- Warga kampung Teluk Kombal, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, NTB, sudah langganan terendam rob air laut.
- Rob yang semakin tahun semakin sering terjadi, mematikan semua pohon di pesisir, merusak tanggul penahan ombak dan merendam rumah warga
- Sebagian besar warga pindah karena bencana rob. Rencana relokasi yang sejak 10 tahun lalu disuarakan tidak kunjung terealisasi. Belum pulih dari bencana gempa, warga terpukul karena pandemi Covid-19. Keinginan untuk pindah semakin jauh dari harapan. Tabungan habis untuk biaya hidup selama pandemi
- Satu-satunya cara untuk menyelamatkan warga adalah mengembalikan struktur rumah warga ke bentuk lama, rumah panggung. Belajar dari berbagai kasus bencana alam, pemerintah desa semakin intens sosialisasi pengurangan risiko bencana.
Aminah melihat tanggal kalender bulan hijriyah, sambil diam menghitung. Dia menoleh ke belakang, bertanya kepada suaminya, Salim yang sedang memperbaiki jaring.
“Seminggu lagi terang (bulan purnama), biasa naik air laut,’’ katanya saat ditemui di gubuknya di Dusun Teluk Kombal, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (4/9/2022).
Seminggu kemudian, saya kembali ke kampung yang berada di pesisir pantai, salah satu jalur penyeberangan ke Gili Trawangan, sisa rob masih menggenangi halaman rumahnya.
Aminah tinggal di rumah panggung sederhana, dengan enam tiang rumah beralas pondasi beton dan beratap asbes berdinding bambu. Tinggi rumah menyesuaikan jalan setapak, yang kini sudah disemen. Dulu tinggi rumah sekitar 20 cm, kini mencapai satu meter.
“Kalau besar sekali naik, sampai sini basah,’’ kata Aminah menunjuk bagian dalam rumahnya. “Kami tidak bisa tidur, dulu sampai pindah,’’ kata Salim menambahkan.
Mereka tinggal bersama salah seorang putranya yang masih remaja. Putranya yang lain, Hadi Irawan yang sudah berkeluarga membangun gubuk yang lebih kecil, berdinding bambu dan beratap asbes. Persis di depan rumah.
Salim dan Hadi merupakan warga awal Teluk Kombal yang masih bertahan tinggal di pesisir. Dari seratusan kepala keluarga yang pernah tinggal di pesisir, tinggal setengahnya. Sebagian sudah pindah mengungsi ke tempat lain karena air laut yang selalu menggenangi kampung. Salim dan Hadi bertahan karena tidak memiliki tanah di tempat lain.
“Kalau disuruh pindah kami mau, tapi jangan jauh dari sini karena hanya di sini kami bisa bekerja,’’ kata Aminah.
baca : Kala Rob Pantura Jawa Tengah Makin Parah
Salim (70 tahun) sehari-hari bekerja sebagai buruh nelayan karena tidak memiliki perahu. Dia membantu nelayan lain menangkap ikan dengan sistem bagi hasil. Kadang saat air laut sedang bersahabat dia menjaring ikan, meminjam perahu kecil milik tetangga. Hasilnya tidak seberapa. Hanya cukup untuk bertahan hidup beberapa hari.
Dalam kondisi rob, Salim hanya bisa berdiam diri di rumah. Sudah bertahun-tahun dia berhadapan dengan rob. Tapi dia merasa, dalam 10 tahun terakhir ini rob semakin parah. Pesisir Telok Kombal semakin tergerus. Bibir pantai semakin dekat ke rumahnya.
Dulu jarak dari rumahnya ke bibir pantai cukup jauh. Banyak pohon kelapa, halaman rumput, dan pepohonan tumbuh. Sekarang hanya tersisa beberapa batang pohon kelapa yang mati akibat terendam air laut.
“Dari dulu naik air, tapi tidak parah. Saya tinggikan lagi rumah ini karena air semakin naik,’’ kata Salim.
Sedangkan Hadi Irawan, bekerja sebagai buruh pariwisata. Dia membawa perahu sewaan, mengantar tamu. Penghasilannya tidak menentu. Bercita-cita membangun rumah yang lebih bagus, tapi buyar karena pandemi Covid-19. Tabungannya habis terkuras ketika pandemi.
“Pariwisata sepi, tidak ada tamu. Semua menganggur,’’ kata Supianti, istri Hadi.
Sebagian Besar Sudah Pindah
Su’udiah masih ingat ketika muda. Di depan rumahnya terbentang halaman luas. Rumput hijau tumbuh subur, bahkan di musim kemarau. Pohon kelapa berderet rapi. Beberapa pohon besar yang tumbuh di pesisir memberikan kesejukan.
“Dulu banyak rumput, sampai itu jadi usaha kami. Kami jual rumput untuk taman,” katanya.
Su’udiah tinggal bertujuh di rumah yang sempit bersama suaminya, 4 orang anaknya, dan mertuanya. Rumah Su’udiah adalah rumah terakhir yang bertahan di posisi paling ujung barat Telok Kombal. Rumah-rumah tetangga di kiri-kanannya sudah lama pindah.
Sebagian rumah Su’udiah sudah ditembok permanen, karena air laut tidak pernah naik tinggi. Kalau pun terjadi rob besar, yang kadang sampai ke pinggir jalan utama, terjadi sekali dalam beberapa tahun.
Tapi sekarang, kejadian rob terjadi hampir setiap bulan. Tidak ada lagi penghalang air laut. Semua pohon tumbang, tidak ada lagi halaman rumput yang luas. Bahkan tanggul penahan gelombang yang dibangun pemerintah rusak oleh air laut. “Mulai rusak parah saat gempa,’’ kata Su’udiah.
baca juga : Banjir Rob Terus Berulang, Ekosistem Pesisir Perlu Perbaikan
Su’udiah pasrah dengan kondisi ini. Dia sudah hafal kapan air laut akan naik. Pada sore harinya dia akan menyiapkan semua barang agar tidak terendam. Mereka akan tidur di bagian rumah panggung. Jika air terlalu tinggi terpaksa mengungsi ke rumah kerabat.
“Siapa sih yang tidak mau dibuatkan rumah lebih bagus. Tapi kami tidak punya lahan,’’ katanya.
Ketika terjadi gempa 2018, keluarga Su’udiah, Aminah, Supianti tidak mendapatkan bantuan. Rumah mereka tidak roboh oleh gempa. Struktur rumah panggung yang mereka bangun menjadi penyelamat ketika gempa. Begitu juga ketika terjadi rob, mereka masih bisa tinggal di rumah. Rumah panggung ini disesuaikan dengan kondisi tempat tinggal mereka. Masyarakat yang mengganti rumah menjadi rumah beton, di pesisir Telok Kombal inilah yang menjadi korban rob.
“Saya pindah ke dalam,’’ kata Azhar, salah seorang warga pesisir Telok Kombal. Dulu rumahnya ada di kampung yang berada di pesisir. Tapi sekarang pindah di bagian kampung yang sama, tapi berada di bawah kaki bukit, jauh dari laut.
“Sebagian besar sudah pindah. Warga mau relokasi, tapi pemerintah tidak punya uang untuk menyiapkan lahan. Apalagi sekarang krisis karena pandemi, belum lagi krisis karena gempa belum pulih,’’ kata tokoh masyarakat di Telok Kombal ini.
Azhar adalah saksi perubahan Telok Kombal. Sebagai seorang sarjana, sejak lama Azhar menyuarakan aspirasi untuk memperhatikan Telok Kombal, khususnya kampung yang berada di pesisir.
baca juga : Banjir Rob Genangi Puluhan Rumah di Maumere. Apa Penyebabnya?
Dusun Teluk Kombal terdiri dari dua kompleks. Kompleks kampung sebelah barat berbatasan langsung dengan laut. Dipisahkan jalan utama provinsi, kampung sebelah timur berada di kaki bukit. Kampung di kaki bukit selamat dari rob, tapi sering was-was dengan kiriman air dari atas bukit di belakang rumah warga.
Pada tahun 2012, pernah terjadi longsor kecil karena hujan lebat yang mengikis tanah di perbukitan. Beruntung saat itu tidak ada korban jiwa dan kerusakan parah. Di Desa Malaka, tetangga Teluk Kombal, beberapa rumah rusak akibat banjir. Material tanah dan batu dari atas bukit menghantam rumah warga.
“Kami selalu was-was kalau terjadi hujan besar dan lama. Warga sudah tidak nyaman hidup disini. Wacana relokasi sudah ada dari dulu,’’ kata Azhar.
Mengembalikan Struktur Rumah Panggung
Pada tahun 2012 itu, sudah banyak bangunan rumah beton di Teluk Kombal. Tapi sebagian besar didominasi rumah panggung. Di dekat tangga rumah panggung, warga menambatkan perahu kecil. Saat air laut naik, perahu itu menjadi kendaraan mereka ke daratan yang tidak terendam air laut. Jika air laut masih menggenangi perkampungan pada pagi hari, anak-anak menjadikan kondisi itu untuk bermain perahu.
Tapi, pernah suatu masa tidak ada rob yang terlalu tinggi. Masyarakat Telok Kombal yang awalnya banyak menjadi nelayan, berganti profesi. Anak-anak muda masuk ke sektor pariwisata. Perkembangan pariwisata di Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno ikut dinikmati warga Teluk Kombal. Teluk Kombal menjadi salah satu jalur penyeberangan. Salah satu hotel mewah di Gili Trawangan membangun dermaga di Teluk Kombal.
Seiring kesejahteraan, warga mulai mengganti rumah. Rumah panggung diganti rumah beton. Rumah kayu diganti rumah bata. Karena kondisi tanah yang sering basah, warga pun menimbun dengan puluhan truk tanah. Wajah Telok Kombal di pesisir berubah. Bukan lagi kampung nelayan semata, tapi menjadi kampung wisata.
baca juga : Ketika Rob Rendam Pesisir Utara Jawa Tengah
Masalah muncul ketika rob kembali sering datang. Semakin besar. Semakin mendekati jalan raya. Dibuatlah tanggul penahan ombak. Pada tahun-tahun awal, tanggul itu efektif. Setidaknya air laut tidak sampai masuk ke rumah warga. Tapi warga tetap khawatir. Pohon kelapa yang banyak tumbuh di pesisir satu persatu mati. Menjadi tanda tidak baik. Kini tidak ada satu pun pohon tersisa.
Kepala Desa Pemenang Barat Asma’at mengatakan desanya memang rentan bencana dari darat dan laut. Lokasi desa berada di muara sungai yang dikelilingi bukit. Ketika terjadi banjir di hulu daratan, desa itu ikut terdampak. Begitu juga dengan bencana dari laut, rob menjadi langganan.
“Karena itulah pentingnya kewaspadaan,’’ katanya.
Desa Pemenang Barat juga terdampak gempa Lombok 2018. Kerusakan bangunan hampir mencapai 90 persen. Selain kerusakan rumah, warga juga kehilangan harta benda. Bencana gempa bumi bukan sekali terjadi, tapi pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Dia punya pengalaman merasakan gempa besar pada tahun 1979. Pada saat itu tidak banyak rumah rusak karena sebagian besar rumah warga rumah panggung.
“Penting juga bangunan rumah warga beradaptasi dengan kondisi lingkungan kita,’’ katanya. (*)