- Para nelayan di Pulau Mandioli, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara kesulitan untuk melaut karena terdampak kenaikan harga BBM. Bahkan ada nelayan beberapa bulan terakhir tidak lagi melaut karena mahal dan terbatasnya akses BBM
- Mahalnya harga BBM di Pulau Mandioli, dikarenakan para nelayan terpaksa membeli eceran dari pengepul. Bukan langsung membeli dari SPBU atau pengkalan BBM di Labuha, Pulau Baca, ibukota Kabupaten Halmahera Selatan, karena ketiadaan SPBU atau pangkalan BBM di Pulau Mandioli
- Para nelayan Pulau Mandioli melalui koperasi nelayan setempat, telah mengirimkan surat resmi ke pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan mengenai mahalnya harga BBM dan ketiadaan SPBU. Sayangnya surat tersebut belum mendapat tangkapan dari Pemkab Halmahera Selatan
- Padahal Pemerintah melalui program BBM satu harga, telah meresmikan SPBU Kompak Pulau Makian dan SPBU Kompak Saketa Kabupaten Halmahera Selatan sejak 2019 lalu.
Matahari sudah agak meninggi, jarum jam menunjukan sekira pukul 8.30 WIT. Sabtu (15/10/2022) pagi itu, Samlawi Manaf (57 tahun), nelayan Desa Jiko, Pulau Mandioli, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara itu bersiap hendak melaut.
Dengan jerigen berkapasitas 25 liter, dia berkeliling kampung mau beli bahan bakar minyak (BBM). Hari itu dia hanya mampu beli 15 liter BBM jenis pertalite untuk modal seharian melaut di sekitar pulau Mandioli. Samlawi hanya mendapatkan 15 liter karena hanya sebesar itu uang yang dia punya untuk beli BBM. Padahal sebelum adanya kebijakan kenaikan BBM, dia bisa membeli sampai 30 liter pertalite untuk kebutuhan melaut yang lebih jauh.
“Harga BBM so naik jadi torang hanya sanggup beli sebanyak itu,” katanya. Samlawi yang sehari-hari menangkap ikan tuna ini tetap bertahan melaut meskipun dengan modal terbatas demi memenuhi kebutuhan hidup.
Apa yang dialami Samlawi ini adalah bagian dari dampak kenaikan harga BBM yang diberlakukan pemerintah, yang dialami kehidupan nelayan kecil, terutama yang berada di pulau pulau kecil. Nelayan di Pulau Mandioli dalam beberapa bulan ini tidak bisa lagi melaut untuk menangkap ikan karena tidak sanggup membeli BBM, sehingga tidak ada pendapatan untu kebutuhan sehari-hari.
“Sudah hampir dua bulan ini tidak melaut karena tak sanggup beli BBM karena harganya naik gila-gilaan,” kata La Ana (50 tahun) salah satu nelayan ikan tuna Desa Jiko, Mandioli Selatan, Sabtu (15/10/2022) lalu.
baca : Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik
La Ana yang setiap hari mengoperasikan motor katinting 13 PK itu, butuh BBM 20 sampai 30 liter untuk sekali turun ke laut. Pria yang memiliki lima anak dan dua di antaranya sementara kuliah di Kota Ternate itu, terpaksa putar otak agar bisa memenuhi kebutuhan pendidikan kedua anaknya itu. Belum lagi untuk kebutuhan lain.
Dia bilang, sejak adanya kenaikan harga BBM jenis pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10 ribu per liter dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500, harga dua jenis BBM ini di pulau Mandioli sudah mencapai Rp20 ribu per liter.
Artinya jika kebutuhannya sekira 30 liter, La Ana mengeluarkan Rp600 ribu untuk beli BBM. Pengeluaran itu kadang tidak sebanding dengan hasil tangkapan. Kadang jika hasil tangkapan tak sesuai, sudah tak bisa beli BBM kembali. Karena itu dia berharap ada perhatian dari pemerintah daerah, bisa menyediakan BBM sesuai harga yang ditetapkan pemerintah.
Mahalnya harga BBM ini, karena para nelayan tak bisa beli langsung ke SPBU atau agen dan pangkalan BBM. Mereka harus beli eceran yang dijual pengepul yang mengambilnya ke Labuha, Pulau Bacan, ibukota Kabupaten Halmahera Selatan. Akhirnya nelayan mendapatkan harga yang sudah sangat mahal. “Di Pulau ini tidak ada pangkalan atau SPDN. Hal ini yang membuat nelayan sulit mendapatkan BBM,” keluh La Ana.
Koordinator nelayan Desa Jiko, Ardian Ibrahim yang menghimpun sekira 32 nelayan desa mengeluhkan tingginya harga BBM itu, membuat anggota kelompok nelayan turut menderita.
Dia bilang, para nelayan sangat butuh BBM jenis pertalite dengan harga terjangkau. Kenyataannya di lapangan harga BBM yang ditetapkan naik oleh pemerintah baru-baru ini, berdampak luas bagi nelayan di kampungnya.
Kebutuhan nelayan di Pulau Mandioli terutama yang menggunakan mesin tempel 30 PK, butuh BBM jenis pertalite mencapai 50 liter sekali melaut. Dari banyaknya BBM yang dibeli, hasilnya kadang tidak sesuai. “Kalau sehari melaut dan hanya dapat hasil satu ekor tuna maka modal untuk BBM juga tidak kembali,” keluhnya.
baca juga : Solar Satu Harga untuk Nelayan Hanya Mitos (8)
Dia bilang meski sudah mengail tuna dengan jarak tempuh 15 sampai 20 mil laut kadang tak sesuai harapan. Ini yang menyebabkan para nelayan berhati-hati ketika memutuskan melaut. Jika salah berhitung dengan keberadaan ikan maka hanya akan membuang modal. “Jika ada nelayan memperoleh hasil tangkapan yang lumayan, maka nelayan lain ikut turun melaut,” jelas Ardian.
Saat ini nelayan di bawah kelompoknya ada yang benar-benar istrahat melaut. Mereka tidak bisa lagi beli BBM akibat hasil tangkapan yang nihil. Kalaupun ada nelayan nekat melaut, hanya dekat di seputaran Pulau Mandioli karena terbatasnya BBM yang dibeli.
Dulu sebelum ada kebijakan kenaikan harga BBM mereka mengail sampai mencapai di kawasan laut pulau Obi dan laut Pulau Kasiruta. Saat ini tidak bisa lagi mengail di wilayah yang jauh, dengan waktu lama karena keterbatasan BBM.
“Dari 30 armada di bawah koordinasi kami tersisa 14 armada nelayan tuna yang aktif beroperasi dengan wilayah memancing di bawah 10 mil laut,” kata Ardian.
Dalam kondisi nelayan yang tidak menentu tersebut, perhatian pemeritah daerah sebagai pengambil kebijakan memenuhi kebutuhan BBM nelayan ini belum ada.
“Kita sudah sampaikan keluhan berulang kali ke pemerintah tetapi sampai saat ini juga belum ada tindak lanjut instansi terkait terutama Dinas Kelautan dan Perikanan di kabupaten. Permintaan kami, perlu perhatian masalah BBM termasuk butuh ada fasilitas nelayan. Butuh ada pangkalan BBM sehingga nelayan kecil di Mandioli mendapatkan harga yang lebih terjangkau. Ini permohonan kami para nelayan,”pinta Ardian.
baca juga : Pengganti BBM, Elpiji Jadi Pilihan Nelayan
Karena kondisi itu, mereka yang berhimpun di bawah koperasi nelayan (Kopnel) Homa Dora Selatan (HDS) Jiko Mandioli mengirimkan surat resmi ke pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Surat yang ditandatangani Ketua Koperasi HDS Jumat Saban dan disetujui pemerintah kecamatan setempat menyebutkan agar ada kebijakan strategis dari pemerintah mengatasi mahalnya harga BBM.
“Kenaikan harga BBM membuat kami nelayan sangat susah. Kami kesulitan melanjutkan aktivitas sebagai nelayan. Harga BBM jenis pertalite dan pertamax bervariasi antara Rp18 ribu hingga Rp20 ribu berbanding terbalik dengan harga ikan hasil tangkapan yang dibeli di perusahaan ikan di Labuha per kilogramnya berkisar Rp10 ribu sampai Rp12 ribu,” tulis para nelayan dalam surat bernomor 006 Kopnel-HDS/MY-IX/2022 itu.
Sayangnya surat yang dilayangkan ke pemerintah sejak September lalu itu belum juga ada tanggapan dari pemerintah. “Surat kita ini belum juga ditanggapi pemerintah,” kata Ardian.
Sedangkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemkab Halmahera Selatan mengaku tidak pernah menerima surat tembusan dari surat Kopnel HDS yang ditujukan ke Bupati Halmahera Selatan. “Surat para nelayan itu ditujukan ke Bupati tetapi tidak ada tembusannya ke DKP Halmahera selatan,” kilah Sanusi Iskandar Alam Sekretaris DKP saat dikonfirmasi Kamis (27/10/2022).
Kondisi ini kontras dengan apa yang dilakukan pemerintah melalui program BBM satu harga. Di Halmahera Selatan misalnya, PT Pertamina (Persero), Kementerian ESDM, dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah meresmikan lembaga penyalur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Kompak Pulau Makian dan SPBU Kompak Saketa Kabupaten Halmahera Selatan sejak 2019 lalu.
Kala itu Branch Manager Marketing Maluku Pertamina Donny Brilianto, menjelaskan bahwa Pertamina menjalankan tugas membuka aksesibilitas dan ketersediaan serta menyediakan energi bagi masyarakat, khususnya di wilayah 3T (Terluar, Terdepan dan Tertinggal) terlebih lagi di wilayah Maluku Utara yang terdiri dari pulau-pulau.
“Kehadiran SPBU Kompak Satu Harga di tiga titik BBM Satu Harga di wilayah Provinsi Maluku Utara merupakan wujud komitmen Pertamina dalam mendukung program Pemerintah untuk wilayah 3T,” ujar Donny dalam sambutannya seperti dikutip di website Pertamina.
Namun kenyataan di lapangan menunjukan harga BBM berbeda bahkan didapatkan nelayan dengan harga yang sangat mahal. (*)