- Perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mau masuk Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. Izin operasi produksi perusahaan sudah keluar tetapi warga bertahan, menolak tambang dan melawan perusahaan tambang emas yang mengancam ruang hidup mereka. Baru-baru ini dalam diskusi daring, beberapa kriminolog memberikan pandangan mereka soal kasus ini.
- Gandjar Laksmana Bonaprapta, kriminolog dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan, perlu ada peninjauan lebih lanjut terhadap proses perizinan dan aturan yang memperbolehkan praktik tambang emas di Sangihe. Semua perizinan yang mengganggu masyarakat dan berisiko mencabut penghidupan mereka harus ditinjau ulang pemerintah.
- Frans Ijong, dosen Politeknik Negeri Nusa Utara, Tahuna, Sangihe, mengatakan, proyek ini sudah bermasalah sejak penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Dokumen ini, katanya, tak mempertimbangkan UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain di Sangihe, konsesi tambang emas ada juga beberapa pulau kecil masuk berukuran lima hektar dan dua hektar.
- Mamik Sri Supatmi, Kriminolog dari Universitas Indonesia mengatakan, perempuan merupakan sosok paling terdampak dari persoalan di Sangihe ini. Kehilangan tanah menjadi salah satu faktor pendorong aksi perempuan Sangihe. Bagi mereka, tanah, kebun dan rumah merupakan ruang hidup yang harus dipertahankan demi keberlangsungan generasi Sangihe.
Pulau Sangihe di Sulawesi Utara, jadi incaran perusahaan tambang, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) . Izin operasi produksi perusahaan sudah keluar tetapi warga bertahan, menolak tambang dan melawan perusahaan tambang emas yang mengancam ruang hidup mereka. Baru-baru ini dalam diskusi daring, beberapa kriminolog memberikan pandangan mereka soal kasus ini.
Gandjar Laksmana Bonaprapta, kriminolog dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan, kasus tambang emas di Sangihe sebagai kejahatan terorganisasi. Pasalnya, ada banyak, terutama pemegang kekuasaan yang terlibat.
“Mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, semua bermain. Ada kerjasama lintas batas antara institusi, organisasi, bahkan negara,” katanya.
Hal ini bisa terjadi karena kekuasaan negara terkooptasi sekelompok orang yang mengedepankan kepentingan kelompok mereka. Parahnya, kejahatan terorganisir ini berlindung di belakang hukum.
“Ada birokrat tidak amanah, dan korup, penguasa hitam, politisi busuk dan orang baik yang hanya diam saja,” katanya.
Hukum, katanya, kerap terabaikan kepentingan ekonomi karena pemerintah memberikan karpet merah pada investasi. Sementara kehidupan masyarakat lokal yang hidup di sana justru tercerabut.
“Kasus Sangihe ini melukai praktik penegakan hukum di Indonesia,” kata Gandjar.
Mamik Sri Supatmi, Kriminolog dari Universitas Indonesia, mengatakan, negara memberikan fasilitasi kepada kejahatan korporasi hingga ada kegagalan dalam menahan kegiatan yang menyimpang. Tindakan ini, katanya, , bisa saja terjadi karena ada persengkongkolan langsung antara pebisnis dan pemerintah.
Dia sesalkan, kejahatan struktural ini dipandang sebagai hal normal atau biasa. Padahal, daya rusak sangat luar biasa dan merugikan banyak orang, meskipun ada yang tak menyadarinya.
“Izin yang diberikan menurut saya hanya menghadirkan keuntungan berlipat ganda bagi korporasi, bukan masyarakat Sangihe,” terang Mamik.
Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan hidup dan kekerasan fisik yang dilakukan dengan dalih melindungi obyek vital negara. Warga, katanya, mengalami kriminalisasi, terbaru dialami Robison Saul, pejuang penyelamatan pulau Sangihe.
Robison ditangkap diduga membawa senjata tajam untuk menghadang alat berat yang hendak masuk ke Sangihe. Padahal, parang di pinggang nelayan ini ada sejak pulang berkebun.
Orang Sangihe, sebenarnya memiliki tradisi membawa besi putih bersama mereka, yang dalam hal ini termasuk parang.
Baca juga: Kala Warga Sangihe Tuntut Cabut Izin Tambang Emas dan Desak Bebaskan Robison
Tinjau lebih jauh
Gandjar mengatakan, perlu ada peninjauan lebih lanjut terhadap proses perizinan dan aturan yang memperbolehkan praktik tambang emas di Sangihe.
Menurut dia, semua perizinan yang mengganggu masyarakat dan berisiko mencabut penghidupan mereka harus ditinjau ulang pemerintah.
Frans Ijong, dosen Politeknik Negeri Nusa Utara, Tahuna, Sangihe, mengatakan, proyek ini sudah bermasalah sejak penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Dokumen ini, katanya, tak mempertimbangkan UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Padahal, katanya, kalau melihat kriteria pulau kecil dalam UU ini, Sangihe bisa masuk. Selain Sangihe, katanya, ada juga beberapa pulau kecil masuk dalam konsesi 42.000 hektar ini. Pulau kecil itu, katanya, ada berukuran lima hektar dan dua hektar.
Dia memeriksa berbagai dokumen perizinan perusahaan. Dia pernah jadi saksi di persidangan gugatan di PTUN Manado Sulawesi Utara.
Frans bilang, Pasal 23 UU 1/2014, menyebutkan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitar berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
“Kalau kesatuan ekologis terganggu, jangan dilakukan lagi kegiatan ekonomisnya,” ucap Frans.
Dalam Pasal 23 UU 1/204 juga menyebut prioritas pemanfaatan pulau adalah untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata. Juga, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan pertahanan dan keamanan negara.
Belum lagi, , pencemaran yang akan terjadi karena aktivitas pertambangan. Operasi perusahaan tambang, katanya, juga berpotensi menyebabkan terumbu karang rusak.
Kerusakan terumbu karang karena sedimentasi aktivitas tambang dan logam berat, katanya, bisa membuat ikan tak sehat dan sulit dijual.
Baca juga: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas
Perlawanan perempuan
Perempuan merupakan sosok yang paling merasakan dampak dari konflik yang terjadi di Sangihe. Selama 3 minggu berada di Sangihe, Mamik melihat dampak psikologi yang terjadi di kalangan perempuan Sangihe.
“Umumnya mereka sedih karena relasi rusak terhadap orang-orang yang mereka cintai dan dekat dengan mereka,” kata Mamik.
Kondisi ini dipicu rasa bersalah yang timbul karena mereka kerap meninggalkan anak-anak untuk protes sosial bahkan membawa anak saat melakukan aksi walau itu disadari sebagai tindakan berisiko.
“Perempuan di Sangihe memberikan peran atau kontribusi dalam gerakan keadilan lingkungan.”
Kehilangan tanah menjadi salah satu faktor pendorong aksi perempuan Sangihe. Bagi mereka, tanah, kebun dan rumah merupakan ruang hidup yang harus dipertahankan demi keberlangsungan generasi Sangihe.
Sayangnya, selama tiga pekan berada di Sangihe, Mamik melihat berbagai tindakan intimidasi aparat terhadap masyarakat yang membela ruang hidup mereka. Masyarakat, katanya, cenderung putus asa karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi.
“Yang harus dilakukan kriminolog dan akademisi adalah mendorong negara untuk jamin pemenuhan janji konstitusi.”
Baca juga: PTUN Manado Batalkan Izin Lingkungan Tambang Emas di Sangihe
Ekonomi hijau?
Novri Susan, anggota Tim Komunikasi Presiden, tidak memberikan pandangan solutif terhadap kasus Sangihe.
Dia katakan, perlu kajian lebih lanjut terkait proses perizinan dari tambang emas TMS, tetapi tidak menyebut apa bentuk intervensi yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasi ini.
“Kalau izinnya keluar 2009, berarti gunakan UU undang lama yang kewenangan masih di daerah waktu itu,” katanya.
Dia tantang, pusat belakangan ini melakukan terobosan berupa konsep ekonomi hijau. “ini peluang untuk basis advokasi lingkungan dalam aktivitas ekonomi,” katanya.
Menurut dia, praktik ekonomi hijau (green economy) pada masa depan sebagai upaya penyelamatan lingkungan yang juga menciptakan kekuatan ekonomi pada saat yang bersamaan. “Ini jadi narasi jangka panjang yang harus diperjuangkan.”
Baca juga: Kala PTUN Putuskan Cabut Izin Lingkungan, Perusahaan Tetap Melaju, Warga Sangihe Terus Menolak
*******