- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis analisis kebecanaan pada dua minggu terakhir di Indonesia.
- Curah hujan tinggi dan kerusakan lingkungan menjadi pemicu sejumlah bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan longsor.
- Kedua jenis bencana itu mendominasi wilayah Indonesia, dan dinilai terus meningkat di puncak musim hujan di akhir tahun sampai awal tahun 2023 nanti.
- Saat ini sejumlah wilayah masih berkutat menangani dampak bencana seperti kerusakan rumah, warga yang meninggal, dan risiko lanjutan di lokasi yang rentan bencana berulang.
Selama dua minggu terakhir, 17-23 Oktober ini bencana hidrometerologi basah seperti banjir dan longsor di Indonesia, tercatat 74 kali peristiwa di 20 provinsi. Sedikitnya 30 orang meninggal dalam 3 minggu ini.
Curah hujan dengan intensitas tinggi disebut bisa jadi pemicu, namun banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi dampak dari kualitas lingkungannya. Seperti kurangnya daerah tangkapan air dan material yang menghadang di sungai.
Hal ini dipaparkan Abdul Muhari, Plt Kepala Pusat, Data, dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada disaster briefing BNPB, 24 Oktober 2022. Pulau dengan kejadian bencana terbanyak adalah Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi.
Seminggu terakhir sudah ada 7 warga meninggal dunia, sebelumnya 23 orang selama dua minggu. “Harusnya korban meninggal bisa ditekan,” ujarnya.
Jika dua minggu sebelumnya ada 146 ribu warga mengungsi, minggu ini sudah 104 ribu orang. Selain itu ada lebih dari 25.800 ribu rumah terendam. Korban meninggal jadi perhatian karena dinilai cukup fatal. Terlebih intensitas hujan akan meningkat pada November sampai puncaknya Januari-Februari.
Selama dua minggu ini, kejadian terbanyak adalah banjir 44%, cuaca ekstrem 14%, dan tanah longsor 16%. Curah hujan dinilai sangat tinggi jika di atas 100 milimeter.
baca : Banjir dan Longsor Landa Trenggalek, Kalau Ada Tambang Emas Bakal Perparah Bencana
Intesitas hujan mulai 17 Oktober dinilai tinggi di daerah Kalimantan Timur dan Selatan, Aceh, dan Lampung karena dominan awan hujan. Dalam peta ditandai warna kemerahan. Namun, peristiwa bencana terbanyak di Jawa dan Bali. Menurut Muhari, kondisi kebencanaan dipengaruhi intensitas hujan tapi bukan faktor utama penyebab banjir. “Kondisi lingkungan bagus walau curah hujan tinggi bisa tidak jadi banjir,” katanya.
Ia mengimbau daerah dengan banjir berulang untuk mengevaluasi diri. Kalau terjadi banjir berulang berarti tidak kerja.
Untuk kawasan Pulau Jawa, bencana banjir terjadi di Trenggalek, Ponorogo, Malang, Blitar, dan Banyuwangi. Dari analisis data, dalam 10 tahun (2012-2021) terakhir, sampai 2019 kejadian bencana terus naik. Tertinggi 2019 sebanyak 622 kejadian, kemudian turun sekitar 366 pada 2021. Kini sudah 329 pada 2022 sampai Oktober. Diperkirakan terus naik di puncak musim hujan Februari atau Maret.
“Banjir paling banyak karena faktor lingkungan. Kalau tidak ada perbaikan daya tampung dan dukung alam secara signifikan maka akan lebih parah. Hujan hanya pemicu, faktor alam bukan penyebab. Bagaimana mengatur lingkungan, itu jadi penyebab,” jelasnya.
Catatan ini jadi peringatan penting karena ada rencana proyek pertambangan emas di Trenggalek setelah Tumpang Pitu di Banyuwangi. Sejumlah aksi protes sudah dilakukan warga. Film dokumenter “Angin Timur” oleh tim ekspedisi Indonesia Baru pun merangkum ancaman tambang ini pada ekologi perbukitan dan perairan Trenggalek.
Muhari pun heran, secara topografi ada daerah bukan risiko tinggi yakni beberapa kecamatanTrenggalek dan Tulungagung yang sekarang mulai terdampak banjir. Pada 20 Oktober banjir dan tanah longsor di Ponorogo, intensitas hujan meningkat sampai ke beberapa kawasan Jawa Tengah. Ia minta warga juga mewaspdai kawasan wisata seperti air terjun dan bantaran sungai.
baca juga : Bencana Longsor dan Banjir di Bali, Sedikitnya 6 Meninggal
Bencana Bali
Dua minggu terakhir ini bencana di Bali dominan di Kabupaten Karangasem dan Bangli. Namun tren hidrometerologi tak memberikan analisis yang linier karena peristiwanya naik turun. Terbanyak adalah 145 kejadian pada 2018, dan ini relatif pada musim kering, lalu menurun di tahun 2019 jadi 56 kejadian, kembali naik pada 2020 (93), dan 2021 (94). Per 23 Oktober tercatat 31 kejadian.
Menurut Muhari, di beberapa kawasan hutan masih terjaga tapi kawasan penyangga air mulai berkurang. Dalam 2 minggu ini bencana di Bali signifikan, kejadian jarang tapi dampaknya besar seperti jalan dan jembatan putus. Padahal akan ada pertemuan puncak G20 pada 14-16 November ini. BNPB akan mengantisipasi untuk mengurangi potensi dampak.
Halnya di Jawa, lokasi bencana saat ini pun sebagian bukan daerah dengan topografi rawan banjir, karena yang dinilai rentan umumnya sepanjang aliran sungai. Misalnya di Kabupaten Jembrana ada banjir bandang cukup besar. Karena itu otoritas harus lihat hulu sungai. Misal jika sungai yang biasanya saat musim kemarau kering, ada tumpukan pohon tumbang dan menghalangi jalur air. Lalu saat hujan, material tersebut jadi bendung alam atau sumbatan, memicu banjir bandang.
BNPB meminta warga antisipasi potensi hujan lebat Sumatera bagian tengah, Jawa, Kalimantan, dan Papua. Di antaranya mengenali risiko di tempat tinggal dan tempat kerja. Pemerintah daerah untuk kawasan rutin banjir, jika memerlukan dukungan pemerintah pusat harus tetapkan status siaga darurat. “Kenali potensi alat perangkat yang dimiliki seperti alat berat dan perahu karet. Rencana kontingensi harus dipahami,” pinta Muhari.
baca juga : Kala Parigi Moutong Banjir Bandang, Penyebabnya?
Penanganan bencana
Bencana longsor dan banjir di Kabupaten Jembrana masih terlihat nyata jejaknya di hari ke-7 pasca bencana, 17 Oktober lalu. Sejumlah rumah tertimbun ratusan batang kayu sampai hanya terlihat atapnya.
Gusti Ayu Sri, salah satu warga yang rumahnya tertimbun kayu dari banjir bandang yang menghancurkan rumahnya ini mengatakan tak mengira dampaknya sehebat ini. Ketika air sungai mulai setinggi jembatan Biluk Poh di jalur Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk, warga sudah evakuasi dari rumahnya.
Keesokan hari setelah peristiwa banjir bandang, ia kembali menengok rumah dan warungnya yang rata dengan tumpukan kayu hutan. Ini adalah peristiwa banjir ke-3 yang diingatnya selama 10 tahun terakhir ini dan paling parah dampaknya.
Saat ini Gusti dan puluhan kepala keluarga di kawasan ini sudah mengungsi di rumah kerabat dan posko. Area jembatan baru bisa dilalui dua jalur kendaraan setelah hari ke-4 bencana. Alat berat belum mampu membersihkan material lumpur, batu, dan kayu pada hari ke-7.
Ketika hujan reda, air sungai terlihat tenang dan mengecil. Namun setelah hujan deras 1-2 jam kemudian, air sungai langsung bergolak kembali mencapai jembatan, seperti terlihat pada Minggu (24/10/2022).
Data BPBD Bali menyebutkan, selama 8-23 Oktober ini, tercatat 9 warga meninggal karena longsor dan banjir. Terbanyak di Kabupaten Bangli 4 orang, Karangasem 3 orang, Denpasar 2 orang, dan Jembrana, Tabanan, serta Gianyar masing-masing 1 orang.
Dilihat dari sebaran titik bencana terbanyak di Kabupaten Karangasem 126 titik sedangkan Jembrana 35 titik. Selama dua minggu terakhir ada 256 kejadian di Bali.
Jika di Jembrana peristiwa terbesar adalah banjir bandang, sementara di Karangasem peristiwa longsor. Salah satunya di kawasan penambangan pasir, koral atau galian C. Sejumlah truk terendam dalam lubang-lubang bekas tambang. Peristiwa ini memberikan peringatan atas kondisi lingkungan saat ini. Seperti yang disimpulkan BNPB sebagai penyebab bencana, bukan hanya curah hujan.