- Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan sawit berkelanjutan di Indonesia, satu contoh, pemegang standar sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO) saja masih rendah. Negara tetangga sekaligus produsen sawit kedua terbesar, Malaysia, sudah melakukan hal serupa dan melebarkan pasar sawit mereka.
- Guna mendorong standar sawit hijau memiliki nilai penerimaan di pasar internasional maka perlu mekanisme pengawasan setelah pemberian sertifikasi.
- Fortasbi menilai pembenahan harus memaksimalkan keterlibatan pemerintah, perusahaan, serta LSM pendamping petani sawit. Petani swadaya, katanya, akan kesulitan untuk sertifikasi kalau tidak ada pihak yang membantu mereka.
- Pekerjaan rumah lain yang tidak kalah besar, adalah mengubah persepsi di petani dan perusahaan supaya tidak melihat sertifikasi keberlanjutan ini sebagai dokumen saja. Harus bisa mengerti esensi demi perbaikan kualitas lingkungan, sosial dan budaya lebih baik.
Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan sawit berkelanjutan di Indonesia, satu contoh, pemegang standar sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO) saja masih rendah. Negara tetangga sekaligus produsen sawit kedua terbesar, Malaysia, sudah melakukan hal serupa dan melebarkan pasar sawit mereka.
World Resource Institute menyebut, salah satu pasar sawit yang bisa diincar untuk membuka keran ekspor lebih deras dari Indonesia adalah Tiongkok. Negara Tirai Bambu ini satu tujuan ekspor terbesar minyak sawit Indonesia.
Negara ini memegang posisi strategis bagi industri sawit nasional. Yang terbaru, kata Bukti Bagja, Supply Chain and Livelihood Transformation Senior Manager WRI Indonesia, ada komitmen penguatan dagang antara Indonesia dan Tiongkok sebesar 1 juta metrik ton minyak sawit mentah (CPO).
“Namun kita ada PR (pekerjaan rumah) untuk mengoptimalkan ISPO untuk jadi komponen daya saing sawit kita di pasar global,” katanya baru-baru ini.
Tiongkok sedang menyongsong industri sawit lebih hijau. Berbagai inisiatif mereka luncurkan seperti Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok 2018, proposal kebijakan rantai nilai hijau dari China Council for Internasional Cooperation of environment and Development (CCICED) yang diajukan 2020. Juga pengembangan panduan konsumsi minyak sawit berkelanjutan oleh China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA) tahun ini.
Indonesia, katanya, harus bisa berbenah dan memaksimalkan standar keberlanjutan terhadap produk sawit dalam negeri. Kalau tidak, Indonesia bisa kalah dengan Malaysia yang sudah menerapkan pendekatan yang lebih agresif dalam mengadopsi praktik sawit berkelanjutan.
Sekitar 88% total area tanam sawit di negara pemasok sawit terbesar kedua bagi Tiongkok setelah Indonesia ini pada 2020 sudah tersertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Pada tahun sama, adopsi ISPO di Indonesia hanya 27%.
“Malaysia sudah selangkah lebih maju daripada kita,” kata Bagja.
Negeri Jiran ini proaktif memperkenalkan standar sawit berkelanjutan mereka untuk bisa direkognisi di pasar Asia dan Tiongkok. Mereka bisa menandatangani Nota Kesepahaman dengan China Green Food Development Center (CGFDC) untuk memasukkan skema MSPO dalam sertifikasi label makanan hijau di Tiongkok.
“Kita harus berbenah, karena sinyal perdagangan yang lebih hijau ini sedang menguat dari Tiongkok,” kata Bagja.
Pembenahan ISPO pun juga harus bisa menarik dan menguntungkan bagi para pemegang sertifikasinya. Forum Petani Sawit Berkelanjutan (Fortasbi) pada kesempatan sama menyebut target pemerintah untuk membuat 100% petani sawit besertifikasi ISPO pada 2025 akan sulit tercapai.
Salah satu faktornya, ISPO kalah saing dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dalam memberikan insentif pada para petani. Rukaiyah Rafik, Manajer sekaligus Kepala Sekolah Fortasbi menyebut, petani Indonesia yang bersertifikasi RSPO mendapat insentif hingga US$3,5 juta setahun.
Insentif ini kebanyakan datang dari para pembeli bermerek besar di pasar seperti Pepsico, Unilever, The Body Shop, Johnson & Johnson hingga Head n Shoulders. “Agak susah untuk ISPO. Karena RSPO ini penerimaannya sudah besar di pasar. Kalau ISPO belum,” kata Rukaiyah.
Benahi pengawasan
Guna mendorong standar sawit hijau memiliki nilai penerimaan di pasar internasional maka perlu mekanisme pengawasan setelah pemberian sertifikasi. Pasalnya, beberapa kasus menunjukkan sertifikasi keberlanjutan dalam bentuk ISPO atau RSPO tidak menjamin pemilik sertifikasi tetap menjalankan praktik yang baik.
Salah satu temuan Mongabay Indonesia, Tempo serta Betahita dalam investigasi bertajuk Jejak Sawit Gelap di Pasar Global memperlihatkan, praktik keberlanjutan selesai setelah sertifikasi diberikan.
Hal ini diamini Bukti Bagja. Pengawasan dalam sertifikasi keberlanjutan di industri sawit masih lemah.
“Harus ada unsur pengawasan bersama,” katanya.
Selama ini, auditor yang melakukan pengawasan tidak datang setiap waktu ke perusahaan-perusahaan pemegang sertifikasi. Bagja bilang, kunjungan auditor biasa hanya satu kali dalam setahun dengan durasi maksiimal lima hari.
Untuk itu, perlu ada peran dari masyarakat, organisasi masyarakat sipil maupun pemerintah untuk mengawasi praktik para pemegang sertifikasi sawit berkelanjutan. Ini pun, katanya, harus didukung skema pengaduan bisa terakomodir dengan baik.
“Lalu, mekanisme pengawasan pun harus terbuka dan transparan,” kata Bagja.
Pekerjaan rumah lain yang tidak kalah besar, katanya, adalah mengubah persepsi di petani dan perusahaan supaya tidak melihat sertifikasi keberlanjutan ini sebagai dokumen saja. Harus bisa mengerti esensi demi perbaikan kualitas lingkungan, sosial dan budaya lebih baik.
Pemahaman itu harus bisa ditanamkan hingga ke tingkat kebun dan pasar, tidak hanya pada top management. “Memang ISPO belum 100% sempurna. Tapi harus kita perbaiki dan optimalkan untuk keberlanjutan sawit di Indonesia.”
Fortasbi menilai pembenahan harus memaksimalkan keterlibatan pemerintah, perusahaan, serta LSM pendamping petani sawit. Petani swadaya, katanya, akan kesulitan untuk sertifikasi kalau tidak ada pihak yang membantu mereka.
“Kalau hanya satu organisasi masyarakat sipil saja yang bantu petani, itu bisa 3-5 tahun. Kalau pemerintah, perusahaan serta LSM banyak terlibat, prosesnya bisa satu tahun saja,” kata Rukaiyah.
Keterlibatan banyak pihak itu bisa membantu petani untuk memenuhi persyaratan sertifikasi seperti peta lahan, maupun legalitas kebun mereka. Sejauh ini, dari 10.400 petani swadaya dengan lahan hingga 22.000 hektar yang menjadi anggota Fortasbi, 95% sudah memiliki sertifikasi keberlanjutan.
“Kami meminta sertifikasi ini didorong bukan karena Tiongkok memanggil, tapi karena sustainability itu keniscayaan.”
Bangun pabrik
Rukaiyah juga menyebut, Fortasbi dan tujuh koperasi petani sawit di Kubu Raya sedang menggagas rencana membangun pabrik sawit untuk mendorong bisnis di sektor hilir. Pabrik dengan kapasitas 30 ton per jam itu perlu modal Rp250 miliar.
Fortasbi akan mendorong koperasi-koperasi ini untuk bisa mengakses dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) maupun Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). “Perbankan sudah ada yang mau jadi inovestor, tapi kami ingin dorong supaya koperasi bisa mengakses dua sumber dana itu,” katanya.
PKS ini, akan dipakai untuk menampung hasil pertanian dari para anggota koperasi dengan luas kebun mencapai 7.000 hektar. Kajian awal Fortasbi, kapasitas 30 ton per jam sudah cukup untuk menampung suplai dari para petani dan melakukan pelebaran bisnis.
“Ini untuk membuktikan kalau petani swadaya juga bisa berbisnis di hilir,” kata Rukaiyah.
Dia menyebut, pabrik ini akan menyasar beberapa produk hilir seperti minyak makan merah, sabun hingga biodiesel. Minyak makan merah dipilih untuk menyelaraskan dengan program pemerintah, sementara biodisel untuk memenuhi kebutuhan solar truk-truk pengangkut sawit di perkebunan.
Fortasbi dan koperasi-koperasi ini akan bekerjasama dengan produsen sabun besar mengajarkan para petani sawit. Ini pun untuk kebutuhan skala rumah tangga. “Kami belum mengarah pada minyak goreng karena prosesnya rumit dan berbiaya tinggi.”
*******