- Warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, mengajukan permohonan menjadi tergugat intervensi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) menggugat Presiden Joko Widodo dan 12 pihak lain.
- Warga merasa berkepentingan dalam perkara ini karena menyangkut ruang hidup orang Sangihe. Dari pengalaman kasus Teluk Buyat di Minahasa, pemerintah justru menangguhkan gugatan terhadap perusakan lingkungan dengan membuat perjanjian good will agreement.
- Gugatan perdata PT TMS kepada Presiden Joko Widodo, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Loaly, dan Komnas HAM. Lalu, Bupati Kepulauan Sangihe, Mardi Posumah, Grace Kapal, Sonny Posunglah, dan Andri Mailoor. Juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadaila, dan Ombudsman RI.
- Jonly Mamuka, warga Tahuna, Pulau Sangihe mengatakan, permohonan jadi tergugat intervensi, karena khawatir atas potensi kesepakatan gelap atau upaya negosiasi dalam sistem peradilan. Warga berkaca dengan kasus belakangan ini seperti dua hakim agung jadi tersangka penerima suap oleh KPK.
Warga Pulau Sangihe mengajukan permohonan jadi tergugat intervensi setelah perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TIM) menggugat Presiden Joko Widodo dan 12 pihak lain kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum lama ini.
Gugatan TMS ini imbas dari kontrak karya (KK) pertambangan yang tak dapat dilaksanakan karena proses hukum terkait perizinan perusahaan sedang berlangsung. Perkara TMS ini teregistrasi dengan nomor: 772/Pdt/G/2022/PN-Jkt.Sel, tertanggal 23 Agustus lalu.
Agustinus Mananohas, tetua warga Salurang, Pulau Sangihe, berpendapat, gugatan perusahaan tambang emas asal Kanada itu sangat menentukan nasib warga Sangihe sebagai yang bakal terdampak langsung dari aktivitas pertambangan.
“Warga Sangihe yang tergabung dalam Koalisi Save Sangihe Island mengajukan permohonan kepada Ketua PN Jaksel untuk jadi tergugat intervensi,” katanya, akhir November lalu.
Jull Takaliuang, inisiator Koalisi Save Sangihe Island (SSI), menambahkan, sebelumnya, warga Sangihe merasa banyak keanehan hukum terkait izin-izin pertambangan emas TMS.
Baca juga: Kala Warga Sangihe Tuntut Cabut Izin Tambang Emas dan Desak Bebaskan Robison
Dia menilai, perusahaan tambang emas ini sekadar menempatkan masyarakat Sangihe sebagai obyek eksploitasi. Masyarakat pun melawan lewat upaya hukum dengan menggugat izin operasi produksi TMS di PTUN Jakarta, dan izin lingkungan di PTUN Manado. PTUN Jakarta menangguhkan izin operasi produksi dan keok juga soal izin lingkungan di PTUN Manado.
“Namun merasa kontrak karya tidak dapat dilaksanakan karena ada penetapan PTUN Manado yang menangguhkan pelaksanaan izin lingkungan, dan penetapan PTTUN Jakarta yang menangguhkan izin operasi produksinya, TMS mengajukan gugatan ke presiden di PN Jaksel.”
Sisi lain, warga juga tengah membawa perkara izin lingkungan ke Mahkamah Agung bersamaan gugatan perusahaan terkait izin operasi produksi tambang emas TMS.
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
Jonly Mamuka, warga Tahuna, Pulau Sangihe, mengatakan, kendati menempuh perjalanan laut dan udara dari perbatasan negara dengan Philipina ke PN Jakarta Selatan, warga datang untuk ajukan jadi tergugat intervensi. Warga juga mempertanyakan perihal jawaban pengadilan bersama tim kuasa hukum Koalisi SSI.
Gugatan TMS, kata Jonly, pada dasarnya menyerang marwah pemerintah terkait keberpihakan antara investor dan rakyat. Karena itu, katanya, patut dipertanyakan sikap acuh tak acuh dari beberapa tergugat (instansi pemerintah) yang telah dipanggil selama tiga bulan namun tak kunjung hadir ke persidangan.
“Seolah-olah memberi kesan taringnya tumpul menghadapi TMS di meja hijau,” katanya.
Permohonan menjadi tergugat intervensi, katanya, karena khawatir potensi kesepakatan gelap atau upaya negosiasi dalam sistem peradilan yang disoroti publik belakangan ini. Dia contohkan, kasus dua hakim agung jadi tersangka penerima suap oleh KPK beberapa waktu lalu.
Dalam perkara perdata yang masuk di PN Jakarta Selatan, perusahaan emas ini menggugat negara dan beberapa pihak lain. Antara lain, Presiden, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Loaly, dan Komnas HAM. Lalu, Bupati Kepulauan Sangihe, Mardi Posumah, Grace Kapal, Sonny Posunglah, dan Andri Mailoor.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadaila, dan Ombudsman RI turut digugat TMS.
Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di Sangihe
Dalam keterangan itu, menyebut presiden dan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan TMS menderita kerugian fantastis secara materiil dan immaterial.
Kerugian materiil saja US$37 juta dan menuntut ganti rugi Rp31, 950 miliar. Atas kerugian immateriil, TMS meminta ganti rugi Rp1 triliun.
Muhammad Jamil, Pengurus Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menilai, gugatan TMS terhadap pengurus negara Rp1 triliun itu hitungan tidak masuk akal. Negara juga disebut rugi dari perkara ini, namun yang paling dirugikan adalah rakyat, karena dibayar dengan pajak dari rakyat.
“Itu juga mencoreng marwah pemerintah, ketidakberesan dalam administrasi perizinan berujung pada dirinya digugat sendiri. Itu masalahnya,” katanya.
Jamil bilang, apapun putusan dari gugatan TMS terhadap negara entah itu perusahaan kalah atau menang, yang menerima dampak adalah warga. Sebab, wilayah tambang ada di Sangihe, yang jadi ruang hidup warga.
Warga, katanya, punya kepentingan mengajukan diri sebagai pihak intervensi karena menyangkut ruang hidup dan masa depan anak cucu mereka di pulau itu.
Baca juga: Kala PTUN Putuskan Cabut Izin Lingkungan, Perusahaan Tetap Melaju, Warga Sangihe Terus Menolak
Warga belajar dari pengalaman kasus gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—kala itu masih Kementerian Lingkungan Hidup—terhadap PT Newmont Minahasa Raya terkait pencemaran yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian lingkungan hidup dan masyarakat di Teluk Buyat, Minahasa.
Kasus itu, sebut Jamil, diselesaikan dalam proses mediasi di pengadilan dan menyebut tak ada pencemaran dengan perjanjian good will agreement atau perjanjian itikad baik. “Yang ternyata menegasikan pencemaran dan terbukti warga jadi korban lagi. Kami menyebut itu good evil agreement atau ‘kesepakatan jahat yang terbaik.’
Warga Sangihe tak mau kasus serupa terulang. Dalam proses-proses mediasi, warga mau terlibat, jangan sampai mereka bikin mufakat jahat.
Jamil khawatir, karena dalam gugatan perdata harus melewati tahap mediasi. Ketika mediasi dan dipertemukan antara negara cs tergugat dan perusahaan tambang, kalau ada ‘mufakat jahat’, warga yang jadi korban.
Izin yang pemerintah berikan kepada perusahaan emas dengan saham 70% Sangihe Gold Corporation asal Kanada ini dengan konsesi seluas 42.000 hektar, atau setengah pulau. selama 33 tahun.
Ada beberapa hal yang Jamil sebut TMS tidak punya legitimasi untuk beroperasi di Sangihe sepertiperusahaan beroperasi di pulau kecil. Kemudian, pertambangan harus punya izin, sementara TMS entah menggunakan kontrak karya atau perizinan yang masih diuji di pengadilan walau sudah kalah beberapa kali.
“Tapi kita tunggulah putusan terakhir di Mahkamah Agung, karena mereka tidak terima kekalahan.”
Jull tegaskan, seluruh tergugat dari negara dan beberapa pihak lain agar hadir dalam persidangan di PN Jakarta Selatan. Koalisi SSI juga meminta majelis hakim mengabulkan permohonan warga jadi salah satu pihak yang berperkara dalam gugatan ini.
“Ini sangat penting karena daya rusak dan segala beban yang akan timbul kedepan akibat dari perkara gugatan ini akan ditanggung oleh rakyat Sangihe.”
*******