- Perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling terus terjadi. Salah satu indikasi, masih banyak produk turunan berbahan trenggiling masih banyak dipasarkan online. Temuan ini terungkap dari riset yang dilakukan Global Initiative Againts Transnasional Organized Crime (GITOC).
- Riset GITOC juga mengungkap sebaran produk berbahan trenggiling makin meluas. Tak hanya meliputi Asia-Afrika yang selama ini dikenal sebagai lingkaran perdagangan ilegal trenggiling, juga Eropa dan Amerika.
- Puluhan situs menawarkan pengiriman luar negeri, 18 situs diketahui bermarkas di Tiongkok, termasuk Hong Kong. Sedangkan 12 situs dari Amerika Serikat. Sisanya, berasal dari Eropa, Rusia, Selandia Baru, Inggris, serta Asia Tenggara.
- Praktik yang diterapkan Pemerintah Uganda, bisa menjadi salah satu contoh keseriusan memerangi perdagangan satwa liar, termasuk trenggiling. Melalui Undang-undang Margasatwa 2019, Pemerintah Uganda memberikan ancaman hukuman seumur hidup atau denda US$5,5 juta. Atau keduanya.
Kesepakatan dunia internasional memberi proteksi penuh terhadap trenggiling tak lantas membuat perburuan maupun perdagangan ilegal satwa ini meredup. Faktanya, berbagai produk turunan berbahan trenggiling masih banyak dipasarkan online.
Temuan ini terungkap dari riset yang dilakukan Global Initiative Againts Transnasional Organized Crime (GITOC). Organisasi non profit yang fokus pada isu kejahatan terorganisir ini banyak menemukan produk turunan trenggiling yang dipasarkan melalui platform digital.
GITOC menyebut, ada produk berbahan trenggiling beredar di pasaran membuktikan rantai pasok satwa ini belum berhenti. Karena itu, perlu ada upaya lebih efektif mencegah kepunahan spesies ini.
“Ini menjadi persoalan serius karena tidak hanya mengancam kepunahan spesies dimaksud. Tetapi, juga meningkatkan risiko wabah penyakit (zoonosis). Bahkan juga menjadi ladang korupsi yang terorganisir,” tulis Theo Clement, Senior Analyst GITOC, yang memimpin riset bersama dua rekannya, Simone Haysom dan Jack Pay.
Hasil riset yang dipublikasikan GITOC Juli 2022 itu mengungkap sejumlah temuan menarik. Selain produk turunan berbahan trenggiling masih banyak dijumpai, tingkat sebaran juga makin meluas. Tak hanya meliputi Asia-Afrika yang selama ini dikenal sebagai lingkaran perdagangan ilegal trenggiling, juga Eropa dan Amerika.
Menurut GITOC, kemajuan teknologi, terutama internet memberi ruang besar bagi semua orang untuk menjalankan bisnis. Termasuk pelaku kejahatan yang menjadikan internet sebagai rumah bagi mereka untuk memperdagangkan satwa secara ilegal. Berbagai bukti yang mendukung praktik kejahatan itu pun banyak tersebar di internet.
Sayangnya, aparat penegak hukum dia nilai tidak cukup serius menindaklanjuti temuan itu. Aparat, katanya, seolah tak mampu mengimbangi pergerakan para pelaku kriminal yang kini banyak bertebaran di dunia maya. Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi negara berkembang dengan sumberdaya yang terbatas.
Ratusan jenis obat
Riset GITOC selama enam bulan, antara April hingga Oktober 2021. Dalam kurun satu semester itu, organisasi nirlaba ini berhasil mengumpulkan 924 iklan terkait perdagangan trenggiling.
“Sebagian besar iklan dipasang di situs berbahasa Mandarin, sebanyak 873 iklan juga melayani pengiriman ke berbagai negara. Sedangkan 51 temuan bahasa Inggris dengan target konsumen luar negeri,” tulis Theo dalam laporannya.
Secara lebih spesifik, dari ratusan iklan itu, mayoritas produk obat-obatan, mencapai 870 item. Berupa pil kapsul dan tablet (419 item), krim dan salep (287), cairan (107), serbuk (37), dan plester (7).
Selain itu, beberapa produk lain seperti anggur trenggiling juga ditemukan 25 item, bahan mentah (9) dan dupa (4). Bahkan, sebuah portal menawarkan trenggiling dalam bentuk utuh juga ada.
GITOC juga menelusuri lokasi ratusan produsen obat-obatan itu. Hasilnya, 881 perusahaan menampilkan iklan berbasis di daratan Tiongkok, Hong Kong (8), Amerika Serikat (16), dan 19 tersebar di enam negara lain di dunia.
GITOC menduga, sasaran utama iklan ini adalah warga negara Tiongkok. Karena itu, sebagian besar iklan dikemas dalam bahasa Mandarin. Namun, katanya, ada juga yang menggunakan bahasa Inggris menyasar pasar mancanegera. Bahkan, dari puluhan situs yang diperiksa, 7% menyediakan pengiriman luar negeri.
Temuan lain, dari puluhan situs yang menawarkan pengiriman luar negeri, 18 situs diketahui bermarkas di Tiongkok, termasuk Hong Kong. Sedangkan 12 situs dari Amerika Serikat. Sisanya, berasal dari Eropa, Rusia, Selandia Baru, Inggris, serta Asia Tenggara.
GITOC menggarisbawahi, riset ini hanya pada klaim pemasang iklan bahwa produk yang mereka tawarkan mengandung bahan trenggiling. Dengan kata lain, apakah produk itu benar-benar mengandung trenggiling atau tidak, GITOC tidak bisa melakukan verifikasi karena keterbatasan metodologi.
Terlepas dari persoalan ini, iklan produk obat-obatan berbahan trenggiling tentu menjadi tantangan besar dalam menekan perdagangan gelap satwa ini. Terutama, bagi negara berkembang dengan keterbatasan sumber daya. “Karena negara kaya memiliki sumber daya paling banyak untuk memerangi bahaya online,” catat GITOC.
Melalui laporan ini, GITOC berharap ada intervensi lebih efektif untuk mengendalikan pasar satwa liar ilegal. Termasuk bagi otoritas Tiongkok yang sejak 2020 menyatakan memberikan perlindungan penuh dengan mencabut trenggiling sebagai bahan baku obat tradisional.
Fiona Mcleod, Direktur Oxpeckers, menyebut, banyaknya temuan obat-obatan dan produk turunan lain berbahan trenggiling made in China itu sebuah ironi. Pasalnya, sebelumnya, Pemerintah China sepakat mencabut trenggiling dari daftar bahan baku pembuatan obat.
“Tentu, ini membuktikan rantai pasok trenggiling ke China masih terus jalan meski pemerintah setempat telah menyatakan mencabut spesies ini dari daftar pembuatan obat-obatan,” kata Mcleod kepada Mongabay.
Sebelumnya, 6 Juni 2020, Pemerintah Tiongkok mengumumkan memberikan perlindungan penuh pada trenggiling, sebagaimana dikutip dari Oxpeckers Investigative Environmental Journalism. Tak berselang lama, otoritas setempat juga menyatakan mencabut trenggiling dari daftar bahan baku obat-obatan.
Beijing juga mengancam memberikan hukuman selama 10 tahun bagi siapa saja yang kedapatan berburu, membunuh, menyelundupkan atau memperdagangkan trenggiling. Namun, produk obat-obatan yang diduga kuat berbahan trenggiling memunculkan keraguan implementasi komitmen ini.
Bagaimana di Indonesia?
Sementara di Indonesia, sebagai negara yang menjadi tempat perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling. Perdagangan ilegal trenggiling terjadi baik secara langsung maupun melalui platform digital seperti Facebook.
Penelusuran sekilas Mongabay mendapati sejumlah pemilik akun yang terang-terangan memper-jual-belikan satwa ini. Mayoritas akun berasal dari Jawa, Sumetera dan Kalimantan.
Dwi Nugroho Adhiasto, Technical Advisor Yayasan SCENTS (Science for Endangered and Trafficked Species), mengamini itu. Dia meyakini, sampai saat ini Tiongkok masih jadi muara perdagangan gelap trenggiling di dunia. Di Indonesia, misal, para pelaku yang tertangkap, hampir semua memasok ke sana.
Namun, katanya, tak menampik bila kebijakan pengetatan Tiongkok jadikan modus operandi para pelaku berubah. Bila sebelumnya menggunakan kontainer dan pelabuhan utama, kini melibatkan kapal nelayan dan melalui pelabuhan bayangan. “Dari sisi volume juga tidak banyak. Kecil-kecil, tetapi sering.”
Indonesia, kata Adhi, dikenal sebagai pemasok trenggiling ke Tiongkok bersama Afrika. Beberapa wilayah di Indonesia yang menjadi sentra perdagangan ilegal trenggiling antara lain, Jawa dan Sumatera. Indonesia banyak memiliki pelabuhan kecil di sepanjang wilayah pantai hingga menyulitkan pengawasan.
Indonesia, katanya, merupakan rumah bagi satu dari delapan spesies trenggiling di dunia, Manis javanica. Sayangnya, spesies dengan wilayah peredaran banyak di Jawa, Sumatera dan Kalimantan ini menghadapi ancaman kepunahan akibat perburuan dan perdagangan ilegal.
Laporan Pemetaan Penyitaan Trenggiling di Indonesia (2010-2015) yang dibuat Lalita Gomez, dkk menyebutkan, praktik perdagangan trenggiling Indonesia sudah berlangsung lama. Mengutip Semiadi, dkk., (2009), tulis Lalita, Indonesia tercatat melakukan pengiriman dalam jumlah besar ke Tiongkok sejak 1925.
Pada 1931, Pemerintah Belanda, memasukkan trenggiling sebagai satwa lindung di bawah Peraturan Perlindungan Tumbuhan dan Satwa Liar (Wildlife Protection Ordinance) No. 266 terdahulu. Pun demikian, itu tidak serta merta membuat praktik perdagangan trenggiling tiarap. Sebaliknya, beberapa laporan mencatat dalam kurun 1958 dan 1964, Indonesia melakukan pengiriman 25.000 trenggiling per tahun ke Hong Kong.
Rekomendasi
Melalui KLHK, Pemerintah Indonesia mengakui pentingnya penegakan hukum untuk penyelamatan trenggiling ini. Penegakan hukum juga jadi bagian dari resolusi darurat penyelamatan trenggiling Indonesia, sebagaimana dokumen rencana aksi darurat penyelamatan trenggiling (2020-2022).
Sembilan resolusi lain meliputi pertama, mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan nasional yang komprehensif, kedua, memperkuat kerjasama antar lembaga di tingkat nasional dan kerjasama internasional. Ketiga, peningkatan kapasitas berfokus pada metode dan teknik untuk mendeteksi dan mengidentifikasi trenggiling.
Keempat, mempromosikan pengembangan teknik, termasuk ilmu forensic, kelima, memastikan pengelolaan efektif dan kontrol penangkaran trenggiling, apabila terdapat penangkaran. Keenam, kontrol terhadap setok produk atau bagian tubuh trenggiling, ketujuh, peningkatan kesadaran masyarakat. Kedelapan, pengembangan program mata pencaharian non-konsumtif bagi masyarakat, dan kesembilan, pengembangan pengelolaan in-situ dan program konservasi trenggiling.
Adhi mengatakan, pemerintah perlu melakukan beberapa upaya menekan perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling antara lain, meningkatkan pengawasan perbatasan. Terutama, di lokasi yang ditengarai sebagai akses penyelundupan.
“Di hilir, pengawasan perbatasan, mungkin sudah banyak yang terlibat ya. Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bea Cukai, polisi, sampai TNI. Yang jadi masalah di hulu (site perburuan, kawasan hutan), karena tidak banyak instansi yang terlibat. Praktis hanya oleh KLHK,” katanya.
Upaya lain, dengan memperberat hukuman pelaku. Menurut Adhi, selama ini hukuman bagi para pelaku perdagangan satwa ilegal terlalu ringan. Dengan begitu, tidak cukup memberi efek jera bagi pelaku lain.
Praktik yang diterapkan Pemerintah Uganda, bisa menjadi salah satu contoh keseriusan memerangi perdagangan satwa liar, termasuk trenggiling. Melalui Undang-undang Margasatwa 2019, Pemerintah Uganda memberikan ancaman hukuman seumur hidup atau denda US$5,5 juta. Atau keduanya.
“Ini salah satu bentuk komitmen Pemerintah Uganda untuk memerangi perdagangan satwa liar,” kata Andiswa Matikinca, perwakilan Oxpeckers Investigative Environmental kala jadi pembicara pada salah satu sesi di African Investigative Journalist Confenrence, di Johannesburg, November lalu.
******