- Kelompok tani hutan Mattiro Deceng di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sedang menanti izin kelola hutan perhutanan sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), yang pengusulannya didampingi oleh Partnership for Governance Reform (Kemitraan).
- Melalui HKm, anggota kelompok sejumlah 165 orang berharap bisa lebih aman dan nyaman dalam memanfaatkan hutan, yang selama ini berada dalam klaim negara.
- Dalam dokumen pengajuan tercantum jenis kegiatan yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan berupa hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, silvopasture dan agroforestry.
- Kegiatan Kemitraan di Kabupaten Sinjai adalah memfasilitasi percepatan dan penguatan perhutanan sosial, ada dua skema, yaitu hutan adat dan HKm. Untuk hutan adat, ada dua hutan adat yang diusulkan, yaitu komunitas adat Barambang Katute dan Karampuang.
Agustam mengajak ke belakang rumahnya, di mana terdapat sebuah rumah lebah trigona dipenuhi potongan kayu yang disusun rapi dan sejumlah kotak kayu. Di sela-sela potongan kayu itu keluar cairan seperti getah berwarna coklat kehitaman. Beberapa ekor lebah beterbangan, ukurannya kecil berwarna hitam. Tak ada dengungan ataupun ancaman sengatan seperti pada lebah pada umumnya.
“Lebah trigona sifatnya tak menyengat, biasanya hidup di pohon-pohon tertentu sebagai inang mereka,” jelas Agustam saat ditemui di rumahnya, Sabtu (3/9/2022).
Agustam adalah ketua kelompok tani hutan Mattiro Deceng di Desa Baru, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Dia menjelaskan kelompoknya saat ini dalam proses pengajuan perhutanan sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Peternakan lebah trigona adalah salah satu unit usaha yang diajukan untuk dikembangkan dalam HKm tersebut. Selain madu trigona, Agustam juga merupakan pencari madu hutan yang lokasinya berada di lokasi HKm yang diusulkan. Sayangnya setahun terakhir produksi madu hutan terhenti dampak dari perubahan iklim, di mana musim hujan lebih banyak dibanding musim kemarau.
“Produksi madu hutan itu akan sangat tergantung pada musim, butuh musim kemarau yang panjang, sementara kondisi di sini setahun terakhir hujan terus menerus, otomatis setahun ini tak ada produksi madu sama sekali” katanya.
baca : Usulan Rumah Kolaborasi Agar Perhutanan Sosial di Sulsel Dapat Dukungan Semua Pihak
Hutan tempat Agustam dan warga sekitar beraktivitas saat ini masih dalam status kawasan hutan produksi terbatas. Agustam berdalih lahan-lahan tersebut adalah warisan yang sudah dikelola sejak dulu. Ada ratusan warga yang beraktivitas di hutan tersebut, berkebun untuk sejumlah jenis komoditas, seperti cengkeh dan pala. Dalam daftar anggota sendiri tertulis sebanyak 165 orang.
“Mereka sebagian besar berasal dari Desa Baru, namun ada juga yang berasal dari desa tetangga yang orang tuanya memang berasal dari sini juga,” jelas Agustam.
Desa Baru sendiri pada tahun 2020 telah mengajukan pelepasan kawasan melalui perhutanan sosial, namun tidak diproses dan dikembalikan karena harus menyesuaikan dengan aturan baru.
Agustam sendiri berharap pengajuan mereka diterima agar lebih tenang dalam berusaha di dalam kawasan hutan. Apalagi sebagian besar warga Desa Baru adalah petani yang menggantungkan hidup dari hasil hutan. Selama ini mereka bertani sembunyi-sembunyi dengan petugas kehutanan.
Menurut Agustam, dulunya penetapan hutan tersebut sebagai hutan negara bermasalah. Pemberian batas hutan dilakukan secara akal-akalan petugas. Karena lokasi yang sebenarnya jauh di atas gunung, akhirnya patok dipasang di bagian bawah, yang mencakup lahan warga. Petugas pematok ketika itu berdalih patok itu hanya penanda saja, yang di dalamnya warga masih beraktivitas. Seiring waktu, sikap petugas semakin represif dan melarang warga beraktivitas di dalam kawasan hutan.
Desa Baru sendiri merupakan calon penerima status HKm yang didamping Kemitraan melalui program Perhutanan Sosial di Kabupaten Sinjai dalam setahun terakhir. Dalam dokumen pengajuan tercantum jenis kegiatan yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan berupa hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, silvopasture dan agroforestry.
“Di Desa Baru itu, kami fasilitasi proses pengusulannya. Prosesnya mulai dari sosialisasi dan segala macam di tiga titik. Kebetulan di situ ada kelompoknya sehingga tak perlu bentuk dari awal. Di Desa Baru itu ada sekitar 500 hektar kawasan hutan yang sebetulnya warga sudah masuk di dalamnya, masing-masing ada yang kavling jadi kebun, dll.,” ungkap Gladi Hardiyanto, Project Manager CBFM Kemitraan (Partnership for Governance Reform).
baca juga : Pemetaan Wilayah Adat Lebih 20 Juta Hektar tetapi Pengakuan Minim, Mengapa?
Hal menarik di Desa Baru, menurut Gladi adalah ada dua skema perhutanan sosial yang diusulkan, yaitu HKm dan Hutan Desa.
“Untuk HKm, untuk kelompok yang memang mereka sudah ada di dalamnya, lahannya sekitar 210,1 hektar. Di HKm memang mereka sudah puluhan tahun mengelola lahan itu, termasuk kawasan hutan, jalan, dll. Selebihnya ada yang statusnya masih hutan lindung, yang tutupannya untuk fungsi lindung sehingga kemudian desa usulkan menjadi hutan desa.”
Terkait belum terbitnya izin HKm, menurut Gladi, memang masih harus menunggu adanya verifikasi teknis (vertek) dari pemerintah, yang kemungkinan besar menunggu adanya pengusulan dari tempat lain.
“Vertek ini mungkin masih menunggu beberapa pengusulan lain, supaya sekalian jalan. Sementara untuk skema Hutan Desa, masih sementara penyusunan dokumen.”
Gladi sendiri berharap izin HKm Desa Baru bisa segera terbit karena telah memenuhi persyaratan dan layak.
“Bagusnya di Desa Baru itu dari awal sudah ketahuan, siapa yang betul-betul memanfaatkan hutan, siapa penerima manfaat langsung, sudah by name by address, dan sudah dipetakan juga. Tidak diusulkan dulu namun orang-orangnya belakangan dimasukkan seperti di tempat lain yang kadang menjadi potensi konflik.”
Menurut Gladi, kegiatan Kemitraan di Kabupaten Sinjai adalah memfasilitasi percepatan dan penguatan perhutanan sosial, ada dua skema, yaitu hutan adat dan HKm. Untuk hutan adat, ada dua hutan adat yang diusulkan, yaitu komunitas adat Barambang Katute dan Karampuang.
“Beberapa aktivitas yang dilakukan antara lain melalui fasilitasi untuk pengusulan dokumen usulan di HKm dan hutan adat. Hutan adat ada dua yang sudah diajukan, proses penyiapannya kita juga bantu,” jelasnya
baca juga : Pemerintah Jerman Biayai Program Perhutanan Sosial di Indonesia. Apa yang Ingin Dicapai?
Selain penguatan perhutanan sosial, Kemitraan juga memfasilitasi pengembangan usaha, mulai dari penyusunan rencana kelola perhutanan sosial dan kegiatan pengembangan produk. Salah satunya pelatihan pembuatan gula aren di Desa Saohiring, yang telah memiliki izin HKm.
“Awalnya mereka menjual gula batok, lalu dilatih untuk membuat gula semut dan cair. Rencananya sampai tahap pasca produksinya, karena di Saohiring itu kita kerja sama dengan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Tangka yang sebelumnya bernama KPH Jeneberang 2.”
Dikatakan Gladi, tidak hanya melalui penguatan dan pendampingan, dalam konteks yang lebih besar Kemitraan ingin mendorong pemerintah daerah agar lebih memperhatikan masyarakat melalui program perhutanan sosial. Selama ini tantangannya adanya pemikiran bahwa Pemda tidak lagi berwenang mengelola hutan, selain Taman Hutan Raya (Tahura).
“Dalam konteks ini, kalau program perhutanan sosial, bagaimana pemda atau organisasi pemerintah daerah lain selain dinas lingkungan hidup dan kehutanan bisa terlibat dalam program perhutanan sosial. Meskipun hutannya adalah kewenangan Provinsi, tetapi kan masyarakatnya menjadi kewenangan dan binaan Pemda. Bisa dinas koperasi, pertanian, yang bisa masuk ke lokasi perhutanan sosial dengan berbagai programnya.”
Dijelaskan Gladi bahwa keterlibatan Pemda dalam mendukung perhutanan sosial sebenarnya didukung oleh Kementerian Dalam Negeri melalui sejumlah regulasi terkait dengan mata anggaran pemda yang bisa dialokasikan untuk perhutanan sosial.
“Mereka sudah membuat itu, namun sayangnya belum semua pemda aware. Selain kegiatan teknis pendampingan, mungkin beberapa bulan ke depan juga kita ingin masuk ke proses-proses perencanaan daerah, agar memasukkan program dan aktivitas perhutanan sosial di dalamnya.”
Lanjut dikatakan Gladi, Kemitraan nantinya juga akan mendukung penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang KPH.
“Apalagi KPH Tangka baru beberapa bulan terbentuk yang belum memiliki RPJP (rencana pembangunan jangka panjang), sementara mereka dituntut untuk menyusun rencana kelola 10 tahun, termasuk bagaimana memastikan lokasi-lokasi perhutanan juga ini bisa masuk dalam RPJP.”
Program perhutanan sosial Kemitraan di Kabupaten Sinjai sendiri bersifat pilot project. Di level provinsi, Kemitraan juga mendukung kelompok kerja (Pokja) Perhutanan Sosial Sulsel.
“Kita juga main di provinsi, dalam konteks memastikan pengelolaan data base-nya. Kita buatkan sistem informasi perhutanan sosial di pokja dan juga beberapa pertemuan, koordinasi untuk penyusunan renstra, kita juga terlibat di dalamnya.”