- Laut di Kepulauan Bangka Belitung luasnya sekitar 6,5 juta hektar, sementara daratannya hanya 1,6 juta hektar. Selama ratusan tahun, kekayaan laut tersebut menghidupi jutaan manusia.
- Setelah revolusi industri abad ke-18, berbagai bangsa di dunia melihat Kepulauan Bangka Belitung sebagai sumber mineral, yakni timah. Akibatnya, penambangan timah bersaing dengan perkebunan lada dan cengkih.
- Penambangan timah di laut ini bukan hal baru di Kepulauan Bangka Belitung. Di masa Hindia Belanda, kapal keruk pertama hadir di Sidjoek, Pulau Belitung pada 1920. Nama awalnya de Eersteling yang kemudian berganti menjadi Sementara di Pulau Bangka, kapal keruk pertama yakni Diniang, beroperasi pada 1927.
- Walhi Kepulauan Bangka Belitung memberikan dua pendekatan untuk menyelamatkan laut di Kepulauan Bangka Belitung. Pertama, dikembalikan dan dipulihkan laut yang selama ini dikelola masyarakat adat. Kedua, pemerintah [pusat dan daerah] melahirkan sejumlah kebijakan yang benar-benar melindungi laut, seperti moratorium izin, penegakan hukum lingkungan, dan pemulihan.
Laut di Kepulauan Bangka Belitung luasnya sekitar 6,5 juta hektar, sementara daratannya hanya 1,6 juta hektar. Selama ratusan tahun, kekayaan laut tersebut menghidupi jutaan manusia.
Setelah revolusi industri abad ke-18, berbagai bangsa di dunia melihat Kepulauan Bangka Belitung sebagai sumber mineral, yakni timah. Akibatnya, penambangan timah bersaing dengan perkebunan lada dan cengkih.
Pada akhirnya, hingga masa Pemerintahan Indonesia, sebagian besar daratan di Kepulauan Bangka Belitung tersentuh penambangan timah.
Setelah Reformasi 1998, penambangan timah kian masif. Pelakunya bukan hanya perusahaan negara, juga pelaku usaha dan masyarakat. Hampir 70 persen daratan di Kepulauan Bangka Belitung pernah atau masuk dalam IUP [Izin Usaha Pertambangan].
Perkebunan sawit skala besar juga turut menyempitkan lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, juga wilayah hutan [adat]. Kawasan kaki perbukitan yang dulunya merupakan kelekak [perkebunan campuran buah-buahan] turut terdesak.
“Sejak 20 tahun terakhir, kami tidak lagi berkebun. Tidak ada lagi lahan. Kami hanya mengandalkan pendapatan sebagai nelayan,” kata Cik Jali [54], tokoh masyarakat adat di Dusun Tanjung Berikat, Kabupaten Bangka Tengah, kepada Mongabay Indonesia, April 2022 lalu.
“Dulu, orang Mapur di sini, berkebun dan melaut [mencari ikan]. Tapi karena banyak lahan sudah jadi perkebunan sawit dan lokasi penambangan timah, sebagian besar warga di Tuing sekarang hanya melaut,” kata Sukardi, tokoh masyarakat Suku Mapur di Dusun Tuing, Kabupaten Bangka, Januari 2022 lalu.
Meskipun tidak ada lagi lahan pertanian dan kebun, “Tapi hidup kami tetap tenang dari melaut,” kata Sukardi.
“Ya, kami berkecukupan dari melaut,” jelas Cik Jali.
Baca: Mampukah Kawasan Konservasi Menjamin Kelestarian Laut Bangka Belitung?

Laut ditambang
Penambangan timah tidak hanya di darat, tapi meluas ke laut.
“Di mana lagi kami mencari makan? Daratan dihabisi, kini laut mau ditambang. Kami tidak mengerti semua ini,” ujar Sukardi.
Penambangan timah di laut ini bukan hal baru di Kepulauan Bangka Belitung. Di masa Hindia Belanda, kapal keruk pertama hadir di Sidjoek, Pulau Belitung pada 1920. Nama awalnya de Eersteling yang kemudian berganti menjadi Sidjoek. Sementara di Pulau Bangka, kapal keruk pertama yakni Diniang, beroperasi pada 1927.
Setelah Reformasi 1998, bukan lagi kapal keruk yang beroperasi, juga KIP [Kapal Isap Produksi] milik perusahaan swasta, serta penambangan liar yang menggunakan PIP [Ponton Isap Produksi ], rajuk, dan lainnya.
Adapun perairan tangkap yang terusik penambangan timah laut adalah Perairan Kundi, Perairan Tempilang dan Teluk Kelabat [Kabupaten Bangka Barat], Teluk Kelabat Dalam, Pesaren, Tuing dan Matras [Kabupaten Bangka], Perairan Semujur, Berikat, Beriga [Kabupaten Bangka Tengah], Tanjung Sangkar [Kabupaten Bangka Selatan], serta Manggar [Kabupaten Belitung Timur].
Baca: Pentingnya Melindungi Pulau-pulau Kecil di Kepulauan Bangka Belitung

Menurut Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, saat ini sulit menemukan kondisi terumbu karang yang tidak terkena dampak sedimen limbah tambang timah.
“Dimana ada tambang, pasti terumbu karang sekitarnya akan terkena dampak. Arus laut yang bergerak dinamis, memungkinkan limbah tambang menyebar ke seluruh perairan di Bangka Belitung,” lanjutnya.
Hal ini diperkuat data 2020, DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melakukan pengamatan kondisi terumbu karang di 4 kabupaten. Hasilnya, Kabupaten Belitung [36 persen kondisi buruk], Kabupaten Bangka Tengah [29 persen kondisi buruk], Kabupaten Bangka Barat [11 persen kondisi buruk], dan Kabupaten Bangka Selatan [40 persen kondisi buruk].
“Buruknya kondisi terumbu karang di 4 kabupaten tersebut, sejalan dengan luas serta sebaran zona pertambangan dalam RZWP3K. Luasnya mencapai 477.077,6 hektar, tersebar di Kabupaten Bangka Barat [145.025,10 hektar], Kabupaten Bangka [110.229,60 hektar], Kabupaten Bangka Tengah [113.233,80 hektar ], dan Kabupaten Bangka Selatan [108.588,80 hektar],” lanjut Jessix.
Hingga saat ini belum ada data luasan terumbu karang terbaru [2022] yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Jika merujuk data 2015 lalu, luasan terumbu karang di Bangka Belitung mencapai 82.259,84 hektar. Seiiring waktu, berdasarkan analisis citra tahun 2017, ekosistem terumbu karang hidup seluas 12.474,54 hektar. Sementara, luas karang mati sekitar 5.270,31 hektar.
“Artinya, dalam kurun waktu dua tahun [2015-2017], terumbu karang di Bangka Belitung berkurang sekitar 64.514,99 hektar. Aktivitas penambangan timah berpotensi menjadi salah satu penyebab,” lanjut Jessix.
Baca: Jejak Akek Antak dan Ajaran Tidak Tamak dengan Hasil Alam

Di tengah upaya penolakan penambangan timah laut, para pelaku usaha pertambakan udang merambah sejumlah pesisir di Kepualuan Bangka Belitung. Keberadaan pertambakan udang ini jelas mengganggu laut [limbah] yang selama ini merupakan wilayah tangkap masyarakat.
Dikutip dari bangka.tribunnews.com, berdasarkan data sementara [Januari 2022] Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Bangka Belitung [Babel], luasan tambak udang vaname yang sudah memiliki izin usaha Provinsi Kepulauan Bangka Belitung seluas 2.560,7 hektar, terdiri 123 pelaku usaha.
Kabupaten Bangka memiliki luas tambak terbesar, yakni 1.170,75 hektar, diikuti Kabupaten Bangka Selatan [474,56 hektar], Kabupaten Bangka Barat [371, 3 hektar], Kabupaten Bangka Tengah [280,54 hektar], Kota Pangkalpinang [142,75 hektar], Kabupaten Belitung Timur [100,8 hektar], dan Kabupaten Belitung [20 hektar].
Disisi lain, Perda RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2020-2040, dinilai belum berpihak sepenuhnya kepada masyarakat lokal dan konservasi.
Sebab dari 6,5 juta hektar luas laut atau perairan di Kepulauan Bangka Belitung, luas Kawasan Konservasi Laut Daerah [KKLD] hanya 627.612,9 hektar. Sebarannya di Kabupaten Belitung [391.820,2 hektar], Kabupaten Belitung Timur [124.320,7 hektar], Kabupaten Bangka [7.372,5 hektar], Kabupaten Bangka Tengah [11.357,78 hektar], dan Kabupaten Bangka Selatan [92.511,9 hektar].
Sementara peruntukan penambangan timah seluas 477.077,6 hektar, pariwisata [138.327,1 hektar], perikanan tangkap [2.591.390,5 hektar], perikanan budidaya [185.623,9 hektar], Pelabuhan [49.683,8 hektar], alur kabel/pipa [189.093,2 hektar], dan indsutri [310,3 hektar].
Penambangan mineral di laut juga kemungkinan akan terus berlangsung. Sebab Pemerintahan Jokowi sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 52 tahun 2022 tentang Keselamatan dan Keamanan Pertambangan Bahan Galian Nuklir.
Sebagai informasi, perusahaan Thorcon Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium atau PLTT [Pembangkit Listrik Tenaga Thorium] di Pulau Gelasa dan perairannya. Bahan bakunya kemungkinan besar berasal dari Kepulauan Bangka dan Belitung, termasuk dari laut.
Baca: Laut Belitung yang Selalu Diperebutkan

Reklamasi laut tidak efektif
Alokasi zona pertambangan dalam RZWP3K Bangka Belitung mencapai 477.077,6 hektar, semuanya berada di Pulau Bangka.
Menurut Jessix Amundian, dari luasan tersebut, sekitar 139.663 hektar dimiliki PT. Timah, sedangkan sisanya dikelola swasta.
“Kedua pihak tersebut [BUMN dan swasta], mutlak bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem laut yang diakibatkan penambangan timah. Tidak hanya kegiatan reklamasi, juga pengawasan serta laporan progress dan hasil terkait reklamasi yang harus disampaikan ke publik,” kata jessix.
Pada 2022, PT. Timah telah merampungkan 100 persen rencana reklamasi laut, dengan meneggelamkan 1.920 unit artificial reef di 11 lokasi Pulau Bangka dan restocking cumi sebanyak 20.000 ekor di Pulau Bangka dan pemantauan kualitas air. Dalam kurun 2016-2022, PT. Timah telah menenggelamkan sebanyak 3.105 fish shelter, 1.475 unit transplantasi karang, dan 3.840 unit artificial reef.
Baca: Pulau Kelapan dan Jalur Perdagangan Maritim Nusantara

Namun, apakah ribuan artificial reef, fish shelter, transplantasi karang, serta restocking akan berjalan efektif ditengah aktivitas penambangan yang masih berlangsung?
Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, mengatakan, upaya reklamasi laut dengan fish shelter terbilang tidak efektif, terlebih jika penambangan masih berlangsung.
Dalam ekosistem laut, fish shelter berfungsi layaknya rumah bagi ikan, menyediakan habitat baru terhadap ikan karang, serta untuk menarik ikan khususnya ikan karang. Sehingga berperan sebagai pengganti terumbu karang yang rusak.
“Namun ini hanya bersifat sementara, fish shelter terbuat dari besi, mudah korosi terkena air laut. Sehingga cara ini dirasa kurang efektif. Ketika kita akan melakukan rehabilitasi dan restoking ikan, itu akan sangat tidak efektif dilakukan, jika feeding ground, nursery ground dan spawning ground di alam tidak diperbaiki terlebih dahulu,” kata Rizza.
Ekosistem terumbu karang adalah “oase”, memiliki produktivitas primer yang hanya sebanding dengan hutan hujan tropis di daratan. Menggantikan fungsi karang dengan fish shelter sebagai nursery ground bagi ikan, dirasa tidak sebanding dengan produktivitas yang dimiliki ataupun yang dihasilkan ekosistem ini.
Selanjutnya transplantasi, secara umum, karang memiliki proses reproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual inilah yang dimanfaatkan untuk transplantasi karang [fragmentasi]. Hasil anakan transplantasi bukanlah anak atau keturunan karang. Anakan karang hanya dapat dihasilkan dari proses seksual karang [brooding atau spawning].
Reproduksi merupakan proses bagi seluruh organisme agar tetap survive di suatu tempat atau lokasi. Transplantasi memiliki banyak kekurangan, diantaranya:
- Induk berasal dari alam;
- Setelah beberapa keturunan karang ditransplantasi, karang tersebut akan sulit tumbuh, karena terjadi penurunan kemampuan reproduksi karang;
- Penurunan jumlah larva karang;
- Jika, anakan karang bersumber dari indukan yang terkena penyakit, ini akan mengakibatkan tersebarnya penyakit karang tersebut ke seluruh perairan;
- Perlu dilakukan pembersihan koloni [monitoring] dari algae atau sedimen;
- Mempercepat degradasi karang;
- Berbahan rak besi, memungkinkan korosi yang cepat.
“Karenanya, upaya rehabilitasi terumbu karang secara transplantasi termasuk upaya mempercepat degradasi karang itu sendiri,” lanjut Rizza.
Proses rehabilitasi karang harus dilakukan menyeluruh, karena ekosistem terumbu karang sangat kompleks, serta terikat ekosistem pesisir atau daratan.
“Jika masih ada penambangan, itu percuma. Sedimen setiap hari masuk ke perairan dan mengendap di dasarnya. Untuk mengetahui efektif atau tidaknya, perlu dilakukan evaluasi dan kajian mendalam,” tegas Rizza.
Baca juga: Taber Laot, Manusia Jangan Serakah dan Merusak Laut

Harapan
Walhi Kepulauan Bangka Belitung memberikan dua pendekatan untuk menyelamatkan laut di Kepulauan Bangka Belitung.
Pertama, dikembalikan dan dipulihkan laut yang selama ini dikelola masyarakat adat. Kedua, pemerintah [pusat dan daerah] melahirkan sejumlah kebijakan yang benar-benar melindungi laut, seperti moratorium izin, penegakan hukum lingkungan, dan pemulihan.
Menurut Jessix Amundian, sejauh ini banyak wilayah laut adat yang hilang, akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri, dan mengenyampingkan perspektif masyarakat lokal atau adat dalam mengelola laut mereka.
Padahal di Kepulauan Bangka Belitung, ada begitu banyak masyarakat lokal yang kaya akan pengetahuan serta kearifan dalam mengelola alam. Seperti Suku Mapur di Utara Bangka, Suku Jerieng di Pesisir Barat, Suku Laut di sekitar Pesisir Timur, serta beragam sub Suku Melayu lainnya.
“Mereka semua mempunyai pola adaptasi yang arif terhadap alam. Mempunyai tata kelola tersendiri, sehingga menciptakan sebuah lanskap berkelanjutan untuk mendukung kehidupan sekarang hingga generasi selanjutnya,” kata Jessix.
Tetapi, semua itu harus diimbangi komitmen pemerintah.
“Antara penambangan dan kegiatan konservasi masih tidak seimbang, karenanya moratorium izin mutlak dilakukan, disamping penegakan hukum dan agenda konservasi berbasis bio-kultur,” kata Jessix.
Muhammad Syaiful Anwar, peneliti masyarakat adat dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung mengatakan, diperlukan langkah terstruktur, sistematis, masif, terpadu, dan berkesinambungan terkait permasalahan tambang timah di Bangka Belitung.
“Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah cukup banyak dan beragam. Namun, kebijakan tersebut mengalami pasang surut perubahan sehingga terkesan membingungkan, khususnya perizinan,” katanya.
Diperlukan aturan yang secara nyata bisa menyelesaikan masalah yang ada. Penegakan hukum pertambangan khususnya timah, tidak hanya berdimensi pertambangan, namun multidimensi, seperti kebijakan, ekonomi, dan sosial.
“Pendekatan dan penguatan nilai budaya serta beragam praktik hukum adat di masyarakat lokal Bangka Belitung bisa menjadi alternatif, terbukti efektif menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Ini perlu dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” tegasnya.