- PLTA Koto Panjang berjarak sekitar 22 km dari Bangkinang, Ibu Kota Kabupaten Kampar. Atau, sekitar 87 km dari Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Letaknya di pinggir jalan nasional yang menghubungkan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Dulunya, waduk ini merupakan permukiman, kebun, ladang, jalan, serta hamparan perbukitan dan habitat gajah sumatera.
- Tahun 1992, masyarakat mulai dipindahkan ke permukiman baru. Tak hanya warga, satwa liar khususnya gajah sumatera pun tak luput direlokasi ke habitat baru.
- Kawasan PLTA Koto Panjang dulunya terhubung dengan Tesso Nilo dan menjadi satu kantong populasi gajah. Jalurnya saat itu, dari Tesso Nilo di Pelalawan, Lipat Kain Sungai Pagar di Kampar Kiri, kawasan PLTA Koto Panjang, lalu ke Hutan Lindung Suligi di Rokan Hulu dan sampai ke Duri di Minas.
- Penangkapan dan pemindahan gajah akibat pembangunan waduk Koto Panjang menimbulkan kepunahan subpopulasi lokal. Artinya, yang dilakukan di masa lalu itu telah menghilangkan satu kantong populasi, karena kantong-kantong gajah dulunya saling terkoneksi.
Baca sebelumnya: Hilangnya Kantong Gajah Sumatera di Koto Panjang [Bagian 1]
**
Nukman, pensiunan BKSDA Riau, yang terlibat pemindahan gajah di Koto Panjang bercerita, tahun 1992 di perbatasan Riau dan Sumatera Barat atau persisnya di hulu Sungai Gulamo, gajah jantan pertama ditangkap. Fisiknya yang besar membuatnya dijuluki si Jantan Besar.
Proses pemindahan gajah dari 1992 hingga 1997, sebelum penggenangan dilakukan. Pemindahan gajah di Koto Panjang berawal dari sebuah studi di Kabupaten Kampar, yang menyebutkan terdapat satu kelompok gajah dengan homerange hingga wilayah yang akan digenangi PLTA Koto Panjang. Khususnya daerah Batu Besurat, Tanjung Alai, dan Pulau Gadang.
Sebelum gajah-gajah dipindahkan, tim BKSDA Riau bersama akademisi Universitas Riau melakukan survei lapangan, lalu mengumpulkan informasi prioritas. Maksudnya, keberadaan gajah yang dekat permukiman apakah membahayakan masyarakat nantinya. Juga, akses jalan yang mudah. Setelah itu, barulah tim disiapkan untuk melakukan pembiusan.
“Jadi homerange gajah itu mulai dari Koto Ranah Lamo, Batu Besurat kampung lama, Tanjung Alai, Sungai Silam jalan Rantau Berangin ke arah Pasir Pangaraian, Batu Langkah Kecil, dan Batu Langkah Besar sampai Kabun,” jelas Nukman.
Homerange merupakan ruang jelajah atau kisaran gajah bergerak mencari makan. Nukman menjelaskan, gajah tidak stay, selalu bergerak. Pergerakannya sampai ke Pulau Gadang, yang sekarang dikenal dengan julukan Kampung Patin.
Gajah-gajah liar tersebut dipindahkan ke PLG Sebanga, yang dulu jalur masuknya dari Desa Sebanga.
“Sebelum dilepaskan kembali, gajah-gajah diperiksa dulu kesehatannya, kelayakannya, situasinya, serta kondisi lainnya,” jelas Nukman.
Setelah direhabilitasi di PLG Sebanga, gajah-gajah dari Koto Panjang dilepaskan kembali ke habitat baru. Saat itu, konsentrasinya di Giam Siak Kecil, sebuah kawasan hutan berstatus suaka margasatwa di daerah Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kurang lebih berjarak 200 kilometer dari Koto Panjang.
Namun menurut Nukman, ada beberapa gajah yang dipelihara di PLG Sebanga, tidak dirilis ke alam dikarenakan situasi dan kondisi masyarakat waktu itu. Merelokasi gajah di tempat yang baru dinilai sangat riskan, karena gajah punya sifat menjelajah dan terus mencari homerange baru.
“Dikhawatirkan akan menimbulkan dampak pada masyarakat.”
Pengalaman penangkapan gajah liar Koto Panjang, disampaikan Erwin, mahout. Waktu itu kondisinya sangat terik, saat ia dan tim menaiki sebuah bukit, tampak seekor gajah jantan. Tiba-tiba, gajah liar itu mendekat. Kondisi itu menimbulkan kepanikan dan membuat seorang mahout menembakkan bius.
Setelah tertembak, gajah itu putar haluan menuruni bukit.
“Setelah itu, kami mencarinya yang ternyata sudah tertidur dan seperti ngorok,” kenang Erwin akan tingkah lucu gajah itu.
Gajah itu lalu dibawa ke PLG Sebanga dan diberi nama Rahman. Usai rehabilitasi, Rahman dirilis ke Giam Siak Kecil namun ia selalu kembali ke PLG Sebanga. Itu sebabnya, Rahman dilatih menjadi gajah jinak.
Selanjutnya, Rahman dibawa ke Lubuk Kembang Bunga dan hingga saat ini menjadi anggota gajah di Elephant Flying Squad Tesso Nilo. Tugasnya, membantu mahout menggiring gajah liar di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo yang masuk permukiman, dalam upaya mitigasi konflik manusia dengan gajah.
Ria, gajah betina yang dulunya juga membantu pemindahan gajah Koto Panjang ke PLG Sebanga pun menjadi bagian Elephant Flying Squad Tesso Nilo.
Dulunya hutan alam dan kantong gajah
Lanskap Bukit Barisan terbentang di wilayah barat Sumatera sepanjang 1.650 kilometer, dari Provinsi Lampung hingga Provinsi Aceh. Tercatat, sekitar 40 gunung berjejer di Bukit Barisan. Mulai dari Gunung Bandahara di Aceh hingga Gunung Tanggamus di Lampung. Sepotong dari bagian Bukit Barisan juga menyentuh wilayah Kabupaten Kampar. Persisnya, terletak di bagian barat kabupaten itu, atau pada lokasi waduk PLTA Koto Panjang berada.
Sekarang, jika mengunjungi PLTA Koto Panjang saat musim kemarau dan debit air menurun, akan terlihat pucuk kayu toghe. Masyarakat setempat menyebutnya toghe, sejenis kayu yang lama terendam air, sehingga keras. Kayu itu berwarna gelap, bukan bekas limbah buangan masyarakat, melainkan kayu sisa dari hamparan hutan bertahun lalu.
Tahun 1992, Khairijon, dosen Biologi dari pusat penelitian Universitas Riau menuturkan, kawasan PLTA Koto Panjang merupakan hutan alam yang sangat natural. Pernah saat survei, dia melihat beruang dan satwa lain di pagi hari. Artinya, wilayah ini dulunya jalur aktif satwa.
Saat itu, ada dua studi yang dilakukan, yaitu layak huni masyarakat dan penanggulangan satwa lindung gajah pada pembangunan PLTA Koto Panjang. Khairijon terlibat studi penanggulangan satwa gajah.
Menurutnya, studi menyebutkan terdapat 34 individu gajah di daerah tersebut dan telah dipindahkan sebelum dilakukan penggenangan. Namun, sejauh ini tidak ada data pasti berapa jumlah individu gajah yang telah direlokasi. Hal ini dikarenakan, hasil studi dan dokumen lainnya sulit ditemukan.
Dari hasil survei, Khairijon menuturkan kawasan PLTA Koto Panjang dulunya terhubung dengan Tesso Nilo dan menjadi satu kantong populasi gajah. Jalurnya saat itu, dari Tesso Nilo di Pelalawan, Lipat Kain Sungai Pagar di Kampar Kiri, kawasan PLTA Koto Panjang, lalu ke Hutan Lindung Suligi di Rokan Hulu dan sampai ke Duri di Minas.
“Bahkan, saya rasa bisa sampai ke Tasik Serai. Namun saat itu, survei pemetaan kantong populasi gajah tidak dilanjutkan karena hanya fokus di area PLTA Koto Panjang,” jelasnya.
Meski belum ada penelitian lebih lanjut, Khairijon menduga adanya pembangunan PLTA Koto Panjang, bisa saja membuat kantong gajah terputus. Di kesempatan lain, Nukman menyebutkan dulunya daerah Koto Panjang disebut sebagai kantong populasi gajah Suliki Tandun.
“Posisinya dekat Bukit Suliki. Sebelah selatan Bukit Suliki itu daerah Koto Ranah. Gajah-gajah tersebut memang tidak melintasi Bukit Suliki, tapi mereka bergerak di bawahnya dari Batu Langkah, Sungai Silam, Koto Ranah, Batu Besurat, Koto Masjid dan balik lagi ke Sungai Silam serta Batu Langkah,” jelas Nukman.
Berkurang
Penelitian Dwi Adhari Nugraha mengenai “Distribusi, Wilayah Distribusi, dan Pemodelan Habitat Gajah Sumatera [Elephas maximus sumatranus Temminck 1847] dI Lanskap Sumatera Bagian Tengah” Program Studi Magister Biologi, Universitas Gadjah Mada [2019], menjelaskan, luas habitat gajah sumatera terus mengalami perubahan dari masa ke masa.
Tahun 1980, Riau diketahui memiliki 11 kantong populasi gajah. Pada 1999, survei BBKSDA Riau mengidentifikasi terdapat 16 kantong populasi.
Pada 2003, survei BBKSDA Riau dan WWF Indonesia mengidentifikasi sebanyak 16 kantong popuasi gajah sumatera. Lalu, tahun 2016 teridentifikasi 8 kantong populasi, hingga hasil studi Dwi menyebutkan, hanya tersisa 6 kantong di Riau.
Menurut Dwi, untuk memastikan 2 kantong populasi gajah tersebut masih ada atau tidak, perlu dilakukan survei lanjutan intensif. Meski 2 kantong tersebut tidak ditemukan tanda keberadaan gajah, namun habitatnya suitable meski untuk jumlah gajah yang kecil. Kantong populasi gajah, secara praktis bisa diartikan sebagai wilayah distribusi atau gabungan beberapa homerange yang saling berdekatan secara spasial.
Dwi menjelaskan, gajah memiliki tingkat adaptasi cukup baik pada beberapa tipe vegetasi dan kerapatan. Namun, ancaman konservasi gajah sumatera di lanskap Sumatera bagian Tengah adalah adanya gangguan yang diakibatkan aktivitas manusia yang berada di sejumlah wilayah distribusi gajah.
Wishu Sukmantoro, peneliti gajah dari Forum Konservasi Gajah Indonesia [FKGI] menuturkan, penangkapan dan pemindahan gajah akibat pembangunan waduk Koto Panjang menimbulkan kepunahan subpopulasi lokal. Artinya, yang dilakukan di masa lalu itu telah menghilangkan satu kantong populasi, karena kantong-kantong gajah dulunya saling terkoneksi.
Wishnu beranggapan, sebenarnya waktu itu gajah-gajah di area Koto Panjang masih bisa eksis tanpa dipindahkan. Belajar dari apa yang terjadi di Temunggur, sebuah danau buatan di perbatasan Malaysia dan Thailand yang dibuat untuk PLTA juga, gajah-gajah dibiarkan saja. Tidak diusir. Hanya saja, permasalahan di sana adalah gajah-gajah terkurung di satu area.
“Walaupun gajah di sana tidak bisa kemana-mana, namun gajahnya tetap ada. Untuk kasus di Koto Panjang, harusnya gajah-gajahnya tidak dipindahkan. Tapi saya rasa, mungkin rencana dan pemikiran waktu itu belum sejauh sekarang. Bila Koto Panjang difungsikan kembali sebagai habitat gajah, bisa saja,” jelasnya.
Akankah Koto Panjang kembali menjadi kantong gajah sumatera, sejak 30 tahun lalu dipindahkan? [Selesai]