- Pemerintah tengah Menyusun Rancangan Peraturan Presiden soal Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Berbagai kalangan mengingatkan, agar reforma agraria sejati bisa terlaksana. Percepatan reforma agrarian dan penyelesaian konflik tak bisa ditangani oleh kementerian maupun kementerian coordinator, tetapi mesti Lembaga khusus langsung di bawah presiden.
- Abetnego Tarigan, Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden mengatakan, ada tiga aspek kebaruan dalam rancangan perpres ini. Yakni, bagaimana menyelesaikan konflik, percepatan redistribusi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
- Eva Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, percepatan penyelesaian konflik agraria tak akan terjadi kalau ditangani dalam lintas kementerian. Banyak konflik itu tumpang tindih di lintas kementerian.
- Sudaryanto, Direktur Landreform Kementerian ATR/BPN berharap, dengan ada kebijakan ini penyelesaian konflik agraria bisa selesai dan tak berlarut-larut. Dia pun ingin pemerintah daerah sudah bisa menganggarkan APBD untuk mendorong penyelesaian konflik dalam gugus tugas reforma agraria dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Presiden soal Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Berbagai kalangan mengingatkan, agar reforma agraria sejati bisa terlaksana. Percepatan reforma agrarian dan penyelesaian konflik tak bisa ditangani oleh kementerian maupun kementerian coordinator, tetapi mesti Lembaga khusus langsung di bawah presiden.
Awal November lalu, Kementerian Bidang Perekonomian memimpin konsultasi publik secara hybrid soal rancangan terbaru menggantikan dua peraturan presiden sebelumnya terkait reforma agrarian dan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University, mengatakan, rancangan peraturan presiden ini akan sulit menyelesaikan persoalan kalau peraturan itu sulit terimplementasi.
“Reforma agraria sebelumnya ada Perpres 88/2017 namun tidak bisa membantu banyak juga, tergantung dari integritas sumber daya manusia di tingkat wilayah,” katanya diwawancara Mongabay.
Berkaca dengan peraturan soal moratorium izin sawit, kata Hariadi, turunan peraturan oleh provinsi dan kabupaten/kota yang benar-benar evaluasi dari hanya segelintir. Dengan begitu, ada kekhawatiran rancangan perpres bernasib sama.
Dia menyarankan, kebijakan reforma agraria ini berlandaskan pada urusan ketimpangan yang jadi indikator di daerah. “Bupati di suatu wilayah perlu diberi target dalam masa kepemimpinannya, perlu menyeimbangkan ketimpangan kepemilikan lahan.”
Baca juga: Berawal Konflik Lahan, Berujung Jerat Hukum Orang Kinipan
Maria Sumardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan, pentingnya transparansi dalam upaya percepatan reforma agraria.
”Ada bagian berbagi survei bersama dengan teman-teman lembaga masyarakat. Ini patut didukung. Namun, hingga kini pelepasan kebun dari kawasan hutan hutan dan HGU (hak guna usaha) itu tidak bisa diakses publik,” katanya dalam konsultasi publik Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, awal November lalu.
Dia sebutkan, pada Pasal 69, ada memuat keterlibatan publik dalam pelaksanaan perpres. “Itu partisipasi publik, jadi perlu dibuka (informasi izin) dalam percepatan reformas agraria). Harusnya dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan bisa diakses publik.”
Maria pun mengatakan, perlu ada redefinisi pengertian kawasan hutan negara. Dalam perpres ini, definisi hanya wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap yang berada pada tanah yang tidak terbebani hak atas tanah.
“Kita perlu mempertimbangkan definisi kawasan hutan MK 35/2012 (yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara). Saya usul definisi kawasan hutan ditambah dan atau garing hutan adat. Karena definisi di rancangan kontradiksi, ikuti putusan MK 35,” katanya.
Abetnego Tarigan, Deputi II Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden mengatakan, ada tiga aspek kebaruan dalam rancangan perpres ini. Yakni, bagaimana menyelesaikan konflik, percepatan redistribusi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Dia bilang, tantangan dan permasalahan dalam reforma agraria bermacam-macam. “Ada indikasi jual beli tanah pasca penyerahan sertifikat, sampai kendala penghapusbukuan obyek dan nominasi subyek.”
Selain itu, ada proses penyelesaian konflik agraria melalui pengadilan yang dinilai tak efisien karena posisi hukum masyarakat dalam pembuktian kepemilikan lahan lemah. Juga perlu waktu lama dan sulit eksekusi putusan pengadilan.
Adapun penguatan fokus dalam rancangan ini, katanya, terkait memperjelas tahapan identifikasi subyek dan obyek, sinkronisasi kebutuhan pendanaan dengan target penyelesaian per tahun. Juga, penyusunan subyek prioritas reforma agraria dan masuknya masyarakat hukum adat sebagai subyek dan intergrasi mekanisme penyelesaian konflik dalam proses bisnis redistribusi.
Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan
Masih rendah
Dalam pembukaan pidato konsultasi publik, Wahyu Utomo, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Bidang Perekonomian mengatakan, perintah Presiden Joko Widodo bahwa reforma agraria, perhutanan sosial dan sertifikasi tanah perlu lanjut.
“Mengantisipasi dan mencegah konflik dengan menyediakan tanah sebagai faktor produksi yang vital dalam sektor pembangunan,” katanya.
Pemerintah pun memiliki ambisi dalam program ini melalui legalisasi aset seluas 4,14 juta hektar dan redistribusi tanah 4,5 juta hektar. “Untuk pelepasan kawasan hutan (dari redistribusi tanah) dari target 4,1 juta hektar baru 8,04%.”
Angka sebesar 329.436,92 hektar ini masih di bawah target hingga perlu mendorong legalisasi dan redistribusi tanah dari kawasan hutan.
Target penyelesaian pengusaan tanah dalam kawasan hutan (PPTPKH) berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 5.564 tentang Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Penataan Kawasan Hutan mencapai 5.039.630 hektar. Capaian PPTPKH per Juni seluas 1.366.600 hektar.
Rincian per September 2022, untuk alokasi tanah obyek reforma agraria (Tora) dari 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan 0% dari target 480.209 hektar. Lalu, hutan produksi dapat dikonversi 6.687 hektar dari target 1.128.266 hektar.
Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah masih 0% dari target 60.506 hektar, pemukiman transimgrasi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang sudah memperoleh persetujuan prinsip mencapai 267.351 dari 490.659 hektar. Lalu, lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat maupun pertanian lahan kering baru 1.002.562 hektar dari 2.836.907 hektar.
Eva Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah, mengatakan, persoalan pelaksanaan reforma agraria seringkali terhambat perihal teknis. Dia contohkan, dalam verifikasi lapangan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan secara sampel.
“Padahal, beberapa orang yang tinggal dengan topografi lereng tempat pemukiman, kebun masyarakat itu tidak dilakukan. Asal usul masyarakat sudah tinggal lama.”
Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai
Penyelesaian konflik
Tujuan lain dari penyusunan aturan ini adalah mempercepat penyelesaian konflik agraria. Abetnego mengatakan, terobosan dalam kebijakan ini adalah mekanisme penyelesaian konflik. Salah satunya, dengan membentuk sisi kelembagaan ad-hoc yang bersifat profesional dalam mengawal agenda reforma agraria.
Nantinya, lembaga ad-hoc yang dibentuk akan bertugas, memiliki kapasitas dan kemampuan untuk membantu mempercepat tim pelaksanaan konflik.
KSP mencatat, ada 1.504 aduan kasus sampai Oktober 2022, rinciannya, 500 kasus kehutanan, 426 perkebunan swasta, 271 PTPN, 185 kasus lain terkait privat dan tambang, 62 infrastruktur, 36 aset TNI/POLRI dan 24 kasus transmigrasi.
“Alur penanganan konflik mulai dari inventarisasi berdasarkan database reforma agraria dan permohonan masyarakat. Akan ada strategic filtering berdasarkan tipologi, kriteria, penyusunan dan pemberian rekomendari dari awal kepada kementerian dan lembaga dan penanganan konflik,” katanya.
Sudaryanto, Direktur Landreform Kementerian ATR/BPN berharap, dengan ada kebijakan ini penyelesaian konflik agraria bisa selesai dan tak berlarut-larut. Dia pun ingin pemerintah daerah sudah bisa menganggarkan APBD untuk mendorong penyelesaian konflik dalam gugus tugas reforma agraria dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan data KATR/BPN yang masuk dari Konsorsium Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia dan Gema Perhutanan Sosial ada 72 lokasi prioritas reforma agraria. Meski begitu, masih ada 35 kasus belum dapat ditindaklanjuti.
“Lebih dari 50% masih belum terselesaikan. Semoga dengan perpres bisa segera selesaikan konflik.”
Eva Bande mengingatkan, percepatan penyelesaian konflik agraria tak akan terjadi kalau ditangani dalam lintas kementerian.
“Perpres ini tidak menjadi solusi jika mekanisme masih sama saja dan berulang. Banyak konflik itu tumpang tindih dengan lintas kementerian.”
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan, masalah agraria kronis dan lintas sektor ini tidak bisa dijalankan pada level kementerian atau kementerian koordinator. “Yang terbukti gagal selama ini, harus dipimpin langsung presiden.”
Seharusnya, rancangan kebijakan ini bisa menghapus dualisme pertanahan antara ‘raja tanah’ di KATR/BPN’ dan ‘raja hutan’ di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kalau kebijakan reforma agraria ini gagal merancang terobosan hukum penyelesaian utuh dan seksama, kata Dewi, akan ada antrian ribuan kasus agraria dan desa yang mangkrak karena regulasi reforma agraria yang buruk.
Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]
********