- Dalam sejarahnya, di Indonesia burung kicau pada masa lalu hanya dijadikan sebagai klangenan. Namun, seiring berjalannya waktu banyak yang dijadikan ajang perlombaan.
- Maraknya kegiatan lomba burung berkicau di berbagai tempat menyebabkan minat memelihara burung semakin besar. Dibalik itu ada perburuan dan perdagangan burung dari alam liar kian masif karena adanya permintaan pasar yang tinggi.
- Berbagai upaya untuk mendapatkan pasokan burung sehingga pedagang dan penangkap burung sering tidak memperhatikan ancaman terhadap kelestarian burung di alam.
- Secara keseluruhan status populasi burung di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian sudah memprihatinkan, bahkan mengarah ke status sangat kritis.
Bagi sejumlah orang burung masih menjadi salah satu satwa yang menarik hingga saat ini. Selain mempunyai warna bulu yang indah, anggota kelompok hewan bertulang belakang, berbulu dan bersayap ini jenisnya juga beragam. Bukan hanya dari penampilan, suaranya juga menarik.
Untuk itu, tidak sedikit masyarakat yang tertarik memelihara dan merawat burung berkicau. Dalam sejarahnya di Indonesia, burung kicau pada masa lalu hanya dijadikan sebagai klangenan. Namun, seiring berjalannya waktu banyak yang dijadikan ajang perlombaan, mulai dari perlombaan hias, balap maupun lomba burung berkicau.
Klangenan yaitu burung yang dipelihara hanya untuk kebutuhan hiasan rumah, karena menurut kepercayaan dibeberapa daerah burung klangenan dipercaya sebagai simbolis pembawa keberuntungan.
Sebuah jurnal menyebut lomba burung ini mulai populernya pada tahun 1970. ketika itu jenis burung yang dilombakan merupakan burung perkutut (Geopelia striata).
baca : Pentingnya Big Data, Memantau Perdagangan Online Burung Kicau di Indonesia
Sedangkan pada tahun 1976 mulai ada perlombaan burung berkicau, salah satunya yaitu burung murai batu (Copsychus malabaricus). Di kalangan masyarakat penghobi, burung murai batu mempunyai daya tarik tinggi. Hal itu dikarenakan burung yang dikenal juga dengan sebutan kucica hutan memiliki suara yang bagus, dan karakter warna bulunya juga menarik.
Selain murai batu, burung kicau populer lainnya yaitu cucak rowo (Pycnonotus zeylanicus), kenari (Canarium ovatum), cendet (Lanius schach), kacer (Copsychus saularis), dll.
Berbagai Upaya
Maraknya kegiatan lomba burung berkicau di berbagai tempat menyebabkan minat memelihara burung semakin besar. Bagi para pemilik burung lomba, selain karena nominal hadiah lomba yang cukup besar memelihara burung juga menjadi gaya hidup. Namun, dibalik itu perburuan dan perdagangan burung dari alam liar kian masif karena adanya permintaan pasar yang tinggi.
Adanya permintaan burung oleh sebagian masyarakat menjadi suatu peluang bagi pedagang dan penangkap burung untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Dalam memenuhi kebutuhan permintaan burung maka pedagang selalu berupaya menyediakan burung untuk pembeli.
baca juga : Mewaspadai Perdagangan Burung Kicau Asli Indonesia di Platform Online
Berbagai upaya untuk mendapatkan pasokan burung sehingga pedagang dan penangkap burung sering tidak memperhatikan ancaman terhadap kelestarian burung di alam.
Yang perlu diperhatikan dalam permasalahan perdagangan burung yaitu ketersediaan komoditas sebagai barang dagangan harus bisa berlangsung secara berkelanjutan. Hal tersebut disebabkan karena perdagangan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi menurunnya populasi suatu spesies burung, di samping karena hilangnya habitat dan degradasi habitat.
Hasil survei yang dilakukan Burung Indonesia pada tahun 2007 dari jumlah sampel 1.781 keluarga menunjukkan, bahwa hewan yang paling populer menjadi peliharaan manusia adalah burung, sekitar 35%. Dibandingkan dengan hewan lainnya seperti ikan, anjing 25%. Sedangkan kucing hanya 10%. Untuk rodensia, reptilia, monyet dan lainnya <5%.
Survei ini dilakukan di 6 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Denpasar. Burung sangat diminati masyarakat sebagai hewan peliharaan karena keindahan warna bulu dan suaranya. Ada berbagai alasan yang mendasari orang memelihara burung antara lain penghargaan dalam komunitasnya, aspek budaya, hiburan dan aspek ekonomi.
Selain itu, berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) 2008 memaparkan, burung juga merupakan komoditas perdagangan international, tercatat lebih dari 2.600 spesies burung liar di pasar Internasional disuplai dari Afrika, Asia, Oceania dan Neotropic.
baca juga : Burungnesia, Data Digital Spesies Burung Liar Berbasis Warga
Memprihatinkan
Dewi Malia Prawiradilaga dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Zoologi “Keanekaragaman dan Strategi Konservasi Burung Endemik Indonesia” memaparkan, sampai saat ini burung masih menjadi salah satu satwa yang paling menarik untuk publik karena selain indah, banyak jenis yang sangat karismatik dan merupakan ‘flagship’ atau jenis bendera yang penting untuk upaya konservasi.
“Bahkan burung sudah dianggap sebagai payung bagi konservasi banyak jenis biota lain yang membentuk komunitas habitatnya dengan persyaratan bioekologi yang khas,” terangnya.
Namun, secara keseluruhan status populasi burung di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian sudah memprihatinkan, bahkan mengarah ke status sangat kritis. Walaupun di dunia Indonesia merupakan wilayah dengan kekayaan keragaman hayati yang tinggi, termasuk keragaman burung liarnya.
Akan tetapi, lanjutnya, diperkirakan bahwa 10% dari total jenis burung tersebut terancam punah, dan secara keseluruhan kondisinya memburuk.
baca juga : Gawat, Indonesia Hadapi Ancaman Kepunahan Burung Tertinggi di Dunia
Tahun 2019 jumlah jenis burung di Indonesia yaitu 1.711 jenis. Sebagian diantaranya merupakan burung khas, atau tidak terdapat di wilayah geografis lainnya, dalam istilah ilmiah ini disebut endemik. Sedangkan di tahun 2017 jumlah burung endemik di Indonesia mencapai 397 jenis, namun pada tahun 2019 yang dilakukan Dewi Malia ini meningkat menjadi 510 jenis.
Walaupun terjadi peningkatan, status populasi burung dinilai memburuk karena tekanan lingkungan dari aktivitas manusia yang terus meningkat melampaui upaya konservasi, khususnya burung endemik.
Hal itu menyebabkan beberapa jenis burung terancam punah. Untuk itu menurut Dewi Malia, strategi konservasi burung berbasis taksonomi dan bioekologi, khususnya burung endemik di Indonesia sangat diperlukan.