- Kasepuhan Cisungsang Desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten menggelar seren taun sebagai perayaan atas kelimpahan pangan.
- Padi bagi Kasepuhan Cisungsang begitu dihormati karena berhubungan dengan Dewi Pohaci atau Dewi Sri, lambang kesuburan
- Keberadaan leuit atau lumbung padi menjadi simbol ketahanan pangan mereka.
- Ditengah teknologi makin cepat dan canggih, masyarakat adat tetap teguh pada titah leluhur mereka untuk hidup bersahaja selaras dengan alam
Ancaman kekurangan pangan dan kelaparan telah membayang di muka bumi. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sudah sibuk mencari antisipasi. Begitu juga dengan negara-negara yang kini limbung menghitung cadangan stok pangan kedepan.
Sumber petakanya diketahui. Pemborosan sumber daya alam dan minimnya kedaulatan pangan adalah sumber petakanya.
Barangkali, Mak Hayat (64) tak cukup tahu dengan urusan yang diurusi orang semacam diplomat atau menteri itu. Pengetahuan yang dimiliki memang tidak populer. Dia hanya tahu bagaimana mengelola beras agar cukup ketika acara adat seperti Seren taun di Kasepuhan Cisungsang, Desa Cisungsang, kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.
Dibantu Mak Erum (68), mereka mengatur persediaan beras sampai acara syukuran bumi itu paripurna. Di masyarakat adatnya, peran mereka disebut kanoli beas. Posisi tersebut sudah ditentukan dan diwarisi turun temurun. Katanya, mesti sesuai garis keturunan.
“Karena semua yang datang dan turut menghadiri Seren taun wajib untuk makan agar mendapat keberkahan bersama setelah panen besar, maka (masyarakat) adat titip kepada kami untuk nyuguhan (melayani),” tutur Mak Hayat saat ditemui akhir Agustus lalu.
baca : Seren Taun: Tradisi Syukur Panen Padi Ciptagelar yang Eksis Sejak 644 tahun yang lalu (bagian-1)
Kata Mak Hayat, butuh 3 ton beras tiap seren taun. Jumlah itu cukup membuat kenyang ribuan orang dan tidak membikin bangkrut kasepuhan. Mengingat, beras yang dikumpulkan berasal dari padi hasil panen warga yang dikumpulkan di leuit atau lumbung padi.
Umur beras yang dimasak pun lebih dari 2 tahun. Kadang juga ada yang dimasak sudah 5 tahun. Menurut Mak Hayat, mereka terbiasa mengkonsumsi beras lama mungkin agar punya sirkulasi dengan padi baru.
Warga juga mempunyai leuit sendiri. Sebuah keluarga minimal mempunyai sebuah leuit dengan kapasitas 2-10 ton gabah kering. Untuk konsumsi beras harian, biasanya warga memakai sisa dari hasil panen tahun sebelumnya.
Di luar Imah gede (rumah besar), bagian acara seren taun yaitu prosesi mengarak padi diiringi dengan berbagai kesenian tradisional itu akhirnya berujung di depan sebuah leuit. Setelah anggota baris kolot (tua) berjalan mengiringi rombongan pengangkut padi menggunakan rengkong.
Rengkong adalah batang bambu pemikul padi yang bisa menimbulkan bunyi karena gesekan bambu berlubang dengan tali pengikat padi. Seorang tetua adat memulai ritual untuk upacara puncak seren taun, yaitu ngadiukeun atau meletakkan padi sebelum dimasukan ke lumbung.
baca juga : Foto: Kemeriahan Pesta Seren Taun ke-644 di Ciptagelar
Ngadiukeun merupakan simbolisasi warga adat Kasepuhan Cisungsang untuk menyimpan padi yang baru dipanen. Secara turun-temurun mereka selalu menyimpan gabah hasil panen ke dalam lumbung sebagai cara untuk menabung dan mengelola pangan.
Tradisi menyimpan gabah hasil panen itu mengajarkan warga adat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secukupnya. Pola pengelolaannya pun diajarkan agar punya sikap sosial sesama warga. Itulah mengapa, adat tidak memperbolehkan warga memperjualbelikan gabah atau beras.
“Tapi sekarang Abah (ketua adat) memperbolehkan untuk menjual beras dengan beberapa syarat. Tidak menjual berlebih dan sesudahnya mesti dibuat syukuran dengan berbagi kepada tetangga,” tutur Mak Erum.
Sementara alunan angklung begitu syahdu mengiringi tetua adat melantunkan kidung Sunda sebagai penghormatan kepada Nyai Sri Pohaci sebagai Dewi Padi (Dewi Sri), lambang kesuburan. Lantunan lagu puja-puji itu dikumandangkan agar pertanian mereka meraih panen melimpah sekaligus berkah. Sebab, padi memang punya magis bagi warga adat kasepuhan. Kehidupan. Sehingga begitu dihormati.
Begitu juga dengan lumbung padi yang tidak dipandang sekadar tempat menyimpan hasil panen semata. Bangunan berbentuk rumah panggung itu juga menjadi simbol ketahanan pangan yang teruji. Konon, cadangan pangan mereka cukup memenuhi kebutuhan selama lebih dari 10 tahun ke depan.
baca juga : Membangun Indonesia Dari Pinggiran Itu, Dimulai Dari Masyarakat Adat
Harmoni bersama alam
Ribuan kilometer dari kantor FAO di Roma, Italia, dibalik Gunung Halimun tersembunyi kehidupan tua Kesepuhan Cisungsang, sisa zaman Kerajaan Pajajaran. Sekalipun, keberadaan mereka sering dituduh terbelakang dan kuno. Bahkan, tersingkir dari lingkungan karena beberapa hak adat dan hak sipil tak dipenuhi negara. Namun, masyarakatnya konsisten dengan adat istiadatnya, visioner, dan berpandangan global.
Ketika dunia limbung dengan urusan perut warganya. Orang-orang di kasepuhan sudah berdaulat karena kepatuhannya.
Begitu mudah dan ringan mereka menyerap nilai-nilai agama dan titah karuhun (nenek moyang) serta memoles dan menerapkannya menjadi berbagai kearifan yang berlaku pada kehidupan sehari-hari. Hal itu menjadi pedoman lakuning hirup atau menempuh kehidupan masa kini dan nanti menyongsong kehidupan masa depan.
Menurut hasil riset Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Yoki Susanto, Kasepuhan yang termasuk dalam Kesatuan Adat Banten kidul itu tak memiliki hukum adat tertulis. Mereka hanya memakai hukum lisan yang terpatri di sana. Kadang juga menuruti wangsit dari ketua adat.
“Sekalipun tidak memiliki hukum tertulis, titah dan adat istiadat yang diamanatkan nenek moyang, mereka jaga dan patuhi hingga saat ini,” kata Yoki yang meneliti sejak 2007.
baca juga : Pandemi, Momentum bagi Negara Serius Lindungi Hak Masyarakat Adat
Kekaguman Yoki, bertambah. Adat bagi orang kasepuhan ibarat pupuk bagi tanaman. Ia menyatu dan berfungsi dari akar hingga pucuk sehingga tidak tampak ningnang (janggal).
Barangkali, karena itu mereka percaya konsep Ibu Bumi, Bapak Langit. Kata Yoki, itu merupakan konsep yang menjadi dasar keseimbangan hidup. Manusia selalu mendapat limpahan berkah dari langit dan bumi berupa kesuburan, kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman.
Ketua Adat Kasepuhan Cisungsang, Abah Usep Suyatna, menilai, kepatuhan warganya terhadap aturan adat didasari atas rasa cinta terhadap budaya. Alhasil, hidup merdeka direngkuh dengan keteguhan merawat adat tradisi.
“Budaya mengajarkan bagaimana leluhur mendidik tentang kebersahajaan dan harmonisasi antar sesama. Yang pada akhirnya menuntun pada kebaikan dan kebermanfaatan. Dan itulah makna hidup yang kami praktikan selama ini,” tutur Usep selepas menutup acara seren taun.
Selain memetik kemandirian pangan dan kelestarian alam yang menjaga ratusan leuit mereka abadi, kehidupan sosialnya pun di-mumule. Mereka punya struktur sosial yang diturunkan secara turun kepada anak cucu untuk menunjang kesejahteraan mulai dari keluarga.
Untuk itu mereka membuat berbagai tahapan, istilahnya, nete taraje nincak hambalan. Namun, tahapan itu mesti dibentengi dengan aturan negara dan dilandasi norma agama, indung hukum bapa darigama. Sebab, baik agama maupun kebudayaan (Sunda) tidak melarang warganya mencari ilmu pengetahuan guna mewujudkan kesejahteraan. Moal nyapek mun teu ngoprek, moal ngarih mun teu ngarah, moal ngakeul mun teu ngakal, artinya tidak ada hasil jika tidak berusaha.
baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang
Selain itu, adat menganut konsep buhun-nagara-sarak atau tiga pilar utama dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu di kasepuhan juga terdapat aturan tersendiri. Semisal, dengan adanya jabatan sebagai tutunggul lembur, baris kolot, dukun, paraji, amil dan ulu-ulu. Keenam jabatan saling keterkaitan dalam tatanan masyarakatnya
“Semua jabatan punya porsi dan fungsi masing-masing,” kata Yoki. Yang unik adalah dukun dan paraji, tugasnya mengobati orang sakit dan membantu kelahiran. Warga sudah diajarkan bagaimana tolong menolong dan gotong royong mulai dari aspek kesehatan.
Agaknya, benteng kokoh kesetiaan pada alam dan ajaran nenek moyang lah yang membuat mereka bersahaja. Ketika dunia begitu cepat bergerak dengan teknologi pertanian canggih dan cepat masa kini. Mereka tetap memperlakukan pertanian dan alamnya secara hemat, wajar, adab dan berbudaya.
Barangkali, laku lampah mereka adalah dambaan kehidupan masa kini. Sebagaimana tema seren taun tahun 2022 ini, pare napak, hirup ngapak. Kata, Abah Usep, kesejahteraan dimulai dari pertanian yang berdaulat.