- Ekosistem pesisir menjadi salah satu ekosistem yang sangat penting saat ini. Perannya bisa mengalahkan ekosistem yang ada di wilayah darat, untuk menghadapi ganasnya perubahan iklim yang saat ini sedang berlangsung di seluruh dunia
- Dengan peran tersebut, perlindungan kawasan pesisir menjadi program yang penting untuk dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Khususnya, negara pulau dan kepulauan yang memiliki ekosistem pesisir
- Tugas untuk melakukan perlindungan tersebut termaktub dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai pemenuhan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) pada Konferensi Para Pihak (COP) ke-21 di Paris, Prancis pada 2015
- Untuk melaksanakan tugas perlindungan, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya melalui rehabilitasi dan restorasi ekosistem yang ada di pesisir. Utamanya, mangrove yang mendapatkan perhatian sangat besar dalam beberapa tahun ini
Pemerintah Indonesia tengah berupaya keras untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang targetnya semula ditetapkan sebesar 29 persen menjadi 31,89 persen tanpa syarat. Target tersebut menjadi bagian dari Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah ada sejak 2015.
Berdasarkan target NDC yang sudah ditingkatkan saat ini, pengurangan emisi GRK jika mendapatkan bantuan internasional diharapkan bisa mencapai 43,20 persen atau naik 2,2 persen dari target semula sebesar 41 persen.
Kedua enhanced NDC tersebut saat ini sudah diserahkan kepada Sekretariat Kerangka Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCC). NDC sendiri menjadi bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) sebagai hasil dari Konferensi Para Pihak (COP) ke-21 yang berlangsung di Paris, pada akhir 2015.
Tegasnya, NDC merupakan hasil komitmen bersama dari negara pihak dan kemudian menjadi dokumen yang di dalamnya memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara. Dokumen tersebut kemudian dikomunikasikan kepada dunia melalui UNFCC.
Sebagai bagian pihak yang terlibat dalam NDC, Indonesia berusaha melaksanakan strategi rendah karbon dan berketahanan iklim. Upaya tersebut dilakukan tidak hanya di wilayah darat, namun juga wilayah laut yang memiliki potensi besar untuk menyerap karbon dioksida (CO2).
Merujuk pada dokumen NDC, upaya yang bisa dilakukan oleh setiap negara pihak pada wilayah laut, adalah dengan melaksanakan perlindungan kawasan pesisir. Upaya tersebut kini dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sudah menegaskan bahwa pihaknya ingin berkontribusi langsung untuk mencapai target NDC sebagai upaya untuk menahan laju perubahan iklim secara global akibat emisi GRK.
“Kita menyiapkan program ekonomi biru untuk kontribusi itu,” ucap dia belum lama ini saat berada di Sharm el-Sheikh, Mesir untuk mengikuti rangkaian kegiatan COP27.
baca : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia
Di mata dia, apa yang sedang terjadi saat ini menjadi gambaran bahwa dunia membutuhkan penanganan lebih dari serius. Perubahan iklim sudah menjadi bencana dunia yang harus ditangani secara bersama dengan komitmen yang kuat.
Tanpa ragu, dia menyebut kalau perubahan iklim yang sedang berlangsung sekarang di seluruh dunia, sudah memengaruhi semua negara. Selain itu, juga mengganggu ekonomi nasional, merugikan masyarakat, dan diyakini akan semakin parah di masa mendatang.
Adapun, program ekonomi yang disebut Sakti Wahyu Trenggono, adalah meliputi perluasan kawasan konservasi laut sebagai ekosistem karbon biru, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budi daya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan.
“Serta penataan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menghindari kerusakan akibat tingginya aktivitas ekonomi,” tambah dia.
Karbon Biru
Upaya nyata yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia melalui program ekonomi biru, di antaranya adalah perlindungan ekosistem karbon biru (EKB) di kawasan konservasi tertutup, pembatasan armada perikanan, aktivitas budi daya perikanan rendah emisi, dan perlindungan terhadap laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Dia optimis, implementasi program ekonomi biru mampu menahan laju perubahan iklim, melalui hadirnya ekosistem kelautan dan perikanan yang sehat dan berkelanjutan. Semua itu merupakan kontribusi konkret dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
Komitmen untuk berkontribusi pada target NDC juga ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat berada di Bali untuk mengikuti rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Negara Kelompok 20 (KTT G20).
Menurut dia, saat ini menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagai bagian dari upaya untuk mengejar target NDC. Dia yakin, semakin tingginya kesadaran publik dunia dan nasional terhadap EKB, akan menjadi solusi untuk mengatasi perubahan iklim, serta meningkatkan ekosistem laut dan keanekaragaman hayati laut dalam konservasi laut.
Dia menyebut, Indonesia sudah siap untuk mengembangkan EKB melalui investasi komprehensif dalam konservasi ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayati. Semua itu akan melibatkan kemitraan yang efektif dari semua pemangku kepentingan dan mekanisme keuangan campuran (blended financing).
“Dalam mengelola hutan (EKB), itu ada kaitan erat dengan mata pencaharian kita, ketahanan pangan, lingkungan yang berkelanjutan, dan perubahan iklim,” terang dia.
baca juga : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional
Saat berada di Bali, Luhut juga sudah menyatakan dalam forum resmi KTT G20 bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih awal dari itu. Komitmen tersebut sejalan dengan target NDC Indonesia yang ingin mencapai rendah emisi dan tahan terhadap iklim.
Di sisi lain, dia mengatakan ada tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional. Di antaranya, karena ada dampak lingkungan dan sosial, polusi, degradasi dan deforestasi hutan, dan ketimpangan pendapatan.
Jika tidak ada aksi yang penuh komitmen, dia meyakini Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Hal itu, karena Indonesia juga menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan dataran rendah dan pulau-pulau kecil yang luas.
“Indonesia sedang berjuang dengan perubahan iklim, yang berdampak parah pada lingkungan fisik, ekosistem, dan masyarakat manusia,” tambah dia.
Di samping itu, Indonesia juga masih berjuang dengan masalah ketimpangan dalam ekonomi yang memicu naiknya ketimpangan pendapatan (indeks Gini) sejak 2000. Indeks Gini yang semula 28,5 pada 2000, naik dengan sangat cepat menjadi 38,1 pada 2022.
“Indonesia perlu melakukan transformasi ekonomi dengan mempromosikan pembangunan berkelanjutan,” sambung dia.
Pentingnya ekosistem pesisir menjadi bagian dari EKB, juga ditegaskan Pemerintah melalui perlindungan ekosistem mangrove di seluruh provinsi. Mangrove juga menjadi penegas kepada dunia internasional bahwa Indonesia berkomitmen untuk bergerak mengatasi perubahan iklim.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan bahwa mangrove yang ada di Indonesia menjadi pusat keanekaragaman hayati tertinggi dibandingkan dengan kawasan mangrove lain yang ada di negara dunia lainnya.
“Tercatat ada 92 spesies hutan mangrove alami yang dimiliki Indonesia,” papar dia.
Selain tertinggi dari jumlah spesies dan keanekaragaman hayati, mangrove juga menjadi sangat istimewa untuk melawan perubahan iklim, karena kemampuan daya serapnya terhadap karbon yang sangat tinggi.
Dia menyebut kalau hutan mangrove di Indonesia memiliki kemampuan untuk menyerap 3,1 miliar ton karbon atau setara dengan produksi emisi gas yang berasal dari kendaraan sebanyak 2,5 miliar dalam setahun.
“Angka yang sangat besar dan berarti bagi perubahan iklim,” tutur dia.
perlu dibaca : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik per Desember 2021, Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3,63 juta ha atau mewakili 20,37 persen luasan hutan bakau dunia. Untuk menjaga mangrove tetap bagus, Indonesia berkomitmen lebih jauh untuk menghasilkan bibit siap tanam yang berkualitas.
Upaya tersebut diwujudkan dengan membangun pusat persemaian mangrove yang bertujuan untuk menghasilkan ratusan juta bibit berkualitas yang siap untuk ditanamkan di lahan kritis untuk mengembalikan fungsi lahannya.
Dalam upaya memulihkan lahan kritis, Pemerintah sudah merehabilitasi tiga juta lahan kritis pada rentang waktu 2010-2019. Selain itu, Indonesia juga berupaya merehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu ha hingga 2024.
“Kita juga berhasil mengembangkan ekosistem mobil listrik dan membangun pembangkit tenaga surya terbesar di Indonesia,” ujar dia.
Selain kemampuan istimewa yang mampu menyerap karbon, mangrove juga memiliki kemampuan istimewa lain untuk memproteksi wilayah daratan dari erosi, menjadi habitat yang nyaman untuk biota laut, dan mencegah abrasi laut.
Selain Indonesia yang memiliki kawasan hutan mangrove terluas di dunia, ada juga Brasil yang memiliki hutan mangrove seluas 1,3 juta ha, Nigeria dengan luasan mencapai 1,1 juta ha, Australia dengan luasan mencapai 0,97 juta ha, dan Bangladesh dengan luasan 0,2 juta ha.
Berdasarkan data BPS per Desember 2021, dari 3,63 juta ha luasan mangrove di Indonesia, Papua menjadi pulau dengan ekosistem mangrove terluas mencapai 1,63 juta ha, disusul Sumatera 892,835 ha, dan Kalimantan 630.913 ha. Adapun Bali menjadi pulau dengan ekosistem mangrove terkecil yakni seluas 1.894 ha.
baca juga : Awal Pendanaan Biru Semakin Dekat
Pengelolaan
Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto beberapa waktu lalu mengatakan, potensi EKB dari ekosistem mangrove memang harus bisa dikelola dengan baik oleh Indonesia. Namun, harus ada standar pedoman dalam pengelolaan EKB.
Pedoman diperlukan, karena penerapan strategi nasional dan pengelolaan potensi besar EKB harus memerlukan koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan lain. Selain itu, perlu juga disusun dokumen kebijakan yang bisa menjadi landasan hukum untuk pengelolaan karbon biru di Indonesia.
Menurut dia, walau potensi EKB di Indonesia masih sangat besar, namun ada potensi pelepasan karbon ke perairan laut, disebabkan oleh perusakan ekosistem pesisir. Rincinya, ada potensi pelepasan CO2 setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis.
Apabila EKB dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi GRK sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.
Diketahui, selain menjadi negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia yang mencapai 293 ribu ha. Kedua ekosistem tersebut menghadirkan potensi karbon biru yang sangat besar.
Baik mangrove atau padang lamun yang ada di Indonesia disebut Bappenas sebagai ekosistem pesisir yang bisa menyimpan karbon alami (carbon sink) besar dalam waktu yang sangat lama dengan jumlah sedikitnya mencapai 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global.
Dengan potensi sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik yang ada di Indonesia ataupun secara global.
baca : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Tentang EKB, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menilai bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar pada carbon credit, khususnya pada area pesisir.
Dia memaparkan, Indonesia tak hanya memiliki mangrove, namun juga masih ada rumput laut, lahan gambut, dan hutan hujan tropis. Sementara, mangrove yang menjadi bagian dar EKB saat ini terus diperbarui peta sebarannya secara berkala.
Sesuai peta mangrove nasional, ada identifikasi lahan eksisting dan habitat potensial untuk pengembangan mangrove. Data tersebut kemudian masuk dalam rencana aksi untuk rehabilitasi dan restorasi mangrove.
Semua rencana dan program kerja telah diatur sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam suatu regulasi dan praktiknya dilaksanakan bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
“Kami memiliki program besar untuk rehabilitasi mangrove. Kami rencanakan seluas 600 ribu hektare area mangrove akan direhabilitasi sampai dengan tahun 2024, termasuk di dalamnya rehabilitasi dan restorasi pada ekosistem blue carbon,” terangnya.
Agar pengelolaan dan pengembangan mangrove terus berjalan lebih baik, Nani Hendiarti mengatakan kalau Pemerintah Indonesia juga melakukan manajemen pengelolaan mangrove yang berkelanjutan dan dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Mangrove Nasional.
Sementara, untuk melaksanakan pembiayaan, Indonesia melakukannya melalui pendekatan pentahelix. Dengan demikian, dukungan pembiayaan dapat dilakukan dari berbagai sumber, mulai dari pemerintahan, investasi, kerja sama bilateral, lembaga pendanaan internasional, serta program tanggung jawab sosial (CSR) dari sektor swasta.
Pentahelix adalah sebuah model inovatif yang menghubungkan akademisi, praktisi/bisnis, komunitas, Pemerintah dan media untuk menciptakan ekosistem yang bisa menjadi solusi untuk pengembangan kebutuhan yang sedang berkembang.
Pendekatan pentahelix, juga diakui Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi menjadi upaya penguatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan lebih cepat.
Cara tersebut melibatkan masyarakat dalam setiap strategi dan program yang fokus pada rehabilitasi dan pembibitan mangrove dengan luasan mencapai 600 ribu hektare. Mereka hadir untuk terlibat dalam banyak program dan kegiatan di sekitar ekosistem mangrove.
Sebut saja, program ekowisata dan produk turunan mangrove lain, proyek ekosistem karbon biru (EKB), pembangunan pusat mangrove, kemitraan antara Pemerintah dengan swasta, serta kerja sama internasional yang fokus pada kegiatan penelitian dan pengembangan.
“Strategi kerja sama dengan dukungan dana dari luar negeri menjadi salah satu faktor pendukung untuk percepatan rehabilitasi mangrove di Indonesia,” ungkap dia.