabumi, Jabar, misalnya, tujuh orang warga mengaku menemukan satwa yang diduga harimau jawa. Warga berprasangka bahwa satwa yang sudah dinyatakan punah tahun 1980-an itu masih ada.
Namun, sangkaan itu, sedikit diragukan Hendra. Dia membandingkan daya jelajah dengan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) 5-10 kilometer persegi. Itupun, katanya, susah sekali mendapat kawasan yang lansekapnya ideal bagi macan tutul jawa. Kebanyakan sudah terfragmentasi. Kadang juga disebabkan oleh pembangunan infrastruktur yang kerap alpa memenuhi tanggung jawab memperhatikan kaidah konservasi.
baca juga : Viral Penampakan Harimau Jawa di Media Sosial, Mengapa Masih Percaya Ada Meski Dinyatakan Punah?
Barangkali orang-orang di perbatasan desa itu mengira, satwa karuhun keluar dari habitat karena pemanasan global yang diributkan dunia. Itu sebabnya hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak.
Sejak itu, petani gusar dengan kebun dan sawah. Karena tanaman mereka kerap dijarah para babi yang turun gunung ke ladang karena tak ada lagi makanan di hutan-hutan.
Para petani yang tua di sana, barangkali mengenang cerita tentang palawija dan legenda, juga takhayul yang paling semprul. Sekalipun harimau jawa yang di sebagian daerah kerap dianggap sebagai “moyang” mereka.
Polemik harimau jawa ini sah-sah saja diteruskan, asal fokusnya tetap pada peningkatan kesadaran terhadap lestarinya hutan. Agar, satwa berembel “jawa” bernasib tak cepat punah. Dan manusia tak kelimpungan dihadapkan dengan bencana dan krisis.