- Egek merupakan konservasi tradisional dalam mengelola sumber daya alam baik di hutan atau di laut oleh masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
- Secara pemaknaan dan pemanfaatan, egek dan sasi memiliki kesamaan, yaitu berupa aturan pelarangan mengambil sesuatu dari alam dalam kurun waktu tertentu.
- Egek laut di Kampung Malaumkarta mengatur soal pelarangan mengambil komoditas laut yaitu lobster, udang, teripang, dan lola, serta larangan penggunaan alat tangkap seperti jaring, bom, dan bius.
- Hasil ataupun nilai ekonomi dari egek dapat menunjang kebutuhan ekonomi dan juga dimanfaatkan untuk kebutuhan bersama masyarakat di Kampung Malaumkarta.
Istilah sasi yang identik dengan masyarakat Maluku, sudah diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan praktik pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat? Anda pernah mendengarnya?
Masyarakat di Kampung Malaumkarta hingga kini masih mempertahankan tradisi yang diwariskan leluhur mereka dalam menjaga alam. Kearifal lokal yang dinamakan egek.
Secara pemaknaan dan pemanfaatan, egek dan sasi memiliki kesamaan. Egek merupakan upaya konservasi tradisional dalam mengelola sumber daya alam berupa aturan yang melarang atau mengambil sesuatu dari alam dalam kurun waktu tertentu, baik di hutan maupun di laut.
Baca: Merawat Perairan Namatota lewat Sasi Nggama
Belum lama ini masyarakat Kampung Malaumkarta melakukan penerapan egek di wilayah laut untuk komoditas udang, lobster, teripang, dan lola. Menurut Jefri Mobalen, Kepala Kampung Malaumkarta, sebelumnya sudah ada permasalahan kerusakan ekosistem laut di wilayah mereka yang disebabkan penggunaan alat tangkap, sejak 1990-an.
Atas dasar itulah masyarakat menghidupkan kembali tradisi egek yang sudah menjadi bagian budaya Suku Moi.
“Egek mencakup aturan perlindungan satwa dan pemanenan ikan. Juga ada pelarangan alat tangkap yang merusak yaitu bom, bius ikan, serta jaring. Selain itu, di wilayah egek kami menanam terumbu karang dan menangkar penyu,” ungkapnya, Sabtu [08/10/2022].
Baca: Jaga Mutu Pala Kaimana lewat Sasi
Sanksi adat
Jika ada yang melanggar egek, dikenai sanksi adat. Menariknya, praktik egek ini selain didukung lembaga keagamaan berupa gereja, juga telah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah setempat melalui Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon Kabupaten Sorong.
Jefri menambahkan, hasil atau nilai ekonomi egek dapat menunjang kebutuhan ekonomi dan juga dimanfaatkan untuk kebutuhan bersama masyarakat di Kampung Malaumkarta.
Untuk lobster, penjualan tahap satu hasil egek tanggal 17 Juni 2022 senilai 26,1 juta Rupiah. Penjualan tahap dua tanggal yang sama, senilai 13,7 juta Rupiah. Penjualan tahap tiga pada 26 Juni 2022, hasilnya 20,6 juta rupiah.
Penjualan tahap empat pada 1 Juli 2022, hasilnya senilai 15,7 juta rupiah. Sementara penjualan tahap lima tanggal 9 Juli 2022, senilai 28,7 juta rupiah.
“Untuk teripang yang merupakan hasil penjualan egek terakhir pada 22 Juli 2022 adalah yang tertinggi, senilai 72,8 juta Rupiah,” ujar Jefri.
Secara ekologi, sangat jelas praktik egek mampu menjaga ketersediaan sumber daya alam berkelanjutan. Stok ikan aman dan ekosistem laut terlindungi. Sementara secara sosial budaya, konservasi tradisional ini mampu menjaga nilai budaya yang harmonis dengan alam.
“Manfaat egek ini, salah satunya membuat tujuan sosial kami tercapai, yaitu mampu membantu pembangunan gedung gereja Silo Malaumkarta,” ungkap Jefri.
Baca juga: Bintang Laut Berduri Ini Jadi Musuh Terumbu Karang
Riset praktik egek di Kampung Malaumkarta oleh Sareo dkk, pada Jurnal Riset Perikanan dan Kelautan [Feburari, 2021], menyebutkan bahwa hasil perikanan dan sebaran daerah penangkapan perikanan skala kecil di lokasi penelitian di Kampung Malaumkarta masih sangat terjaga sumber daya alamnya. Dengan begitu, pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem secara berkelanjutan di sekitar perairan Pulau Um, yang merupakan wilayah dari Kampung Malaumkarta, berjalan baik.
“Dalam prespektif mata pencaharian atau usaha perikanan berjalan normal, tidak terjadi kecemburuan dan persaingan. Secara sosial, nelayan skala kecil di Kampung Malaumkarta hidup saling berdampingan, tidak ada tumpang tindih kepentingan kelompok atau keluarga rumah tangga nelayan lain dalam kehidupan pribadi. Sedangkan usaha penangkapan ikan dilakukan masing-masing pihak untuk pemenuhan kebutuhan keseharian keluarga,” ungkap para peneliti dalam riset mereka.
Publikasi ilmiah lain yang ditulis Yayan Hidayat dan Anang Fajar Sadik berjudul “Valuasi Ekonomi Komunitas Adat di Dalam Sekitar Kawasan Hutan” [September, 2019], menegaskan bahwa sumber daya alam akan lebih produktif jika dikelola langsung oleh masyarakat, utamanya masyarakat adat.
Sementara pemerintah, diharapkan berperan penting menjamin akses merata terhadap pengelolaan sumber daya alam melalui kebijakan terintegrasi dan terpadu. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi program pengentasan kemiskinan secara partisipatif di Indonesia dan menjamin keberlanjutan kehidupan ekonomi masyarakat.