- Populasi Ikan Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara semakin berkurang akibat maraknya aktivitas penangkapan liar. Situasi ini menjadi ancaman utama terhadap sektor kepariwisataan yang merupakan sumber putaran ekonomi unggulan di Wakatobi.
- Ikan napoleon merupakan hewan predator laut yang berperan penting menjaga kesehatan terumbu karang dan ikan eksotis yang dicari para penyelam sebagai unggulan biodiversitas bawah laut di Wakatobi
- Berkurangnya ikan napoleon berkontribusi pada minat wisatawan bawah laut untuk berkunjung sehinga berpengaruh pada menurunnya perekonomian daerah di sektor pariwisata.
- Aturan pelarangan menangkap dan membudidayakan ikan napoleon di Wakatobi perlu dikaji ulang
- Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan. Tulisan pertama bisa dibaca disini. Tulisan kedua bisa dibaca disini.
Ingin menyaksikan kekayaan biodiversitas Taman Nasional Wakatobi?
Berkunjunglah ke kawasan penjualan ikan di Pasar Sentral Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Praktis, tanpa perlu merogoh kocek menyewa jasa pemandu selam hingga jutaan rupiah, untuk sekadar melihat aneka jenis hewan laut yang berbentuk unik penuh warna-warni eksotik. Ikan-ikan itu dari yang biasa hingga Napoleon yang dilindungi.
Dewi (nama disamarkan) adalah salah satu pedagang ikan itu. Hari itu, ia menjual tujuh ekor Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang ukuran setiap ekornya rata-rata sepanjang jengkalan telapak tangan dewasa. Ikan napoleon dijajakan dalam satu nampan berbahan plastik, dengan cara disamarkan – diapit diantara dua nampan lain yang berisi dua jenis ikan karang berbeda. Sekilas, bentuk ketiga jenis ikan itu sekilas sulit untuk dibedakan.
“Jarang kita jual langsung begini, kita sembunyi-sembunyi,” kata Dewi, dengan sorot mata yang penuh waspada, sambil melihat ke sana kemari. Ia mengaku memperoleh ikan Napoleon dari nelayan lokal seharga Rp25 ribu/ekornya, lalu dijual kembali seharga Rp50 ribu untuk ikan napoleon yang berukuran agak kecil.
baca : Perburuan Ikan Napoleon: Ditangkap di Wakatobi, Transit di Bali, Jadi Sup di Hongkong (1)
Napoleon itu dari mana lagi kalau bukan dari Wakatobi? Karena itulah, makin hari ikan Napoleon kian susah dilihat di area taman nasional itu, seperti diceritakan Seto Aryadi (37).
Seto Aryadi adalah seorang dive master berpengalaman yang merintis bisnis kepariwisataan bawah laut Wakatobi sejak tahun 2008, menyediakan jasa pandu selam kepada turis domestik dan mancanegara.
Pandemi Covid yang berlangsung selama dua tahun, membuat bisnis kepariwisataan bawah laut yang dikelolanya nyaris lumpuh. Pembatasan sosial oleh pemerintah Indonesia berkontribusi pada menurunnya jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Wakatobi sepi pengunjung.
Saat itu Seto berharap tidak adanya aktivitas wisata bawah laut selama hampir dua tahun di Wakatobi, memberi kesempatan kepada ekosistem dan habitat laut untuk berkembang secara alami. Dia membayangkan TN Wakatobi akan bertransformasi menjadi aquarium raksasa di khatulistiwa. Kaya akan terumbu karang berwarna-warni yang sehat. Disesaki ikan-ikan eksotik langka yang tidak mudah dijumpai di perairan manapun. Contohnya ikan napoleon.
Rupanya, harapan itu menjadi menjadi mimpi buruk di siang bolong. Dari sembilan penyelaman yang dilakukannya tahun ini, ia hanya satu kali bertemu ikan napoleon. Dengan perkiraan panjang tubuh ikan hampir 25 cm.
Kondisi itu berbeda dengan temuannya pada tahun-tahun sebelumnya. Yang hampir di setiap penyelaman bertemu dua ekor ikan napoleon, dengan ukuran terkecil 20 cm di kedalaman 15-20 meter di bawah permukaan air laut. Sementara yang berukuran sepanjang 1 meter sudah lama tidak terlihat, “Kurang lebih sekitar tahun 2020,” seingat Seto.
baca juga : Perburuan Napoleon: Ikan Jenderal di Piring Oknum Perwira (2)
Pada 2016 lalu, Isa Nagib Edrus dan Kris Handoko melakukan penelitian Kepadatan dan distribusi ukuran Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di perairan karang Buton dan Wakatobi. Hasilnya menunjukkan status populasi Ikan Napoleon di perairan Wakatobi tergolong kritis dengan tingkat kepadatan sedang atau 0,93 individu per hektar. Dengan persentase usia dewasa mencapai 100 persen, dengan ukuran rata-rata 30-50 cm. Ukuran ini termasuk dalam ukuran terlarang panen.
Penelitian itu menyebutkan sudah tidak menjumpai ikan napoleon ukuran dewasa tua lebih dari 60 cm di Wakatobi pada wilayah dengan intensitas penangkapan yang tinggi. Menurunnya populasi ikan napoleon memberi dampak pada rusaknya ekosistem laut.
Ikan napoleon merupakan hewan predator laut yang berperan penting menjaga kesehatan terumbu karang. Dengan cara memangsa Acanthaster planci atau biasa dikenal dengan sebutan Crown of Thorns Starfish, salah satu jenis Bintang Laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak dan pemakan karang yang rakus.
Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi memperkirakan keberadaan ikan napoleon di laut Wakatobi semakin langka, mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu diungkapkan Hardin, Kabid Perizinan dan Pengelolaan TPI-DKP Wakatobi saat dikonfirmasi melalu telepon pada Juni lalu.
Menurunnya jumlah ikan napoleon kontras berbanding terbalik dengan visi penetapan status Taman Nasional Wakatobi sejak tahun 2006, lalu kemudian ditetapkan berstatus cagar biosfer dunia pada 2012 oleh UNESCO. Dan di era pemerintahan presiden Joko Widodo, Wakatobi ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.
TN Wakatobi seluas 1.390.000 hektar. Memiliki 112 sebaran pulau: 11 pulau diantaranya berpenghuni, dan 101 pulau tidak berpenghuni. Citra satelit LAPAN telah memetakan seluas 32.520 hektar terumbu karang sehat.
Berdasarkan zonasi yang ditetapkan secara partisipatif, 97 persen adalah zona pemanfaatan yang boleh diakses oleh masyarakat untuk memanfaatkan hasil laut atau hasil-hasil lainnya yang tidak dilindungi undang-undang. Sementara sisa 3 persen dari luas total kawasan adalah zona khusus daratan.
perlu dibaca : Ikan Napoleon yang Makin Langka di Laut Maluku Utara
Dari luasan itu, pihak TN Wakatobi mengaku setiap bulan melakukan monitoring dan pendataan perikanan tangkap. “Kami melakukan pemantauan di pinggir-pinggir karang, karena nelayan yang kita sasar adalah nelayan karang,” kata Darman, Kepala Balai TN Wakatobi dalam presentasenya pada kegiatan Kajian Kualitatif Long Form Sensus Penduduk 2020 di Balai Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara, pada 13 Juli 2022.
Katanya, TN Wakatobi menggunakan dua skema pemantauan yaitu, perjumpaan langsung di tempat dan penjagaan di pelabuhan bersama pihak Balai Karantina ikan. Dengan tujuan untuk melihat hasil tangkapan dan memantau ‘jangan sampai’ ada jenis-jenis ikan yang dilindungi keluar dari Wakatobi. Darman menegaskan, “Ini rutin kita jaga setiap pagi di pelabuhan”.
Bagi dive master Seto Aryadi, berkurangnya ikan napoleon adalah akibat maraknya tangkapan sampingan nelayan selama pandemi corona. Asumsi itu berdasarkan pengamatannya yang kadang berkunjung ke pasar dan menemukan pedagang yang menjual bebas ikan Napoleon. “(Ikan Napoleon) ditangkap oleh nelayan karena nilai ekonominya tinggi, harganya mahal,” kata Seto.
Menurutnya, antar pihak yang berkepentingan tidak serius memperhatikan kelangsungan hidup ikan Napoloen. Yang secara tidak langsung akan berdampak buruk pada perekonomian di Wakatobi.
Seto mencontohkan jika dalam satu pekan melayani sepuluh wisatawan, yang perorangan dikenakan biaya Rp10 juta . “Akan ada Rp100 juta yang terputar di masyarakat. Yang merasakan manfaat mulai dari jasa rental mobil, hotel, catering, pemilik boat, dive centre lain, dan lain lainnya,” kata Seto. Sementara, menjual ikan napoleon hanya menghasilkan keuntungan jangka pendek, tetapi menimbulkan kerugian jangka panjang bagi keseluruhan.
“Yang menikmati hanya pengusaha ekspor ikan,” kata Seto.
Sementara itu, banyak yang berwisata ke Wakatobi karena penasaran ingin melihat ikan napoleon. Karena ‘katanya’ sangat mahal, sangat langka, dan pertumbuhannya lambat.
baca juga : Agar Terumbu Karang Aman, Nelayan Banda Diminta Pakai Alat Tangkap Ramah Lingkungan
Dua sisi keuntungan
Di mata pakar Agribisnis Perikanan Laut Universitas Halu Oleo, Ahmad Mansur, ikan napoleon seperti mata uang yang memiliki dua sisi nilai ekonomi.
Ikan napoleon merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki motif sangat bagus, pada ukuran tertentu warna tubuhnya berubah warna dan terlihat mengkilap di dasar laut. Di sisi lain, ikan napoleon dilihat sebagai komoditas yang banyak disukai oleh konsumen untuk dimakan. Olehnya itu menjadi suatu komoditi perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Ahmad menjelaskan bahwa tekstur daging ikan napoleon lembut. Berserat untuk dikonsumsi, sehingga memberi cita rasa yang lezat. Dari aspek nutrisi, mengandung Omega 3 yang membantu pemeliharaan organ tubuh.
“Sebenarnya ada hal yang perlu dilihat kembali,” kata Ahmad. Masyarakat Wakatobi sudah lama memahami jika ikan napoleon pada ukuran tertentu tidak bisa dijadikan bahan konsumsi. Sepengetahuannya, ikan napoleon seberat 1 kg sudah layak untuk dikonsumsi. Karena sudah memberi satu nilai keberlanjutan regenerasi, telah beberapa kali bertelur hingga penetasan telur di habitatnya.
Dari asumsi itu, Ahmad menilai aturan pelarangan menangkap dan membudidayakan ikan napoleon di Wakatobi perlu di kaji ulang. Semestinya kebijakan pelarangan harus diikuti dengan pemberian izin re-stocking yang disediakan ke masyarakat, agar mereka bisa mengembalikan ikan napoleon ke alam. Dua hal itu bisa dilakukan secara beriringan.
“Saya kira perlu ditinjau kembali”, katanya. Karena sudah ada kemampuan masyarakat melakukan pengembangan lata budidaya secara ilmiah.
Jika hal itu dilakukan, akan bersinergi mendukung Wakatobi menjadi destinasi wisata ilmiah: pendidikan dan penelitian. Akan menjadikan putaran uang lebih banyak di masyarakat. Dan ikan napoleon layak konsumsi bisa menjadi magnet wisata kuliner andalah bagi wisatawan.
“Tetapi tidak boleh dibawa keluar, harus di Wakatobi,” tegasnya.
perlu dibaca : Kenapa Natuna dan Anambas Ekspor Napoleon Kembali lewat Laut?
Ikan Napoleon sendiri masuk daftar apendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang perdagangan internasionalnya telah ditetapkan ketentuannya.
Sedangkan Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.37.2013 tentang Perlindungan Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) menyatakan ikan napoleon berukuran berat antara 100 gram sampai 1 kg/ekor dan ukuran lebih besar dari 3 kg/ekor dinyatakan sebagai ukuran yang dilindungi. Ikan Napoleon yang berukuran dan berat di bawah ketentuan 100 gr/ekor dengan berat antara 1 kg –3 kg/ekor tidak termasuk dilindungi, artinya bisa dimanfaatkan.
Sementara di wilayah laut Wakatobi, pihak Balai TN Wakatobi mengeluarkan larangan tidak membolehkan aktivitas penangkapan dan penjualan ikan napoleon dalam bentuk ukuran, berat, dan dalam kondisi apapun untuk menjaga keseimbangan biodiversitas laut
Peneliti Masyarakat dan Budaya Pesisir BRIN, Terry Indrabudi mengatakan pemerintah kerap hanya melakukan sosialisasi larangan hewan yang dilindungi. Dan tidak dijelaskan secara detail alasan aturan tersebut.
“Banyak kok yang berhasil,” katanya. Terry menegaskan, “Bukan sekedar diberitahu ini dilarang tangkap oleh nelayan. Tidak dijelaskan kenapanya?”
Dari hasil observasi Terry selama melakukan penelitian kemasyarakatan dalam kurun waktu setahun kemarin, ia melihat masyarakat di kepulauan Wakatobi sudah turun temurun mengambil ikan napoleon. Nelayan Wakatobi bukan tipe pemburu ikan pelagis sampai ke laut lepas. Tetapi nelayan penangkap ikan di terumbu karang.
Menurutnya jika mereka diberi pengertian secara detail mengenai alasan pelarangan tersebut, masyarakat akan ada kecenderungan untuk mengikuti aturan.
“Nah biasanya yang melanggar itu oknum-oknum yang memang biasa terikat oleh para tengkulak, bandar, atau pemodal. Yang memang dia sebagai distributor ikan Napoleon,” kata Terry.
Napoleon: Bintang Panggung Wakatobi
Dive master Seto Aryadi mengungkapkan hingga sekarang turis asing yang berkunjung selalu ingin melihat langsung atraksi ikan napoleon memangsa bintang laut berduri di terumbu karang yang berwarna warni. Syukur-syukur jika ada ikan napoleon bermain di sekitar penyelam. Bagi wisatawan menjadi kebanggaan tersendiri bisa berfoto dekat ikan napoleon.
“Tapi kadang tidak bertemu napoleon. Napoleon menurun di hampir semua titik penyelaman Wakatobi” ujar Seto.
Sementara Rio Mulyawan (40), seorang penyelam profesional, baru saja melakukan penyelaman perdana selama tiga hari di TN Wakatobi, pada pertengahan Mei kemarin. Selama itu Rio dipandu Seto di beberapa spot karang terbaik, namun tidak sekalipun menemukan ikan napoleon yang menjadi target penyelaman.
Rio berencana untuk kembali di tahun berikutnya, dengan harapan bisa bertemu langsung ikan napoleon. Bertahun-tahun sebelumnya, Rio pernah menyelam di laut di Jawa, Bali, dan Lampung, hanya untuk ingin melihat langsung ikan napoleon di habitatnya. “Saya belum pernah sekalipun bertemu napoleon. Dan kemarin itu saya juga tidak ketemu Napoleon,” pungkas Rio. (***)
Liputan kolaborasi ini merupakan kerja sama Mongabay Indonesia, Kendari Pos, dan Rakyat Sultra dan terselenggara berkat dukungan Garda Animalia dan Auriga Nusantara dalam program Bela Satwa