- Perusahaan produsen makanan dan minuman multinasional asal Swiss, Nestlé, baru-baru ini berjanji, tak lagi memasukkan tiga anak usaha Astra Agro Lestari (Astra), yang beroperasi di Sulawesi Barat dan Tengah, dalam daftar pemasok minyak sawit mereka.
- Keputusan itu, dipicu sebuah surat terbuka dari 55 organisasi, yang melayangkan tuduhan terhadap tiga anak usaha Astra, telah melanggar hak asasi manusia (HAM), berupa “perampasan wilayah kelola rakyat, kriminalisasi, perkebunan ilegal, dan perusakan lingkungan hidup.”
- Nestlé membeli minyak sawit tiga anak usaha Astra melalui Cargill, Bunge Loders Croklaan, dan Sime Darby. Ketiganya bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
- Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional mengatakan, penghentian pembelian CPO dari Astra Group oleh buyer internasional akibat praktik perusahaan melanggar terhadap HAM dan lingkungan hidup, seharusnya menjadi momentum bagi lementerian dan lembaga terkait, segera evaluasi dan mencabut perizinan Aaak perusahaan AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Nestlé, perusahaan produsen makanan dan minuman multinasional asal Swiss, baru-baru ini berjanji, tak lagi memasukkan tiga anak usaha Astra Agro Lestari (Astra), yang beroperasi di Sulawesi Barat dan Tengah, dalam daftar pemasok minyak sawit mereka.
Keputusan itu, dipicu sebuah surat terbuka dari 55 organisasi, yang melayangkan tuduhan terhadap tiga anak usaha Astra, telah melanggar hak asasi manusia (HAM), berupa “perampasan wilayah kelola rakyat, kriminalisasi, perkebunan ilegal, dan perusakan lingkungan hidup.”
Surat ini ditujukan kepada Forest Positive Coalition, bagian Costumer Goods Forum (GFC), sebuah konsorsium merek konsumen ternama dunia, di mana Nestlé menjadi anggota.
Dalam surat itu, mereka menyerukan perusahaan-perusahaan anggota segera memutuskan hubungan dagang dengan tiga anak usaha Astra: PT Mamuang (Sulbar), PT Lestari Tani Teladan (Sulteng), dan PT Agro Nusa Abadi (Sulteng). Tiga usaha ini telah kantongi sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Nestlé telah menginstruksikan pemasok langsung mereka, mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin, minyak sawit dari tiga anak usaha Astra ini, tidak lagi masuk dalam rantai pasok perusahaan asal Swiss itu.
Pernyataan itu dimuat dalam surat Nestlé, kepada organisasi nirlaba Amerika Serikat, Friends of the Earth (FOE)—salah satu organisasi yang bertanda tangan dalam surat terbuka.
Baca juga: Kala Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’
Dalam surat tertanggal 28 September, pemilik merk Milo itu menyatakan, kebijakan mereka diperkirakan rampung pada penghujung tahun, setelah Eco Nusantara, penilai independen dalam rentang Maret-Juni 2022.
“Kami juga percaya beberapa customer brand international lainnya, dengan sikapnya Nestlé, itu juga akan mengambil sikap yang sama,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), merujuk keputusan serupa Coelgate dan P&G. (Keputusan Coelgate dan P&G belum diumumkan).
Walhi, organisasi yang ikut bertanda tangan dalam surat terbuka kepada Costumer Goods Forum (GFC) dan menjadi anggota FOE Indonesia. Dua tahun terakhir, Walhi bersama Walhi Sulteng bekerja di lapangan, pada tiga lokasi tempat anak usaha Astra beroperasi.
Di sana, mereka menemukan rentetan temuan. Di Kecamatan Rio Pakava, Sulteng, warga berkonflik dengan PT Mamuang. Perusahaan ini berpusat di administrasi Sulbar. Pada 2005, Mamuang menggarap kebun hingga mencapai kecamatan yang berbatasan langsung dengan Pasangkayu, Sulbar itu. Secara total, menurut catatan Walhi, HGU Mamuang mencapai 8.000 hektar.
Sejak Mamuang beroperasi, lahan seluas 128 hektar, milik 68 petani Desa Rio Mukti—masih kecamatan sama, menurut Walhi, diklaim perusahaan dan memicu konflik lahan. Pada 2017, konflik itu akhirnya memuncak.
Empat petani dari Desa Polanto Jaya, dijebloskan ke penjara, setelah dituduh perusahaan mencuri buah sawit dari lahan yang diklaim Mamuang, yang sebelumnya dikuasai mereka.
Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)
Empat petani itu mengantongi surat keterangan pendaftaran tanah dan sertifikat hak milik atas lahan itu. Selama persidangan, mereka menunjukkan dokumen kepemelikan itu di hadapan hakim Pengadilan Negeri Pasangkayu.
Menurut catatan Walhi, saat pembuktian, perusahaan tidak mampu membuktikan hak atas lahan, di mana empat petani itu dituduh mencuri sawit.
Meski begitu keadilan tak memihak empat petani itu. Hakim menjatuhkan vonis tujuh bulan kepada mereka. Perusahaan menolak dituduh mengkriminalisasi empat petani itu.
Selain empat petani itu, perusahaan juga berkonflik dengan seorang ayah tiga anak di Rio Pakava, bernama Franz Hemsi.
Hemsi tiga kali keluar masuk penjara. Pertama kali pada 2010, saat perusahaan mulai memanen sawit di lahan yang juga dipanen warga. Konflik terjadi dan dua kawannya dibekuk. Hemsi ikut dibekuk setelah membela kawannya.
Penjara dan ancaman tak membuat Hemsi takut. “Saya sampai pernah kencing darah. Saya ditendang, dipukul aparat dan keamanan perusahaan. Di kebun saya,” kata Hemsi kepada Mongabay Indonesia, pada 2019.
Setelah bebas, Hemsi mengorganisir petani yang berkonflik dengan perusahaan. Pada 2015, menurut catatan Walhi, Hemsi menerima ancaman pembunuhan. Ketika dia melaporkan ke polisi, Hemsi justru dibekuk.
Dia dituduh telah mencuri dan merusak properti perusahaan.
Pada 2017, pengadilan memutuskan Hemsi bersalah dan menjalani masa kurungan lima bulan tujuh hari.
Pada 2018, Hemsi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) buat mendaftarkan dan menerbitkan sertifikat lahan miliknya. Belum sampai terbit, Hemsi kembali berurusan dengan hukum. Menurut catatan Walhi, Hemsi dibekuk, di Rumah Sakit Palu, saat anak ketiganya lahir. Vonis lagi. Hemsi masuk penjara lagi.
Pada 2020, perjuangan Hemsi berbuah hasil. BPN mengeluarkan sertifikat atas lahan. Catatan Walhi menyebut, BPN nyatakan lahan Hemsi bukan bagian HGU Mamuang.
Di Morowali Utara, Walhi menemukan hal serupa. Kakak beradik Gusman dan Sudirman, warga Morowali Utara, dipenjara setelah kena tuduhan mencuri buah sawit PT Agro Nusa Abadi.
Masih dari catatan Walhi, menduga HGU PT Lestari Tani Teladan, anak usaha Astra yang lain, menerabas pekarangan pemukiman rumah warga dan gedung sekolah dasar (SD), berdasarkan pengukuran BPN.
Walhi juga menemukan, LTT diduga menanam sawit di luar HGU yang diberikan seluas 13.621 hektar, dan masuk dalam kawasan hutan lindung seluas 1.603 hektar, juga kawasan hutan produksi terbatas seluas 401 hektar.
Kepada seluruh tuduhan ini, dalam rilis yang diterima Mongabay, perusahaan membantah.
Baca juga: Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit
Perusahaan mengklaim, mereka berkomitmen tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, termasuk menjaga kelestarian lingkungan, dan penghormatan terhadap HAM, tanpa menjelaskan bagaimana mereka melakukannya.
“Materi yang disampaikan oleh FoE yang menjadi dasar rencana pemblokiran Nestlé, merupakan isu lama yang sudah terklarifikasi di tahun-tahun saat kejadian,” tulis Tofan Mahdi, Senior Vice President of Communications and Public Affairs Astra, kepada Mongabay.
Nestlé membeli minyak sawit tiga anak usaha Astra melalui Cargill, Bunge Loders Croklaan, dan Sime Darby. Ketiganya bersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Menurut Walhi, konflik agraria yang terjadi antara perusahaan ini punya dua tipologi.
Pertama, perusahaan beroperasi “di atas wilayah kelola rakyat” yang lebih dahulu ada. Wilayah itu, antara lain wilayah transmigrasi, masyarakat lokal, dan Komunitas Adat Kaili Tado.
“Terhadap tipologi ini tidak dilakukan proses perpindahan hak yang clear and clean dari masyarakat kepada perusahaan. Sama artinya dengan perampasan wilayah kelola rakyat,” kata Uli.
Kedua, ANA, beroperasi diduga tanpa mengantongi HGU. “Perusahaan hanya memegang izin lokasi. Jika pun klaim perusahaan benar bahwa mereka memiliki Izin usaha perkebunan (IUP), tetapi mereka tidak boleh beraktivitas di tanah yang mereka kuasai saat ini.”
Perkataan Uli merujuk Putusan MK Nomor 138 Tahun 2015, yang mengubah kalimat dan substansi UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, pada Pasal 42.
Baca juga: Konflik Lahan antara Warga dan Perusahaan Sawit Astra Tak Kunjung Usai
Lewat putusan itu, frasa “atau” dihapus, dari isi sebelumnya yang menerangkan, bahwa pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat dilakukan apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) “dan/atau” IUP atau kedua-duanya.
“Penghentian pembelian CPO dari Astra Group oleh buyer internasional akibat praktik jahat perusahaan terhadap HAM dan lingkungan hidup, seharusnya menjadi momentum bagi lementerian dan lembaga terkait, segera evaluasi dan mencabut perizinan Aaak perusahaan AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat,” ujar Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.
“Pemerintah juga harus menuntut perusahaan, menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang berjuang menuntut hak atas tanah, serta melakukan ganti kerugian yang dialami oleh masyarakat atas kerusakan lingkungan hidup, sosial, ekonomi selama operasi perusahaan berlangsung di wilayahnya.”
Siapa Astra Agro Lestari?
Astra Agro Lestari adalah perusahaan hasil penggabungan beberapa perusahaan perkebunan di Indonesia, 30 tahun silam. Astra memulai usaha dari kebun ubi kayu dan karet.
Astra memulai industri sawit di Riau, pada 1988. Sampai 2021, kebun sawit Astra mencapai 286.727 hektar, nyaris setara luas Kota Bogor. Menyebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, melalui 41 anak usaha.
Sekitar 79.7 % saham Astra dikuasai Astra International Tbk., sebuah usaha otomotif terbesar di Asia Tenggara, dengan bisnis lain, antara lain, pertambangan, perkebunan, infrastruktur, dan teknologi informasi.
Separuh saham Astra International dikuasai Jardine Cycle & Carriage, bagian Jardine Matheson Group, konglomerat Inggris, yang berkantor pusat di Hong Kong dan terdaftar di Bermuda. Jardine Matheson didirikan sekitar 1830, oleh Scots William Jardine dan James Matheson, di Canton, dataran Tiongkok.
Dalam skema pembiayaan, pembiayaan Astra melalui beberapa bank. Menurut catatan Walhi, bank di Indonesia, macam Bank Mandiri dan Bank Pan Indonesia ikut membiayai, masing-masing sekitar US$150 juta.
*******