- Luas sawah di Aceh berkurang.
- Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh 2017 hingga 2019 menunjukkan, lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 80.485 hektar.
- Provinsi Aceh telah menetapkan Qanun [Perda] Nomor 19 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033. Ini terkait strategi pengembangan kawasan budidaya dengan pemanfaatan kawasan budidaya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
- Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Amanatnya jelas, perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah.
Luas sawah di Aceh terus berkurang. Kondisi yang dikhawatirkan berimbas pada ketahanan pangan masyarakat.
Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh 2017 hingga 2019 menunjukkan, lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 80.485 hektar.
Rinciannya, luas baku sawah di 23 kabupaten/kota di Aceh tahun 2017, mencapai 294.483 hektar. Namun pada 2019, berdasarkan penetapan Kementerian ATR/BPN, luasannya menjadi 213.997 hektar.
Kabupaten Aceh Besar yang letaknya sangat dekat dengan Ibukota Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, misalnya. Luasan sawahnya menghadapi persoalan dijadikan permukiman baru, pertokoan, dan sejumlah fasilitas publik.
“Saya sudah tidak punya lahan untuk menanam padi. Pemiliknya telah menjual sawah yang sebelumnya saya kelola dengan sistem bagi hasil,” ujar Agam Rahmat, warga Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Jumat [11/12/2022].
Agam mengatakan, setelah dijual sawah tersebut dijadikan perumahan.
“Ada juga sawah yang di sampingnya didirikan bangunan beton. Namun, menjadi kolam karena airnya tidak mengalir,” ungkapnya.
Basri, warga Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar lainnya mengatakan, setelah tsunami 26 Desember 2004 silam, banyak masyarakat meninggalkan tempat tinggalnya yang dekat pantai.
“Kecamatan Ingin Jaya termasuk favorit, sehingga sawah-sawah dijual untuk dijadikan permukiman dan bangunaan.”
Data Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Besar menunjukkan, sejak 2014 hingga 2019, luas areal persawahan yang berubah fungsi di wilayah ini mencapai 4.929 hektar. Pada 2014, luas lahan baku sawah masyarakat di 23 kecamatannya sekitar 30.421 hektar dan turun menjadi 25.692 hektar pada 2019.
Foto: Kemarau, Sawah di Aceh Gagal Panen
Kebutuhan
Hal yang sama terjadi di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, periode 2014-2019. Sebelumnya luas baku sawah di wilayah ini sekitar 29.799 hektar namun berkurang menjadi 24.787 hektar.
Sulaiman, petani di Kecamatan Grong-Grong, Kabupaten Pidie mengatakan, persoalan ini harus dicarikan solusi. Jangan hanya diserahkan kepada petani dan pemilik sawah.
“Pemilik sawah umumnya menjual untuk menutupi kebutuhan mendesak, seperti biaya berobat atau pendidikan. Meski begitu, manjaga sawah agar tidak berubah fungsi harus dilakukan juga,” paparnya.
Baca: Pertanian Bawah Tanah, Solusi Pangan Masa Depan?
Mengutip Antara, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh menjelaskan, guna memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian, Provinsi Aceh telah menetapkan Qanun [Perda] Nomor 19 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033. Ini terkait strategi pengembangan kawasan budidaya dengan pemanfaatan kawasan budidaya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, penerapan qanun tersebut belum secara tegas mengamanatkan perlindungan lahan pertanian. Terutama, menjamin kedaulatan pangan secara
berkelanjutan dalam bentuk perlindungan lahan.
Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Amanatnya jelas, perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah.
Baca: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial
Berdampak pada ketahanan pangan
Rusmini R, Mahasiswa Magister Agribisnis Universitas Syiah Kuala, di Jurnal AGRIFO, Vol. 4, April 2019 menulis, perubahan luas lahan sawah ke non-pertanian seperti permukiman, fasilitas publik, dan perdagangan bisa berdampak baik bagi perkembangan ekonomi, sosial daerah, serta lingkungan. Namun, sangat sulit dihindari dampaknya untuk ketahanan pangan, terlebih bersifat permanen.
“Jika dibiarkan akan berpengaruh pada produksi beras yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat,” jelasnya.
Menurut Rusmini, di Kabupaten Aceh Besar, kecamatan dengan laju penyusutan terbesar adalah Krueng Barona Jaya, Darul Imarah, Ingin Jaya, Kuta Baro, dan Blang Bintang.
“Penyusutan luas di Kecamatan Kuta Baro karena adanya perpanjangan landasan bandara, sementara di Kecamatan Blang Bintang luasan sawah berkurang di sekitar Bandara Sultan Iskandar Muda, sebagai akses jalan,” ungkap.
Sementara di Ingin Jaya, Darul Imarah, dan Krueng Barona Jaya karena aktivitas pembangunan perumahan, perdagangan, dan fasilitas umum.
Baca juga: Pertanian Berkelanjutan: Untuk Keamanan Pangan atau Untuk Ketahanan Petani?
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, Rifchi Anggari, Zulfan, dan Husaini, di Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Oktober 2016 menjelaskan, cukup banyak peraturan berkaitan pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Termasuk, peraturan pengendalian konversi lahan pertanian sawah beririgasi.
“Namun, peraturan itu belum mampu menahan laju konversi lahan sawah. Fenomena ini sudah lama terjadi dan terus berlanjut,” terang Rifchi dan kolega yang melakukan penelitian di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.
Dampak langsung dari konversi lahan pertanian adalah berkurangnya luas areal tanam dan panen khususnya tanaman pangan seperti padi. Ini dikarenakan sebagian besar lahan yang dikonversi adalah sawah yang seharusnya menjadi tumpuan proses produksi pangan.
Konversi lahan juga sering berdampak buruk terhadap kawasan-kawasan tangkapan air dan kelestarian sumber daya air. Dampaknya, ketersediaan air khususnya untuk proses produksi tanaman pangan terganggu secara kuantitas maupun kualitas.
“Ketika kondisi seperti ini terus terjadi, maka keberlanjutan ketahanan pangan akan terancam,” jelas penelitian tersebut.