- Pemerintah Indonesia selalu mengklaim bahwa nasib nelayan sedang ada dalam proses perbaikan. Proses tersebut mencakup regulasi, kebijakan, program kerja, sarana dan prasarana, dan kemudahan akses untuk pengembangan diri dan usaha
- Tetapi, pada kenyataannya nasib nelayan kecil dan tradisional sampai sekarang masih terkurung di dalam kelompok ekonomi pra sejahtera. Kondisi tersebut dialami hampir semua nelayan kecil dan tradisional di seluruh Indonesia
- Selain itu, persoalan lainnya terutama dampak dari pandemi COVID-19. Hal tersebut membuat nelayan semakin kesulitan menaikkan kelas ekonominya, karena biaya produksi perikanan semakin tinggi, namun hasilnya justru stagnan dan bahkan menurun
- Ada banyak faktor yang memicu muncul kondisi tersebut bagi nelayan. Namun, semua itu ada kaitan dengan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mengawal nelayan untuk bisa keluar dari kesulitan ekonomi
Peran nelayan sebagai pemasok bahan pangan bergizi yang berasal dari laut sudah tidak ada yang meragukan lagi. Hampir semua pihak sudah mengakui peran mereka yang sangat penting dan bisa menjaga ketahanan pangan secara nasional.
Besarnya peran tersebut, membuat posisi nelayan sulit digantikan oleh siapa pun, walau teknologi terus mengalami kemajuan. Posisi tersebut semakin kompleks jika dikaitkan dengan Indonesia, di mana peran nelayan sangat mendominasi dalam industri penangkapan ikan.
Pemerhati Kelautan dan Perikanan M. Zulficar Mochtar belum lama ini membeberkan sejumlah fakta menarik tentang nelayan Indonesia yang disebut sebagai aktor utama, namun nasibnya tidak mengalami perubahan signifikan sampai detik ini.
Dia menyebutkan kalau nelayan memegang peranan penting tak hanya di level nasional saja, namun juga secara global. Diperkirakan, sekitar 40 persen tangkapan ikan dunia adalah berasal dari hasil tangkapan para nelayan.
Itu kenapa, nelayan di seluruh dunia bisa mencakup lebih dari 90 persen dari total pelaku perikanan secara global. Namun, dominasi nelayan di perikanan tangkap yang ada di Indonesia menjadi lebih besar, karena tangkapan ikan di Indonesia mayoritas adalah berasal dari nelayan kecil.
baca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut
Tetapi sayangnya, Zulficar Mochtar mengatakan, walau nelayan adalah pahlawan pangan, namun posisinya justru masih sangat rentan. Dia menyebut kalau profesi nelayan adalah salah satu yang paling berbahaya dan beresiko di dunia.
Organisasi Buruh Internasional Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) menyebutkan kalau nelayan adalah profesi yang paling berbahaya di dunia dengan tingkat kecelakaan dan kasus cukup tinggi sepanjang tahun.
Hasil study Fish Safety Foundation (2022) memperkirakan kematian terkait perikanan secara global mencapai 100.000 kasus setiap tahun. Dari sisi kesejahteraan, nelayan juga terbelakang karena masuk golongan ketidakpastian usaha.
Fakta tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi global, di mana kebutuhan pangan dari laut terus naik waktu ke waktu. Hal itu dipicu oleh pertumbuhan penduduk di seluruh dunia yang membuat dunia perikanan tangkap bisa terus bergerak dan semakin kompetitif.
“Tren kebutuhan dan penangkapan ikan terus meningkat, namun sumber daya ikan semakin berkurang. Sementara, tuntutan konsumen semakin ketat yang membuat nelayan semakin tertekan,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) periode 2018-2020.
Tuntutan konsumen yang dimaksud, tidak lain adalah proses dan kualitas produk perikanan yang diharapkan terus meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi itu memicu beragam persoalan, karena nelayan dituntut untuk lebih baik lagi saat bekerja, namun di saat yang saat ada tuntutan kehidupan pribadi nelayan yang juga semakin besar.
Melansir laporan Organisasi Pangan dan PBB (FAO) melalui buku State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) 2022, dia menyebut kalau total produksi perikanan tangkap secara global pada 2020 lalu sudah mencapai angka 90,3 juta ton.
Angka tersebut jauh melampaui capaian serupa yang terjadi para era 1960-an, di mana pada 2020 terjadi kenaikan hingga 60 persen produksi. Kemudian, pada 2020 juga terjadi kenaikan konsumsi ikan per kapita menjadi 20,2 kilogram, atau naik dua kali lipat dibandingkan era yang sama.
Kondisi tersebut mengakibatkan lebih dari 30 persen stok perikanan dunia juga mengalami penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing). Hal itu menjadi tantangan, karena pangan laut menjadi kontributor besar dengan 17 persen untuk protein hewani, dan bahkan 50 persen di negara Asia dan Afrika.
Dengan segala tantangan yang harus dihadapi, posisi nelayan semakin sulit untuk bergerak dan memperbaiki nasibnya sendiri. Bahkan, menjelang pergantian tahun dari 2022 ke 2023 sekali pun, nelayan masih harus menghadapi cobaan yang tidak biasa.
perlu dibaca : Hidup Nelayan Skala Kecil terancam Pencabutan Subsidi WTO
Nasib Nelayan
Zulficar Mochtar menjabarkan analisisnya tentang nasib nelayan tersebut sebagai bagian dari badai yang tidak biasa yang tidak hanya mengancam kekuatan sosial ekonomi, namun juga mengancam kehidupan mereka.
Ada tiga tantangan yang harus dihadapi para nelayan di tahun baru nanti. Pertama, adalah tentang krisis iklim, di mana hal itu disebabkan oleh perubahan iklim yang memengaruhi kondisi perikanan dan habitatnya.
Tantangan pertama ini akan mengganggu pola distribusi ikan skala besar di laut. Ikan akan bermigrasi mencari tempat yang lebih sesuai dan itu berdampak pada produksi perikanan tangkap, sekaligus memengaruhi pola operasional nelayan.
“Ketidakpastian usaha dan biaya perikanan (juga) semakin tinggi, berdampak pada sosial dan ekonominya,” tutur dia.
Tantangan kedua yang masih harus dihadapi nelayan pada 2023, adalah dampak dari pandemi COVID-19 yang masih belum tuntas. Walau puncak dari pandemi sudah berhasil dilalui, namun aktivitas perikanan dan lalu lintasnya masih belum pulih sepenuhnya.
Tantangan ketiga, adalah bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi ekonomi yang dipicu oleh banyak faktor, baik dari dalam atau pun luar negeri. Kondisi tersebut langsung dirasakan oleh nelayan yang kesehariannya mengoperasikan kapal ikan berukuran kecil.
Kenaikan harga BBM ini otomatis akan memicu kenaikan sarana transportasi dan logistik, harga produksi, operasional, dan harga barang konsumsi maupun jasa lainnya. Langsung atau tidak, kondisi ini memukul telak dunia perikanan di Indonesia.
“Bisa dipahami, sekitar 40 hingga 70 persen dari biaya nelayan adalah pada BBM dan perbekalan untuk melaut,” ucap dia.
baca juga : Masa Depan Perikanan Dunia adalah Nelayan Skala Kecil
Akibat kenaikan harga BBM, penghentian operasional ribuan kapal ikan, baik berukuran kecil ataupun besar, tidak bisa dihindari lagi. Selain karena faktor biaya, di saat yang sama juga pemasukan dari penjualan ikan sedang tidak bagus, karena harga sejumlah jenis ikan mengalami stagnasi atau bahkan anjlok di banyak lokasi.
Sementara, pada saat bersamaan juga para nelayan masih kesulitan untuk mendapatkan alternatif modal usaha dengan akses yang cepat dan mudah. Persoalan tersebut semakin menyulitkan nelayan, karena mereka rerata tidak memiliki aset dan tabungan yang cukup.
“Sehingga tekanan ekonomi menjadi sangat besar,” tambah dia.
Sebenarnya, dia menunjuk kalau nelayan sudah mendapatkan bantuan berupa subsidi BBM dari Pemerintah Indonesia sejak 2014. Hanya sayang, proses ketersediaan dan stabilitas harga yang didapatkan para nelayan masih jauh dari ideal.
Dengan kondisi tersebut, nelayan hanya punya pilihan untuk berhenti atau terus berlanjut. Jika pilihan kedua diambil, maka potensi eksploitasi sumber daya ikan hampir pasti akan dilakukan, karena untuk menutupi biaya operasional yang membengkak.
baca juga : Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik
Ironi Nelayan
Persoalan yang dihadapi nelayan tersebut, menjadi ironi yang kini ada di tengah dunia internasional yang sudah mendeklarasikan dukungannya pada nelayan kecil. Bahkan, United Nations General Assembly (UNGA) telah mendeklarasikan 2022 sebagai International Year of Artisanal Fisheries and Aquaculture (IYAFA).
Deklarasi itu dilakukan, agar bisa mendorong semua pihak untuk memberikan perhatian khusus pada nelayan kecil, pembudi daya ikan, dan pekerja perikanan. Profesi yang berkontribusi sangat besar dalam ketahanan pangan, namun kehidupannya sangat rentan dan sering terlupakan.
“Konteks ini sangat relevan dengan situasi di Indonesia, karena menjadi salah satu negara produsen ikan terbesar dunia, dengan lebih 96 persen nelayannya adalah berasal dari skala kecil,” terang dia.
Saat segala persoalan harus dihadapi nelayan, kemudian muncul para pihak yang bersuara dan mengatasnamakan mereka. Sayangnya, kemunculan para pihak tersebut seperti bias, karena hanya dimanfaatkan untuk momen tertentu saja.
Akibatnya, nasib nelayan disuarakan sampai ke puncak pemegang kebijakan di dalam dan luar negeri, namun nelayan tidak dilibatkan secara langsung. Dengan kata lain, walau bermaksud baik, namun nelayan tetap tidak terwakili oleh para pihak tersebut.
Suara nelayan yang bias ini menjadi pemicu munculnya bias data, bias kebijakan, dan program, di berbagai tingkatan. Akibatnya mudah diduga, hak-hak dan kepentingan nelayan secara keseluruhan sering tidak terwakili dengan baik.
baca juga : Nelayan Tradisional Semakin Terancam oleh Ekonomi Biru?
Persoalan kesejahteraan yang masih belum dirasakan oleh nelayan, adalah manfaat ekonomi dari kegiatan ekspor yang hingga saat ini masih memprihatinkan. Menurut Zulficar Mochtar, kondisi itu berkaitan erat dengan rantai pasok yang putus dan rantai nilai yang tidak optimal.
Selain itu, persoalan nelayan juga ada kaitannya dengan data perikanan yang masih belum solid sampai sekarang. Kendala tersebut membuat nelayan di bawah 30 GT masih kesulitan untuk berkembang, karena data perikanan memegang peranan penting.
“Upaya menangkap ikan di laut sudah dilakukan sejak ratusan tahun. Tata kelola perikanan juga bergerak mengikuti pola tersebut. Sistem data perikanan juga memegang peran yang semakin penting,” tegas dia.
Akan tetapi, walau tantangan dan persoalan masih akan terus menghadang, Zulficar yakin kalau nelayan akan terus bertahan, seperti yang sudah dilakukan sejak tahun-tahun yang lalu. Namun, menghadapi 2023 nelayan harus bisa lebih efisien dan tahu yang harus dilakukan.
Ada lima hal yang perlu dilakukan oleh nelayan. Pertama, harus bisa konsentrasi merapikan sistem rantai pasok perikanan. Tips ini penting, karena sistem rantai pasok perikanan tidak mengalir mulus dari hulu hingga hilir sampai sekarang.
Sebelum melaut, saat di laut, pasca melaut, hingga pemasaran dan distribusi, nelayan menghadapi banyak kendala. Termasuk terbatasnya akses modal, pasokan dan harga BBM, akses perbekalan dan sistem rantai dingin, sertifikasi dan kapasitas SDM, kualitas ikan, jaminan harga ikan dan pasar.
“Terobosan sistematis mengurangi barrier ini akan mengungkit signifikan kapasitas nelayan dan pelaku usaha,” sebut dia optimistis.
Kedua, optimasi dan sinergi data melalui transformasi digital perlu diakselerasi. Ketiga, konsisten menerapkan kebijakan dan program perikanan yang berpihak (affirmative policies and programs) bagi nelayan dan pelaku usaha.
Sistem perizinan, zonasi, sertifikasi, dan lainnya masih perlu disederhanakan. Nelayan tidak perlu mengurus lebih dari puluhan dokumen dan diperiksa berkali-kali di atas kapal. Selain itu, berbagai inefisiensi dan proses biaya tinggi juga perlu dipangkas.
Keempat, mengutamakan kualitas di atas kuantitas saat melakukan produksi perikanan. Kelima atau terakhir, nelayan harus bisa membangun kemampuan adaptasi dan daya tahan dalam kerangka dukungan manajemen usaha dan tata kelola perikanan yang lebih efisien.
Selain itu, nelayan juga bisa mengurangi praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan menyalahi aturan (IUU Fishing), membuka akses fasilitas, mendorong sertifikasi dan standar perikanan yang lebih berkualitas secara masif.
perlu dibaca : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan
Implementasi Penangkapan Terukur
Tentang nasib nelayan yang tidak kunjung membaik, disuarakan juga oleh Koalisi untuk kelautan dan perikanan berkelanjutan (KORAL) yang beranggotakan sejumlah lembaga non Pemerintah. Kelompok tersebut dengan tegas menyebut nelayan kecil harus jadi prioritas pada 2023 mendatang.
Di mata KORAL, walau Pemerintah Indonesia melakukan beragam cara untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan, namun ada potensi negatif yang bisa muncul kapan saja. Di antaranya adalah eksploitasi laut yang bisa berdampak pada sumber daya ikan.
Kekhawatiran itu muncul, karena kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang akan diterapkan mulai 2023 nanti. Kebijakan tersebut menjadi bagian dari penerapan prinsip ekonomi biru di Indonesia.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan bahwa segala jenis kebijakan dan program yang bisa memicu eksploitasi dan destruktif, akan bisa mempercepat laju perubahan iklim.
Menurut dia, kebijakan seperti penangkapan ikan terukur akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini sudah dirasakan oleh nelayan skala kecil dan atau tradisional di seluruh Indonesia. Dampak itu, bukan hanya ekosistem laut dan pesisir yang menurun dan sumber daya ikan menipis, tapi juga nyawa nelayan akan terancam karena peralatan melaut yang masih sederhana.
Sekretaris KORAL Mida Saragih menimpali apa yang dikatakan Parid Ridwanuddin. Menurut dia, agar kebijakan penangkapan ikan terukur bisa sesuai harapan dan tidak memicu masalah baru, maka fungsi pengawasan harus dijalankan dengan tegas dan rutin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Selain itu, KKP juga perlu untuk menerapkan kebijakan pada wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) dengan tingkat pemanfaatan ikan over exploited. Pada WPPNRI dengan status stok ikan krisis, kebijakan moratorium harus diterapkan bersama dengan pengurangan aktivitas penangkapan ikan, serta melarang penggunaan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan.
Parid atau Mida bersepakat bahwa pengelolaan laut yang tepat dan berkelanjutan bukan semata karena untuk konservasi, namun juga untuk kepentingan nelayan dan jaminan masa depannya.
Tanpa ada program-program yang saat ini disiapkan oleh Pemerintah, nelayan akan selalu membutuhkan perhatian, dan dukungan nyata, serta menjadi prioritas dalam bentuk apa pun. Paling utama, laut yang sehat dan aman akan selalu menjadi idaman bagi nelayan, agar mereka bisa beraktivitas normal dan terus meningkatkan kesejahteraan, tanpa harus merasa khawatir.