- Sekitar 35 persen wilayah daratan Sumatera Selatan [8,9 juta hektar] merupakan lahan basah. Ada ratusan jenis ikan air tawar hidup. Tapi, perubahan bentang alam membuat sebagian besar jenis ikan punah atau langka.
- Dibutuhkan museum ikan guna mendata dan menyelamatkan sejumlah jenis ikan air tawar di Sumatera Selatan.
- Ikan yang dikonsumsi selama belasan abad telah melahirkan sejumlah tradisi atau pengetahuan bagi masyarakat Sumatera Selatan. Mulai dari peralatan menangkap dan memasak ikan, keberagaman kuliner, hingga obat tradisional.
- Setidaknya 200-an jenis ikan air tawar yang dapat dijadikan subjek museum ikan.
Sekitar 35 persen dari 8,9 juta hektar wilayah daratan di Sumatera Selatan adalah dataran rendah atau lahan basah. Baik rawa gambut, sungai dan mangrove. Di lanskap lahan basah hidup ratusan jenis ikan air tawar. Selama belasan abad, beragam jenis ikan tersebut dijadikan pangan utama masyarakat. Namun perubahan lanskap lahan basah membuat sebagian besar jenis ikan air tawar punah atau langka. Apa upaya yang harus dilakukan?
“Selain menyelamatkan atau mempertahankan lahan basah yang tersisa, juga dibutuhkan pembuatan museum ikan,” kata Dr. Yenrizal, pakar komunikasi lingkungan FISIP, UIN Raden Fatah Palembang.
“Hadirnya museum ikan diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan, sehingga turut menggerakan masyarakat untuk terus menjaga atau melindungi lahan basah di Sumatera Selatan,” ujarnya, baru-baru ini.
Chandra Amprayadi, Kepala Museum Negeri Balaputra Dewa Palembang mengatakan, “Itu sebuah gagasan yang memang harus diwujudkan. Museum bukan hanya rumah bagi jejak budaya abiotik juga biotik,” katanya.
Dijelaskan Chandra, keberadaan ikan di Sumatera Selatan bukan sebatas sebagai komoditas pangan. Ratusan ikan tersebut juga melahirkan sejumlah tradisi. “Mulai dari puluhan jenis kuliner, obat-obatan, hingga teknologi yang terkait dalam penangkapan dan pengelolaan [masak] ikan,” katanya.
Tapi, mewujudkan sebuah museum tidak mudah. Membutuhkan banyak kajian, sumber daya manusia dan biaya.
“Untuk sementara mungkin dapat diwujudkan di Museum Balaputra Dewa ini. Kita akan memberikan satu galeri khusus untuk ikan,” katanya. Tapi butuh dukungan dari berbagai pihak. Seperti kajian, tenaga ahli, dan lainnya.
Baca: Pindang, Jejak Akulturasi Budaya Masyarakat Sumatera Selatan
Dari daun hingga keramik
Peralatan masak terkait ikan, jelas Chandra, sejalan dengan perkembangan peralatan memasak di Sumatera Selatan. Mulai dari daun, batu, logam, tanah liat [gerabah], keramik, rotan, bambu, hingga dari kayu.
Daun selain sebagai wadah masakan, juga sebagai media memasak. Misalnya ikan dibakar, direbus atau dipanggang; peralatan batu untuk menumbuk ikan; peralatan logam seperti kuningan dan besi untuk memasak atau menghaluskan ikan; tembikar untuk memanggang dan merebus; keramik untuk merebus; rotan untuk memanggang; bambu untuk memanggang, bakar dan menjemur; serta kayu atau lak untuk mengelola daging ikan.
“Semua peralatan masak itu memiliki bukti arkeologi. Di Museum Balaputra semuanya ada,” kata Chandra.
Generasi muda, kata Iqbal, dapat membaca sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan melalui keberagaman jenis ikan tersebut. “Saya percaya generasi muda saat ini minim pengetahuan akan beragam jenis ikan air tawar di Sumatera Selatan.”
Baca: Mencari Pahlawan Nasional Lingkungan Hidup
Puluhan kuliner
Yudhy Syarofie, pekerja budaya di Palembang, menjelaskan ikan air tawar telah melahirkan puluhan kuliner. Bahannya mulai dari ikan segar, ikan asap, ikan asin, hingga ikan difermentasi. Masaknya mulai direbus, dikukus, dibakar, dipanggang, hingga digoreng.
“Setiap komunitas di Sumatera Selatan memiliki masakan khas berbahan ikan. Bukan hanya pindang dan pepes, juga masakan ikan yang sudah difermentasi. Puluhan menu masakan berbahan ikan. Menu ini baik bersifat lokal maupun dipengaruhi dari tradisi kuliner luar, seperti dari China, India, Arab, atau Jawa,” jelasnya.
Selama ini, kata Yudhy, masyarakat dari luar Sumatera Selatan hanya mengenal pindang dan pempek. “Tapi sebenarnya banyak sekali. Jika kita masuk ke rumah makan khas Palembang, tersaji belasan menu berbahan ikan. Meja dipenuhi beragam masakan.”
Keberadaan museum ikan jelas akan memberikan dampak yang baik bagi ikan beserta tradisi yang dilahirkannya.
Baca juga: Belida Lopis, Ikan Asli Indonesia yang Dinyatakan Punah
Sekitar 200-an ikan air tawar
Dr. Muhammad Iqbal dari FMIPA Universitas Sriwijaya menuturkan, “Kita memang sangat membutuhkan museum ikan. Sebab, melalui museum itu kita bukan hanya menyelamatkan pengetahuan akan ikan, juga pengetahuan lain di Sumatera Selatan.”
“Ikan adalah salah satu akar kebudayaan bahari yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Selatan,” katanya.
Dijelaskan Iqbal, di Sumatera Selatan diperkirakan terdapat 600 jenis ikan air tawar. Tapi saat ini, sekitar 200-an jenis yang masih ditemukan di rawa dan sungai-sungai di Sumatera Selatan.
“Hampir semua jenis ikan air tawar itu dapat dikonsumsi. Semua jenis terhubung dengan manusia, sebab sudah memiliki nama lokal. Termasuk pula berbagai kisah mengenai keberadaan ikan-ikan tersebut,” jelasnya.
“Pada tahap awal, museum mungkin dapat menampilkan sekitar 200-an ikan air tawar. Ini pun sudah luar biasa. Sebab saat ini, berkejaran dengan kerusakan bentang alam yang terus berlangsung,” kata Iqbal.
Perubahan lahan basah
Dari 3 juta hektar [35 persen] lahan basah di Sumatera Selatan, sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan skala besar, infrastruktur, dan permukiman.
Perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit nyaris menggunakan sekitar 2 juta hektar lahan basah. Ratusan ribu hektar dijadikan permukiman, khususnya transmigran. Begitu pula pertambakan udang dan ikan yang melahap seratusan ribu hektar mangrove di pesisir timur Sumatera Selatan.
Sementara di Palembang terus berlangsung penimbunan rawa dan sungai untuk dijadikan lokasi perumahan, perkantoran, dan lainnya. Bila sebelumnya dilakukan pemerintah dengan proyek reklamasi, saat ini dilakukan masyarakat dan pelaku usaha. Larangan dari pemerintah tidak mampu mencegahnya.
“Kita menuju kehilangan akar budaya bahari sebab alamnya terus berubah,” kata Yenrizal, “Apa pun upaya pelestarian harus kita lakukan, termasuk membuat museum ikan tersebut,” paparnya.