- Awak Kapal Perikanan (AKP) adalah pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) yang selalu dihantui perasaan tidak nyaman dan aman saat sedang bekerja di atas kapal perikanan milik korporasi asing
- Para pekerja di atas laut tersebut, dari waktu ke waktu selalu menghadirkan cerita miris dan memilukan akibat menerima perlakuan eksploitasi saat berada di atas kapal perikanan. Tidak itu saja, mereka juga bisa terjebak dalam praktik perbudakan secara sistemis
- Perlakuan tidak bertanggung jawab itu bisa muncul dan diterima PMI PP, karena sejak awal dalam proses perekrutan di Indonesia, mereka sudah dilemahkan secara tidak langsung. Salah satu buktinya, mereka tidak dibuatkan perjanjian kerja yang bisa menjadi kekuatan PMI PP
- Di sisi lain, Indonesia juga masih terus berjuang untuk melakukan ratifikasi dua peraturan internasional, sehingga bisa diturunkan ke dalam peraturan nasional. Proses tersebut juga tidak mudah, karena menghadapi tantangan dari dalam negeri
Perlindungan penuh yang dijanjikan oleh Pemerintah Indonesia berulang kali, sampai sekarang belum juga bisa diwujudkan kepada para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berprofesi sebagai pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) kapal perikanan asing.
Salah satu sebabnya kenapa perlindungan penuh tak juga ada, karena peraturan yang menaunginya masih belum sinkron dengan peraturan yang berlaku di dunia. Tegasnya, ratifikasi peraturan internasional yang ditunggu banyak pihak terkait, tak juga berjalan dengan baik.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha memberikan alasan kenapa ratifikasi tak juga berujung sukses saat ini. Penyebabnya, karena ada dua pihak berlawanan dalam proses tersebut.
“Ada stakeholder di dalam negeri tidak satu suara untuk (melaksanakan) ratifikasi,” ucap dia membuka rahasia kenapa proses menuju ratifikasi berjalan sangat lambat.
Pria yang berbicara dalam sebuah diskusi yang berlangsung Rabu (31/8/2022) di Jakarta itu, mengaku kalau saat ini dua pihak yang berlawanan itu, cukup menghambat proses untuk menuju ratifikasi.
Kata dia, ada yang sepakat untuk ratifikasi namun harus melalui jalur lambat dengan cara melaksanakan penguatan terlebih dulu di dalam negeri. Sebaliknya, ada juga yang sepakat untuk menempuh jalur cepat dengan langsung melaksanakan ratifikasi.
Kedua pilihan itu disebut tidak menjadi masalah, selama prosesnya memang ditempuh dengan benar dan baik. Namun, diperlukan peta jalan (roadmap) agar proses menuju ratifikasi bisa berjalan baik sesuai panduan.
baca : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang
Ratifikasi yang dimaksud, adalah norma perlindungan bagi AKP yang dibuat Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) atau Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang disahkan 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Kemudian, ratifikasi peraturan yang disepakati secara internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2012. Peraturan tersebut dikenal dengan nama Konvensi Perjanjian Cape Town (CTA) 2012 dan diinisiasi oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO).
“Perbedaan sudut pandang bisa direkonsiliasi dengan dibuatkan roadmap,” sebut dia.
Perlunya melakukan ratifikasi, karena selama ini PMI PP selalu menjadi korban atas sikap yang tidak benar dan ditunjukkan oleh oknum tidak bertanggung jawab, baik saat masih berada di Indonesia ataupun sudah berada di atas kapal.
Judha Nugraha memberi contoh bagaimana PMI PP sudah lemah sejak dari Indonesia, karena mereka tidak dibekali sertifikat pelatihan. Jadi, walau direkrut oleh perusahaan perekrutan, namun mereka harus menandatangani surat pernyataan berangkat secara mandiri. “Jadi itu sulit bagi PMI PP,” tegas dia.
Lemah Jadi Kuat
Berkaitan dengan hal itu, penyusunan perjanjian kesepahaman (MoU) tentang penempatan PMI PP dengan negara tujuan penempatan menjadi langkah penting dalam pengembangan kerangka hukum.
Dalam hal ini, Kemlu RI fokus membangun koridor aman penempatan PMI PP, salah satunya melalui MoU penempatan khusus sea-based workers, yang tengah dijajaki dengan Pemerintah Tiongkok dan Taiwan.
Demikian paparan dia dalam diskusi yang digelar secara luring dan daring dan digagas oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dengan menghadirkan sejumlah nara sumber kompeten di bidangnya. Termasuk, salah satunya adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia periode 2001-2009 Hassan Wirajudha.
Dari sudut pandang IOJI, profesi PMI PP masih terus ada dalam ancaman beragam aksi tidak bertanggung jawab yang dilakukan banyak pihak. Di antaranya, adalah praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia (trafficking in person).
baca juga : Akankah Nasib Awak Kapal Perikanan Mengalami Perbaikan?
Berangkat dari penelitian hukum dengan pendekatan sosio-legal, Tim Peneliti IOJI mengidentifikasi lima akar masalah yang menghambat pelindungan PMI PP. Akar masalah utama tersebut harus bisa dipecahkan agar bisa ditentukan solusinya apa.
Kelimanya adalah 1) kelemahan instrumen hukum di tingkat internasional, regional, nasional, dan daerah; 2) tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan dalam pelindungan PMI PP; 3) ketimpangan relasi kuasa antara PMI PP dan pemberi kerja; 4) pelanggaran sistemis pada proses perekrutan dan penempatan PMI PP; serta 5) kelemahan sistem informasi, penanganan pengaduan, dan rendahnya akuntabilitas.
CEO IOJI Mas Achmad Santosa pada kesempatan tersebut mengatakan kalau keberadaan PMI PP harus mendapatkan perlindungan penuh, termasuk hak dasar mereka yang sering terabaikan. Mereka adalah anak bangsa yang berjuang untuk mencari nafkah.
Tentang lima akar masalah yang disebut di atas, dia menyebut Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memulai langkah untuk memperbaiki tata kelola dan praktik penempatan, serta perlindungan PMI PP melalui penerbitan peraturan.
Terdapat dua peraturan yang sudah terbit, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Perlindungan PMI, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran yang terbit pada 8 Juni 2022.
Dia menerangkan, upaya yang sudah dilakukan Pemerintah adalah menjadi bagian dari komitmen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan menjadi bagian dari cita-cita untuk menuju poros maritim dunia.
Dengan kata lain, peran nelayan, buruh nelayan dan awak kapal perikanan (AKP) merupakan bagian penting dari proses tersebut. Kekuatan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari peran PMI, termasuk PMI Pelaut Perikanan maupun pelaut perikanan non migran.
Menyadari kompleksnya persoalan PP PMI, Mas Achmad Santosa memahami bahwa mewujudkan perlindungan kepada mereka tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja. Lebih dari itu, diperlukan kolaborasi aktif dan simultan bersama pihak lainnya, seperti masyarakat sipil.
baca juga : Kapan Perlindungan Penuh kepada Awak Kapal Perikanan Diberikan?
Hassan Wirajudha pada kesempatan sama juga menyepakati bahwa Pemerintah Indonesia harus bisa melaksanakan amanat konstitusi agar memberikan perlindungan kepada seluruh bangsa Indonesia. Salah satunya, adalah warga negara Indonesia (WNI) yang berprofesi sebagai PMI PP.
Menurut dia, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran menjadi bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan perbaikan tata kelola penempatan PMI PP.
Dia mengatakan kalau Kementerian Ketenagakerjaan RI harus segera menindaklanjuti segala ketentuan yang tercantum dalam PP 22/2022 melalui penerbitan peraturan menteri. Sebagai rujukan, sejumlah rekomendasi yang termuat dalam laporan IOJI juga bisa menjadi acuan untuk penerbitan aturan turunan.
Adapun, rekomendasi yang dimaksud, pertama adalah mengembangkan kerangka hukum dan tata kelola penempatan PMI PP, terutama melalui ratifikasi ILO C-188 dan CTA 2012. Kemudian, pembentukan standar perburuhan bagi pelaut perikanan migran di tingkat regional, dan implementasi peraturan perundang-undangan yang menjamin pelindungan bagi PMI PP.
Kedua, melakukan penguatan fungsi kelembagaan dan koordinasi lintas instansi dalam rangka melaksanakan tugas terkait pelindungan PMI PP, baik di dalam maupun luar negeri. Ketiga, adalah penguatan posisi tawar PMI PP melalui pengorganisasian, edukasi, dan standardisasi perjanjian kerja.
Keempat, melaksanakan perbaikan sistem dan penegakan hukum untuk memberantas pelanggaran sistematis dalam penempatan PMI PP. Langkah-langkah perbaikan antara lain melalui basis data perikanan Indonesia yang terintegrasi untuk mencegah penempatan non-prosedural.
Selain itu, basis data juga bisa membantu penegakan hukum yang memberi efek jera bagi pelaku penempatan non-prosedural, kerja sama internasional melalui Interpol, dan pelatihan intensif bagi aparat penegak hukum dan hakim terkait hak PMI PP atas restitusi.
Kelima, adalah penguatan transparansi, akses informasi, dan akuntabilitas pelindungan PMI PP melalui digitalisasi informasi, sebagaimana juga didukung oleh Menteri Ketenagakerjaan. Penguatan ini dapat dimulai dengan pengembangan aplikasi PMI PP yang real time dan terintegrasi antar instansi.
IOJI meyakini, solusi berbasis teknologi digital yang mudah diakses oleh PMI PP dan keluarganya di sepanjang proses migrasi PMI PP, perlu untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan dunia usaha.
Hal itu perlu dilakukan, agar beban biaya remitansi (pengiriman uang dari luar negeri) bisa terwujud menjadi minimum dan transparan. Solusi ini akan mendukung terlaksananya migrasi PMI PP yang aman, adil, teratur dari Indonesia hingga negara tujuan.
baca juga : Rekrutmen Awak Kapal Perikanan Masih Belum Transparan
Mas Achmad Santosa menerangkan, masih minimnya informasi tentang deskripsi kerja dan hak-hak pekerja, serta masih rendahnya tingkat Pendidikan PMI PP, juga menyebabkan mereka terjebak dalam posisi tawar yang tidak seimbang di hadapan pihak perekrut dan pemberi kerja.
“Itu sudah terjadi sejak dari tahap seleksi di Indonesia, sampai penempatan di atas kapal,” ungkap dia.
Tentang rekomendasi yang pertama, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah mendeklarasikan janjinya bahwa dia akan mengawal PP 22/2022 saat diaplikasikan di lapangan. Aturan tersebut harus dikawal, karena menjadi bagian dari perbaikan tata kelola penempatan PMI PP.
Untuk itu, dia berjanji akan segera menindaklanjuti segala ketentuan dalam PP 22/2022 melalui penerbitan peraturan menteri. Dia juga mengaku akan memperhatikan setiap rekomendasi yang sudah diajukan oleh IOJI dalam laporan.
Kehadiran PP 22/2022 juga didukung penuh oleh Anggota Komisi IX DPR RI Nur Nadlifah. Menurut dia aturan tersebut diharapkan dapat menguatkan fungsi kelembagaan melalui penegasan kewenangan kementerian/lembaga terkait dalam pelindungan PMI PP.
“Koordinasi yang kuat antara instansi Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat juga diperlukan,” sebut dia.
Perlunya penguatan fungsi, karena selama ini dia melihat kalau kewenangan masing-masing lembaga yang berkaitan dengan tata kelola PMI PP, masih terkesan amburadul. Padahal, untuk menangani persoalan PMI PP diperlukan peran kelembagaan yang sangat kuat.
Hal itu, karena persoalan PMI PP diibaratkan seperti benang kusut yang sulit untuk diurai hingga bisa rapi. Untuk itu, solusi yang tepat dan bijak, adalah dengan memberikan kewenangan dengan kekuatan yang penuh pada setiap lembaga yang terlibat.
“PP ini mudah-mudahan bisa mempertegas kewenangan masing-masing lembaga,” ucap dia.
Dengan diperkuat peran lembaga, tantangan besar yang selalu dihadapi setiap Negara berusaha menyelesaikan persoalan yang menimpa PMI PP, diharapkan juga bisa lebih mudah diatasi. Terutama, jaringan besar mirip mafia yang ada dalam tata kelola PMI PP.
Selain Negara, dia meminta pihak lain juga harus ikut terlibat dalam perbaikan tersebut. Utamanya, pihak swasta yang terlibat secara utuh dalam tata kelola PMI, termasuk saat perekrutan dan
Sementara, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE Anis Hidayah mendukung penuh segala langkah untuk menuju perbaikan tata kelola PMI PP. Dia bilang, ada impunitas yang sudah berjalan sejak lama dan berlaku bagi korporasi yang melakukan eksploitasi dan perbudakan modern.
Dalam penilaian dia, sektor yang gelap dalam dunia ketenagakerjaan hanya terjadi pada PMI PP, tenaga kerja industri sawit, dan pembantu rumah tangga (PRT). Ketiga sektor tersebut bisa terus ada dalam ancaman bahaya, karena ada keterlibatan bangsa sendiri.
“Sedih kita, 77 tahun sudah merdeka, pembukaan (UU Dasar 1945) itu isinya menghapuskan segala bentuk perbudakan. Namun kita masih menyaksikan bangsa kita, bangsa yang diperbudak. Pelakunya, sebagian adalah bangsa kita sendiri,” papar dia.
Tentang impunitas, Anis Hidayah menyebut bahwa keistimewaan itu sudah biasa didapatkan oleh korporasi yang bergerak pada sektor kelautan dan perikanan. Jadi, walau mereka melakukan kejahatan, namun mereka tidak mendapat hukuman.
Saat korporasi memiliki impunitas, kondisi sebaliknya justru dialami para PMI PP yang sedang bekerja. Tanpa ada perjanjian kerja, mereka tidak bisa melakukan kegiatan berserikat di atas kapal. Padahal, kegiatan tersebut adalah hak paling asasi untuk melakukan perjuangan hak.
“Di laut kita bisa bayangkan. Potensi pelanggaran hak dasar, HAM, terjadi secara struktur, masif, dan sistemis. Karena itu, apa yang tidak jelas di PP, harus diperjelas dalam Permen, sehingga bisa menjadi alat kontrol,” pungkas dia.