- Kementerian Kelautan dan Perikanan punya program untuk melakukan pembersihan dan menyelamatkan laut di Indonesia dari sampah melalui gerakan Bulan Cinta Laut. Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, bilang, gerakan itu akan mengajak para nelayan meluangkan waktu selama satu bulan penuh khusus berpartisipasi membersihkan pantai dan laut dari sampah.
- Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, mengatakan, laut di Indonesia banyak tercemar sampah dan terjadi hampir di sebagian besar pesisir Indonesia.
- Selama para nelayan tak menangkap ikan pada masa gerakan Bulan Cinta Laut itu, hasil kutipan sampah akan dihargai dengan nilai uang oleh pemerintah.
- Doni Ismanto, Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik mengatakan, Bulan Cinta Laut di Indonesia, akan menyesuaikan kondisi cuaca di masing-masing daerah tergantung kondisi cuaca atau musim menangkap ikan.
Sampah-sampah banyak berakhir di lautan hingga laut di Indonesia bak ‘tempat pembuangan sampah.’ Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, mengatakan, laut di Indonesia banyak tercemar sampah dan terjadi hampir di sebagian besar pesisir Indonesia.
KKP pun punya program untuk melakukan pembersihan dan menyelamatkan laut di Indonesia dari sampah melalui gerakan Bulan Cinta Laut.
“Di Padang sudah kita mulai gerakan ini. Di Pantai Padang memang sampah terbilang cukup memprihatinkan. Terutama di saat hujan, tumpukan sampah memenuhi pantai Padang,” katanya pada acara puncak Exploring Mandeh: Road To Bulan Cinta Laut di Pantai Purus, Padang, Sumatera Barat, akhir Agustus lalu.
Dia bilang, gerakan itu akan mengajak para nelayan meluangkan waktu selama satu bulan penuh khusus berpartisipasi membersihkan pantai dan laut dari sampah.
“Gerakan itu satu kali dalam satu satu tahun. Artinya, dari 12 bulan itu, satu bulan nelayan tidak menangkap ikan. Tapi ikut dalam gerakan Bulan Cinta Laut,” katanya.
Dengan cara itu, katanya, bertahap akan muncul kesadaran masyarakat terutama nelayan dalam menjaga kebersihan.Maka target Indonesia pada 2045 sampah di laut berhasil diangkut ke daratan. Harapannya, laut yang di Indonesia benar-benar dalam keadaan bersih dan sehat. Kondisi ini, katanya, akan membuat ekosistem di laut terjaga baik.
Sakti mengatakan, selama para nelayan tak menangkap ikan pada bulan gerakan Bulan Cinta Laut itu, hasil kutipan sampah akan dihargai dengan nilai uang oleh pemerintah.
Jadi, dari sisi ekonomi, pendapatan nelayan tak akan terganggu meski satu bulan penuh tak menangkap ikan ke laut untuk bersihkan laut.
“Pemerintah akan kasih semacam kompensasi kepada nelayan, ada nilainya. Jadi seperti uang pengganti dari hasil tangkap, tapi kini yang dibeli hasil kutipan sampah di laut.”
Meski begitu dia berharap menjaga dan membersihkan laut dari sampah, bukan hanya tugas dari nelayan namun tanggung jawab bersama.
Selain melibatkan nelayan, KKP juga akan pakai teknologi untuk mendeteksi laut-laut dalam kondisi tercemar akibat sampah.
Melalui teknologi itu, KKP menargetkan bisa mengetahui sumber penyebab sampah di laut.
“Apakah sampah itu dari sungai yang dibawa ke laut melalui pintu muara, atau malah ada nelayan yang lewat dan sengaja membuang sampah ke laut. Teknologi itu bisa mendeteksi. Soal ini sedang kita persiapkan,” katanya.
Doni Ismanto, Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik menambahkan terkait Bulan Cinta Laut yang dirancang khusus mengentaskan persoalan sampah plastik di laut.
Program ini tak sekadar mengajak masyarakat membersihkan sampah di pantai, juga mendorong nelayan mengambil sampah di laut. Hasilnya, akan dikonversi sesuai harga terendah ikan saat itu.
Bulan Cinta Laut di Indonesia, katanya, menyesuaikan kondisi cuaca di masing-masing daerah tergantung kondisi cuaca atau musim menangkap ikan.
Pemilihan Sumbar sebagai lokasi Road To BCL, katanya, tidak lepas dari pertimbangan Ranah Minang sebagai daerah pesisir yang memiliki banyak potensi kelautan dan perikanan.
Desniarti, Kadis Kelautan dan Perikanan Sumbar, mengatakan, program ini dirancang khusus untuk mengentaskan persoalan sampah plastik di laut.
Sungai tercemar
Bicara soal sampah plastik di laut, antara lain juga bersumber dari sampah dari sungai. Akhir Agustus lalu Mongabay menyusuri aliran sungai Batang Arau. Dari penelusuran masih ditemukan sampah plastik baik itu di tengah sungai maupun pinggiran. Sampah plastik masih didominasi sampah rumah tangga, seperti bungkus deterjen, asoy kresek, bungkus shampo, bungkus mie instan, botol air mineral dan lain-lain.
Beberapa waktu lalu Walhi Sumbar tes laboratorium soal kandungan air di Batang Arau. Hasil pengecekan dalam 100 liter air sampel yang diambil di muara Batang Arau ditemukan 420 partikel mikroplastik. Sampel air kemudian dibersihkan dan dituang dalam cawan petri.
Sampah dan plastik dipisah dengan mikropointer. Material yang diduga mikroplastik digesek-gesek dengan pointer. Kalau tak patah atau terfragmen maka masuk kategori mikroplastik. Sebanyak 420 partikel berukuran 1.000-2.500 mikron berjenis filamen atau lembaran bening dan 20 partikel berjenis fiber atau benar.
Sumber fiber adalah tekstil atau polyester yang tercabut dalam proses pencucian. Sedangkan filamen berasal dari pecahan tas kresek, plastik bening dan sachet.
Tak hanya di Batang Arau, Batang Kuranji yang merupakan bahan baku PDAM juga sudah tercemar mikroplastik. Kedua sungai ini berhulu di Bukit Barisan dan hilir di Muaro Kota Padang.
Penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan Walhi Sumatera Barat menemukan, ratusan hingga ribuan mikroplastik per 100 liter air.
Di Batang Kuranji tim ekspedisi menemukan kadar air yang mengandung mikroplastik. Hal ini mengindikasikan Batang Kuranji masih warga Padang jadikan sebagai tempat membuang sampah.
“Beberapa waktu lalu kami mengambil sampel air di Batang Kuranji di Jembatan By Pass menuju ke Solok, air memang bening namun dalam air sungai dijumpai sachet, tas kresek, sak atau glangsing dan beberapa plastik bening yang terjepit di bebatuan, sebaran sampah plastik inilah yang kemudian terfragmentasi menjadi serpihan mikroplastik,” kata Amiruddin Muttaqin, peneliti kualitas air Lembaga Kajian Ekologi dan konservasi Lahan Basah (Ecoton).
Walhi dan Ecoton mencatat, mikroplastik muncul di Batang Arau dan Kuranji ada tiga sumber. Pertama, timbulan sampah liar di tepi sungai dan dalam badan air sungai, karena tak tersedia tempat sampah memadai.
Kedua, limbah domestik dari mandi dan cuci rumah tangga yang tidak terolah. Sekitar 98% jenis mikroplastik ditemukan adalah fiber atau benang dari polyester atau bahan pakaian yang dicuci. Ketiga, sumber lain berpotensi datang dari mikroplastik di udara.
Menurut Prigi, Pemerintah Kota Padang harus mengendalikan timbulan sampah di dua sungai ini dengan larangan plastik sekali pakai seperti styrofoam, tas kresek, sedotan, botol plastik, sachet dan lain-lain.
“Pemkot Padang harus mengkaji ulang Perda tentang Pengelolaan Aampah, karena sudah tak relevan dan kurang disosialisasikan.”
*****