- Kerajinan tikar pandan masih lestari di Dusun Pekarangan, Desa Ngis, Kabupaten Karangasem, Bali.
- Warga masih bisa menjual tikar pandan karena dibutuhkan saat ritual-ritual upacara adat dan agama, ditengah masifnya tikar plastik yang sudah banyak dipakai di rumah-rumah.
- Perdu tanaman pandan berduri juga diyakini mampu menjaga area kritis di bebukitan.
- Tikar pandan juga salah satu penyelamat warga yang harus balik ke kampung dari perantauan akibat pandemi Covid-19.
Inilah dusun yang masih melestarikan perdu pandan berduri untuk menjaga tanah kawasan terjal bebukitan, sekaligus mengolahnya jadi kerajinan tikar pandan. Bulatan-bulatan daun pandan kecokelatan terlihat dijemur depan rumah-rumah penduduk saat menelusuri Dusun Pekarangan di Desa Ngis, Kabupaten Karangasem.
Jika berkendara dari Kota Denpasar, jaraknya sekitar 55 km atau ditempuh dalam 80 menit ke arah timur Bali. Di tengah makin menjamurnya tikar plastik, pengerajin tikar pandan ini masih semangat menganyam. Pelanggan setianya adalah warga yang menggelar upacara adat atau agama. Sejumlah ritual masih menggunakan tikar pandan, karena alami, untuk sarana sembahyang. Sebagai alas sesajen atau alas duduk bagi pemimpin persembahyangan.
Ni Wayan Walastri mengajak ke kebun pandannya di samping rumah, ketika dikunjungi pada 25 September 2022. Ia mukim di lereng bukit. Air bersih pipa PDAM hanya sampai sekitar 50 meter di bawah rumahnya. Di sanalah ia membuat kamar mandi darurat. Kadang-kadang mereka mandi di sungai dengan debit air terus mengecil.
Wayan menunjukkan cara memilih perdu yang siap panen, sekitar usia 1-3 tahun dan sudah berhelai banyak. Sebilah pisau tajam diikatkan di ujung tongkat bambu. Pisau digerakkan dengan cekatan memotong helai daun dari pangkal batang.
baca : Pandan Laut, Buahnya Seperti Nanas dan Daunnya Bisa Dibuat Tikar
Setelah dirasa cukup banyak sebagai bahan baku, daun pandan berduri ini dibersihkan duri-durinya. Ia menunjukkan teknik memegang pisang lalu memotong simetris ketiga bagian daun penuh duri tajam. Ada duri yang mengarah ke bawah, namun di bagian tengah daun, durinya mengarah sebaliknya. Di sinilah perlu teknik menggunakan pisau agar daun masih cukup lebar dan tangan tidak tertancap duri.
Setelah itu masih ada beberapa tahapan sebelum daun pandan bisa dianyam. Tahapan berikut disebut ngelulun (digulung). Daun pandan digulung rapat sampai jadi lingkaran besar berdiameter minimal 30 cm. Puluhan daun, bisa sampai 50 lembar, digulung saling mengait. Perlu tenaga untuk memastikan kerapatannya karena pandan segar cukup tebal. Setelah tergulung erat, daun pandan dijemur sekitar 20-30 hari sampai benar-benar kering.
Ternyata selembar tikar pandan tak sesederhana bentuknya. Setelah dirasa kering sekali, gulungan daun pandan ini direndam sekitar satu jam, kemudian dijemur lagi beberapa menit. Tujuannya membuat daun lebih lunak, lebih mudah dieratkan. Tahapan ini disebut ngeretagang (mengeratkan gulungan, agar daun lebih rapi, tidak lecek saat dianyam). Tahap akhir adalah ngulat (menganyam) jadi selembar tikar.
baca juga : Foto : Menyelami Arti Pandan Berduri Bagi Masyarakat Tenganan Bali
Saat menganyam, Wayan tidak menggunakan alat tambahan. Hanya jangka kayu, seperti penggaris panjang yang membantu menekan daun sekaligus ukuran standar tikar.
“Rumit ya, inilah pekerjaan saya sehari-hari,” Wayan tertawa. Jika dikalkulasikan, semua proses persiapan bahan baku itu minimal satu bulan. Apalagi jika cuaca tidak jelas seperti tahun ini. Durasi hujan lebih panjang, termasuk di bulan-bulan kemarau. Tak jarang cuaca cerah, tiba-tiba hujan angin.
Ia menyebut jenis pandan yang dipakai adalah pandan aon atau pandan pantai. Dusun ini dekat pesisir. Perdu Pandanaceae, salah satu suku anggota tumbuhan berbunga ini hidup di bahu bukit dan pinggir jalan desa. Pohon dengan akar tunjang di pangkal batangnya ini juga tumbuh subur di lahan kritis seperti jurang dan tebing. Akarnya yang kuat mencengkeram tanah membantu area sekitarnya dari erosi. Namun pandan ini lebih subur jika ditanam di area terbuka dengan sinar matahari langsung.
Kelian (kepala) adat Banjar Pekarangan Wayan Madia mengatakan sekitar 90% dari 190 KK warganya masih menganyam tikar pandan. Masalahnya kini di ketersediaan bahan baku. Warga mulai mencari ke luar desa.
Kebun-kebun warga kebanyakan berisi kelapa dan pisang, pohonnya tinggi. Jika ditanami pandan berduri di dalamnya, sulit tumbuh subur karena tak banyak dapat sinar matahari.
Karena itu warga yang memiliki lahan di bebukitan bisa fokus menanam pandan karena arealnya terbuka. Salah satunya Wayan Walastri. Ia menanam, kemudian memanen untuk kebutuhan sendiri.
Sedangkan penganyam lain ada yang beli bahan baku dengan berbagai cara. Misal bayar sebidang lahan senilai Rp50 ribu untuk panen sepuasnya hanya dalam satu hari oleh satu orang saja. Ada juga yang beli daun sudah dibersihkan Rp100 ribu untuk 13 gulungan (iseh) daun. Ada juga yang menyewakan lahannya sekitar Rp9 juta sekitar 50 area untuk dipanen sampai habis. Biasanya ini disewa oleh kelompok pengrajin.
baca juga : Tas Daun Pandan, Wadah Ramah Lingkungan untuk Daging Kurban
Hal menarik adalah, para pengrajin tikar masih melestarikan budaya barter. Tikar bisa dibarter bahan pangan atau sembako di warung-warung sekitar desa. Gulungan tikar ini terlihat di sejumlah warung, hasil barter. Padahal warungnya kecil, namun masih menerima penukaran dengan sembako. Sebuah solidaritas sosial yang membuat ekosistem anyaman tikar pandan ini bisa berumur panjang, walau harganya relatif murah. Sekitar Rp15-20 ribu per lembar tergantung jumlah permintaan dan kesediaan bahan baku.
Barter tikar ini sudah ada sejak dulu. Sebelumnya tikar dibarter sampai di desa tetangga dengan ubi, beras, dan lainnya. Sekarang di warung. Tikar yang dikumpulkan oleh pemilik warung akan dibeli pengepul dengan selisih untung sekitar Rp1000-2000 saja.
Tikar pandan juga penolong bagi warga yang kena pemutusan hubungan kerja atau kesulitan ekonomi saat merantau di kota dan balik ke kampung. Salah satunya I Wayan Sukriyati dan suami. Keduanya kembali tinggal di kampung, 8 bulan setelah pandemi Covid-19 pada tahun 2000.
Penganyam tikar pandan juga tak hanya perempuan. Juga laki-laki, usai mengurus ternak atau pekerjaan lain. Salah satunya Nengah Sumerta, suami Wayan. Sumerta adalah penyadap nira, dari deresan bunga aren. Ia membuat tuak yang bisa dijual setiap hari. Usai menyadap, ia membantu membuat tikar di rumah.
baca juga : Melihat Aneka Ritual Kesadaran Lingkungan di Desa Sosialis Tenganan Pegringsingan
Kehadiran penganyam tikar pandan mendorong warga terus melestarikan tanaman perdu yang menjaga tanah di daerah kritis. Ekonomi sirkular juga terbangun di dalam kampung karena mendorong bentuk-bentuk pekerjaan baru, misal ada yang hanya memilih sebagai tukang panen saja atau pembersih pandan.
Pandan ini juga menjadi bagian dari sarana upacara Dewa Yadnya. Salah satu jenis pandan berduri lain juga menjadi sarana utama ritual Mekare-kare atau perang pandan di Desa Tenganan, desa tetangga. Desa Tenganan Pegringsingan dipenuhi ratusan fotografer saat ritual ini dilaksanakan di tengah desa. Bahkan kini ada sesi untuk warga luar desa yang berani coba ikut menggosok-gosokkan atau kena gosok ikatan daun pandan berduri di sekujur tubuhnya sampai berdarah.