- Masyarakat terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa dan lintas organisasi mendatangani DPRD Halmahera Selatan, mempertanyakan kabar rencana relokasi Desa Kawasi setelah perusahaan tambang nikel, PT Harita Group beroperasi di Pulau Obi. Masyarakat Kawasi tak mendapatkan penjelasan atau alasan dari pemerintah mengapa harus relokasi desa mereka.
- Rencana relokasi tak transparan ini diikuti proses pembangunan rumah dan fasilitas umum di wilayah yang dinamakan Eco Village, berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Kawasi.
- Obet Siar, tokoh pemuda dari Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) daerah Pulau–Pulau Obi mengatakan, tanah yang didiami masyarakat Kawasi adalah peninggalan leluhur orang Kawasi. Tanah terukir identitas orang Kawasi. Karena itu jika masyarakat Kawasi direlokasi berarti secara tidak langsung dicabut dari akar budaya dan identitas sebagai orang Kawasi.
- Muhlis Djafaar, Ketua DPRD Halmahera Selatan meminta pemerintah daerah secara terbuka dan ril menyampaikan kepada masyarakat alasan mau memindahkan mereka dari kampung saat ini. Pemindahan desa juga harus mendudukkan secara sosiologis, antropologis maupun akademis.
Puluhan orang yang menamakan diri Solidaritas untuk Kawasi mendatangi Kantor DPRD Halmahera Selatan di Labuha Bacan, Maluku Utara, 29 November lalu. Kedatangan masyarakat terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa dan lintas organisasi itu mempertanyakan kabar relokasi desa mereka setelah perusahaan tambang nikel, PT Harita Group beroperasi di Pulau Obi. Masyarakat Kawasi tak mendapatkan penjelasan atau alasan dari pemerintah mengapa harus relokasi desa mereka.
Kawasi, merupakan satu desa di Kecamatan Obi, Halmahera Selatan berpenduduk 208 keluarga atau 971 jiwa dari etnis Galela-Tobelo, dua etnis besar di Malut. Cerita warga, Kawasi adalah kampung tertua di Pulau Obi dan merupakan penduduk pertama mendiami pulau ini.
Dari Kota Ternate, pusat aktivitas masyarakat Maluku Utara, mencapai desa ini perlu tiga kali berganti transportasi. Dari Ternate sampai Kawasi, perlu sehari- semalam dengan kapal laut tujuan Jikotamo. Di Jikotamo, penumpang turun, kemudian naik ojek menuju Laiwui ibu kota Kecamatan Obi.
Dari Laiwui sekitar sejam menempuh perjalanan laut dengan speedboat. Perjalanan dari Laiwui ke Kawasi, yang satu daratan pakai speedboat karena akses jalan ke Kawasi belum tembus. Sepanjang perjalanan akan melewati beberapa pulau kecil.
Desa ini terkepung tambang nikel sejak 2007. Desa dengan bagian atas perbukitan itu, kini gersang. Dari pemukiman warga berjarak sekitar 150 meter sudah berdiri pabrik pengolahan nikel.
Bukit yang sekarang gersang itu dulu penuh pepohonan. Di atas desa itu, kini berdiri beragam fasilitas produksi pengolahan nikel.
Desa ini kalau dari laut seperti terjepit bangunan pabrik yang berdiri megah. Bangunan itu adalah pabrik penunjang dua anak usaha Harita, PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Keduanya mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) di zaman Bupati Halmahera Selatan, Muhamad Kasuba dengan luas konsesi 5.524 hektar.
Ada tiga perusahaan lain terafiliasi dengan Harita dan operasi di atas izin usaha pertambangan TBP guna menunjang kelancaran pabrik smelter bijih nikel, yakni, PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).
Kedatangan warga ke kantor wakil rakyat di Jalan Kebun Karet Labuha itu, ingin menyampaikan aspirasi dan mempertanyakan kabar rencana perpindahan kampung di kawasan industri tambang itu.
Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]
Saat di Kantor DPRD, mereka diterima pimpinan DPRD bersama anggota dewan daerah pemilihan Pulau Obi, dan perwakilan manajemen PT Harita Group.
Kesempatan itu langsung digelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD, Pemerintah Halmahera Selatan, perwakilan PT Harita. Dalam rapat sekitar dua jam itu, warga menyampaikan pokok masalah di Kawasi dan menyikapi rencana relokasi desa ini.
Obet Siar, tokoh pemuda dari Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) daerah Pulau–Pulau Obi mengapresiasi pemerintah yang telah menempatkan investasi tambang masuk ke desa mereka. Satu sisi membuka lapangan kerja dan mendatangkan devisa negara. Sisi lain memunculkan dampak negatif luar biasa bagi masyarakat.
Mulai dari kerusakan lingkungan seperti ada pencemaran lingkungan hingga masalah sosial yang tidak bisa tertangani secara baik. Dampak negatif yang dialami masyarakat Kawasi saat ini, katanya, adalah banjir setiap waktu menggenangi rumah karena penggalian dan penebangan pohon di atas bukit Kawasi.
Saat ini, katanya, air sungai warga cokelat, penumpukan sampah di pemukiman masyarakat, debu mengancam kesehatan hingga masalah lingkungan lain.
Dampak sosial, katanya, muncul praktik prostitusi di kampung, perkelahian antar warga hingga perjudian marak.
Lebih miris lagi, dalam dua tahun terakhir ini warga cemas dengan ada rencana relokasi atau pemindahan Desa Kawasi.
Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi laut dan Nelayan Pulau Obi [1]
Rencana ini diikuti proses pembangunan rumah dan fasilitas umum di wilayah yang dinamakan Eco Village, berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Kawasi.
Dalam dua tahun ini, tokoh agama dan masyarakat di berbagai pertemuan resmi dengan pemerintah daerah, sudah menyampaikan agar ada sosialisasi dan pengaturan adil hingga tidak menimbulkan masalah baru di Kawasi.
Kenyataannya, suara para tokoh agama itu tidak dianggap. Akhirnya proses pembangunan di Eco Village itu terus berlangsung. Baik perumahan maupun pembangunan berbagai sarana ibadah seperti gereja dan mesjid.
“Rencana relokasi ini juga tidak pernah ada sosialisasi ke masyarakat. Ini membuat masyarakat bertanya-tanya karena memunculkan kontroversi pendapat di masyarakat,” katanya.
“Tanah yang didiami masyarakat Kawasi adalah tanah peninggalan leluhur orang Kawasi. Tanah itu telah ditempati sejak 1930. Bahkan tanah itu telah disertifikasi.”
“Tanah terukir identitas kami sebagai orang Kawasi. Karena itu jika masyarakat Kawasi direlokasi berarti secara tidak langsung kami dicabut dari akar budaya dan identitas sebagai orang Kawasi.”
Warga pun mendesak DPRD dan Pemerintah Halmahera Selatan segara dialog dan memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai alasan relokasi.
“Dalam pelaksanaan relokasi ini sebenarnya siapa yang berkepentingan? Apakah pemerintah daerah atau perusahaan?”
Selain itu, dalam relokasi itu siapakah yang diuntungkan apakah masyarakat, pemerintah atau perusahaan. “Hak apa saja yang diperoleh warga jika direlokasi ke daerah Eco Village.”
Masyarakat Kawasi, katanya, perlu keamanan dan kenyamanan termasuk dari masalah lingkungan. Karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus meninjau kembali dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan. Perlu juga, katanya, menangani dampak kerusakan lingkungan di Kawasi.
“Masyarakat saat ini butuh pembangunan infrastruktur jalan jembatan dan infrastruktur lain di Desa Kawasi. Penataan dan pengelolaan sampah serta menyediakan fasilitas kesehatan bagi warga, keamanan, sarana pendidikan, air bersih dan listrik bagi masyarakat.”
Aktivitas warga ke kebun, katanya, juga sulit karena akses jalan petani terhalang perusahaan. Warga pun mendesak pembukaan akses jalan masyarakat untuk beraktivitas di kebun. Tidak itu saja, perusahaan juga kerap menghalangi aktivitas masyarakat termasuk pulang–pergi siswa dan para guru SMP dan SMA di Kawasi.
“Khusus untuk kawasan Eco Village yang diduga sebagai daerah tempat pemindahan warga Kawasi menjadi kampung, kami ingin sampaikan bahwa itu dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan relokasi karena tidak pernah disepakati oleh warga.”
“Kami adalah masyarakat pesisir darat dan laut itu hidup kami. Jika merelokasi warga Kawasi jauh dari pantai berarti menjauhkan masyarakat Kawasi dari peradaban sebagai masyarakat pesisir,” katanya.
Mereka juga menyoal Eco Village itu tidak memiliki dokumen Amdal. Pembangunan juga tak punya izin mendirikan bangunan (IMB). “Kami ragukan lokasi itu nyaman bagi masyarakat. Hal ini karena di daerah itu juga telah terbit IUP. Lahan di sekitar Eko Village juga dikuasai perusahaan dan pihak pihak tertentu melalui proses jual beli lahan dengan masyarakat.”
Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [2]
Warga juga khawatir, bangunan dari limbah industri khawatir sewaktu- waktu mengancam penghuninya.
“Kami masyarakat Kawasi akan terus berjuang sampai kapan pun dengan menggandeng elemen lain untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Kawasi,” katanya menutup pembacaan sikap resmi mereka.
Surat itu ditandatangani tokoh agama, Anggota MPH Sinode GPM, Pdt. Y. Colling, STh, Ketua Klasis P.P. Obi Pdt.E Lakoruhut, Pimpinan Klasis P.P. Bacan Pdt. Albert Kofit, Ketua Ikatan Tobelo-Galela Pdt. Edy Karamaha, Tokoh Pemuda Obet Siar dan Pemerintah Desa Kawasi serta tokoh adat Kawasi.
Harji Talaga, perwakilan masyarakat juga menyampaikan industri tambang raksasa yang masuk saat ini, tidak berdampak baik terhadap kehidupan masyarakat Kawasi.
“Pelayanan terhadap masyarakat sangat minim. Saya contohkan untuk air bersih dalam empat tahun perusahaan beroperasi warga tak mendapatkan air melalui pipa yang disambungkan perusahaan ke kampung. Warga tetap memakai sumur. Begitu juga pelayanan kesehatan, pembangunan Polindes saja sampai saat ini belum selesai. Ini menunjukkan tanggung jawab perusahaan minim sekali,” katanya.
Dia juga cerita pernah jadi ketua pembangunan mesjid di Kawasi. Sejak 2020-2021, meminta bantuan kepada CSR perusahaan. Dari perusahaan nyatakan, pembangunan di desa itu sudah dibatasi karena fokus menyiapkan desa baru yang dikenal dengan Eco Village.
Padahal, katanya, masyarakat tak pernah bepikir untuk pindah. Warga malah bingung karena perusahaan maupun pemerintah daerah tidak terbuka. Masyarakat tidak mendapatkan penjelasan atau alasan pasti kenapa warga dan kampung ini harus pindah.
Sebelumnya melalui media ini, Abadan Nomor, Tokoh Masyarakat Kawasi menceritakan, sejak dulu hidup di Kawasan bisa memperoleh semua kebutuhan dengan mudah. Mau ambil kayu bakar tak jauh dari rumah. Begitu juga kebutuhan kayu untuk membangun rumah tak jauh dari pemukiman. Berbeda ketika tambang termasuk Kawasan industri nikel beroperasi. Kayu saja sulit mereka dapatkan dekat kampung.
Kondisi sulit terasa juga saat melaut. Sebelum ada perusahaan tambang, memancing ikan gampang. Sekarang, sebaliknya. “Dibandingkan dulu memancing satu jam dengan sekarang satu hari. Dulu, mengail satu jam hasil tidak hanya untuk makan tetapi bisa dibagi dengan tetangga dan keluarga. Sekarang, satu hari mengail di laut sekitar Kawasi ini sulit dapat tangkapan lebih,” ujar Abadan.
Dia juga cerita, dampak perubahan sosial budaya cukup terasa. Kampung ini mau dipindah karena berada di tengah-tengah industri nikel.
“Waktu itu kami diundang ikut silaturahmi ke perusahaan. Ada juga Wakil Bupati Halmahera Selatan—kala itu–, Iswan Hasyim– saat ini ini sudah menjadi salah satu pejabat di PT Harita. Tiba tiba di tengah acara itu mereka minta saya sebagai tokoh masyarakat menandatangani persetujuan rencana pemindahan Kampung Kawasi.”
“Saya lantas minta bicara lalu saya bilang, kami tidak perlu gambar-gambar rumah atau kampung. Yang jelas sampai kapan pun kami tak mau pindah. Kami menolak,” kata Abadan.
Muhlis Djafaar, Ketua DPRD Halmahera Selatan yang memimpin rapat menyampaikan pokok-pokok pikiran itu akan dibahas DPRD dalam masa sidang 2022 ini.
Dia berharap, DPRD Halsel dapat membentuk panitia khusus atau panitia kerja untuk menelusuri permasalahan di Kawasi. Meski belum dipastikan waktunya, dia berjanji segera menindaklanjuti aspirasi ini.
”Pokok-pokok pikiran ini secara kelembagaan akan ditindak-lanjuti dengan pembahasan di komisi atau lintas komisi, atau juga pembentukan pansus atau panja,” katanya seraya bilang, akan bahas khusus juga soal ini dengan Pemerintah Halsel.
Muhlis juga meminta pemerintah daerah secara terbuka dan ril menyampaikan kepada masyarakat alasan mau memindahkan mereka dari kampung saat ini.
Dia meminta, kalau mau memindahkan warga harus ada ada kejelasan prosedur. “Apakah dalam bentuk perda atau seperti apa? Apakah ada revisi terbatas perda tentang pembentukan desa di Halmahera Selatan atau gunakan peraturan kepala daerah? Jadi bisa dipertanggung jawabkan. Ini harusnya dicermati pemerintah daerah.”
Menurut dia, pemindahan desa juga harus mendudukkan secara sosiologis, antropologis maupun akademis.
Saiful Turuy, Sekretaris Daerah Halmahera Selatan, senada dengan pimpinan DPRD. Pemerintah daerah akan melakukan pembahasan lebih lanjut masalah ini.
Dia berdalih, pemerintah daerah tak mau mengorbankan masyarakat. Pemerintah daerah, katanya, tak berpihak kepada perusahaan, melainkan akan menjalankan fungsi kontrol terhadap aktivitas perusahaan.
Manajemen Harita Group juga menyampaikan apresiasi positif atas langkah yang diambil warga.
“Saya ini senang sekali dengan pokok-pokok pikiran yang telah disampaikan tadi. Kami dengar supaya kami bisa menangkap apa yang disampaikan. Harita Group sangat terbuka untuk komunikasi dan dialog” kata Latif, mewakili pimpinan Harita Group dari Jakarta.
**********