- Pembangunan kontruksi proyek PLTA Batang Toru mulai berjalan dalam beberapa tahun ini. Jalan sudah dibuka, pembuatan quarry, sampai terowongan. Ledakan demi ledakan pun bergema setiap hari seperti terasa di Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipurok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Bukan itu saja, belakangan ini rumah warga sekitar mulai rusak bahkan roboh. Mereka duga, ada kaitan dengan pembangunan proyek PLTA yang sedang berlangsung.
- Teuku Abdullah Sanny, ahli geologi dan geofisika Institut Teknologi Bandung, mengemukakan, Tapanuli Selatan merupakan kawasan sesar gempa yang berisiko terjadi patahan. Pembukaan kawasan hutan di wilayah itu akan membuat daya ikat tanah berkurang dan berpotensi menyebabkan gerakan tanah (tanah mengembang). Begitu lahan dibuka, pohon ditebang, tanah langsung bersentuhan dengan udara. Bila hujan, air akan terserap ke dalam tanah hingga tanah mengembang dan mengurangi daya ikat tanah.
- Berdasarkan analisis Walhi Sumatera Utara, menggunakan data BMKG, landskap Batang Toru merupakan zona sesar Sumatera, sesar Toru (ring of fire), yang rawan gempa dan patahan. Kemudian peta geologi menunjukkan, lokasi proyek pembangunan PLTA Batang Toru, sangat dekat dengan sesar besar Sumatera (great Sumatran fault) yang aktif dan sering bergerak.
- Dalam pelaksanaan pembangunan proyek PLTA Batang Toru ini, beberapa kali jatuh korban jiwa. Longsor berulangkali menewaskan pekerja di lokasi proyek. Setidaknya, pada Desember 2020, satu orang hilang terseret air saat terjadi hujan deras di area proyek. Pada April 2021 longsor terjadi di area proyek dan menewaskan 10 pekerja.Pada 28 Mei 2022, pekerja tewas di area proyek. Terakhir, pada 21 Agustus 2022, longsor menimpa dua pekerja, satu meninggal, satu luka-luka.
Setelah mengantarkan istrinya ke rumah sakit di Medan, sore awal September 2021, Zulfahri Simanjuntak, kembali ke rumahnya di Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tak lama kemudian dia merasakan gerakan tanah di lantai bagian samping kanan rumah. Pria 49 tahun ini pun mengetok lantai berulang kali, dan terdengar kopong. Menjelang malam dia kembali memeriksa bagian belakang rumah itu dan menemukan pondasi bangunan rumah mulai miring ke kiri.
Zulfahri, sehari-hari bekerja di ladang dan sebagai ustadz di desa itu, merasa khawatir tertimpa bangunan rumah kalau tiba-tiba roboh saat terlelap. Dia pun memutuskan tidur di rumah ibunya.
Beberapa barang seperlunya dia pindahkan ke rumah ibunya berjarak hanya tiga meter di sebelah kiri rumahnya.
Bencana itu tak dapat dia lawan. Sore itu, dia melihat rumahnya roboh perlahan dan amblas sekitar dua meter hingga tidak sejajar lagi dengan halaman rumah di tepi jalan lintas itu.
“Rumah saya sudah roboh, sekarang beginilah jadinya, hancur, tidak layak lagi ditinggali,” kata Zulfahri ketika mengajak Mongabay melihat kondisi rumahnya, awal September lalu.
Malam itu dia menumpang di rumah ibunya. Dia tidak bisa memejamkan mata. Sepanjang malam dia suntuk memikirkan rumahnya.
Rumah itu dia bangun bersama istrinya, Afiliani Panjaitan, empat tahun lalu. Ketika membangun rumah itu, supaya kuat, dia pakai besi 12 inci untuk rangka pondasi rumah, dan tiang pondasi masing-masing 30 x 30 cm. Sedikitnya, biaya pembangunan rumah Rp70 juta. Uang tabungan, sebagian bantuan ibunya, dan sebagian lagi pinjaman dari bank untuk bangun rumah.
“Memang yang pinjaman dari bank sudah selesai kami lunasi,” katanya.
Melihat rumah runtuh dan hancur, istrinya yang sudah sakit-sakitan jadi stres. Kondisi kesehatan memburuk. Beberapa hari kemudian dia dilarikan ke RSU Adam Malik, Medan, sebulan kemudian meninggal dunia.
Baca juga: PLTA Batang Toru, Malapetaka bagi Kera Terlangka di Dunia
Sudah hampir satu tahun dia tidak lagi menempati rumahnya. Karena tidak punya rumah lagi, dia menumpang di rumah ibunya. Rumah itu dia biarkan begitu saja karena belum punya uang untuk memperbaiki.
“Dulu, mau bangun rumah ini susah payah cari uangnya, sekarang setelah roboh, belum ada uang untuk menggantinya,” katanya.
Tak jauh dari rumah Zulfahri, atau hanya berjarak satu kilometer itu lokasi pembangunan pembangkit tenaga air, PLTA Batang Toru, dengan pengelola PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).
Selain nrumah Zulfahri, sedikitnya ada empat rumah sudah jebol. Mereka menduga, kerusakan atau rumah roboh ini dampak dari peledakan tanah untuk proyek PLTA ini.
Rumah ibu Zulfahri, Nur Asima, juga rusak dan rawan roboh. Kamar sudah jebol karena lantai amblas, juga bagian dapur sudah roboh. Pondasi rumah itu kini ditopang menggunakan pecahan beton dan kayu agar tetap bisa berdiri.
“Padahal, sudah lebih dari 25 tahun ibu tinggal di sini, tidak pernah terjadi seperti ini sebelumnya, sejak ada PLTA ini baru mulai roboh,” kata perempuan 74 tahun ini. Dia menunjukkan bagian-bagian rumah yang jebol, seperti kamar tidur, ruang tengah dan dapur.
Baca juga: Jangan Ada Lagi, Izin Perusahaan yang Mengancam Habitat Orangutan Tapanuli
Warga lain, Nurjannah, juga mengatakan, sudah tinggal di sana lebih 30 tahun tak pernah mengalami kerusakan rumah seperti ini. Baru dalam dua tahun belakangan ini rumah rusak.
Dia menunjukkan lantai kamar rumah sudah roboh dan terpaksa ditopang tiang. Kondisi darurat, sewaktu-waktu bisa runtuh. Karena tidak ada pilihan, kamar itu masih digunakan anaknya.
Kondisi dapur rumah juga mulai runtuh. Dia khawatir suatu saat akan roboh juga.
Perempuan 53 tahun ini menduga rumah rusak dan turun sejak proyek PLTA mulai jalan.
“Sejak ada PLTA ini mulailah sering terjadi getaran karena ledakan [di proyek PLTA] itu,” katanya.
Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru
Longsor di lokasi proyek Batang Toru, Februari 2021.
***
PLTA Batang Toru dibangun secara konsorsium antara NSHE dengan anak perusahaan PT PLN, PT Pembangkit Jawa Bali, di areal seluas 6.598,35 hektar. Ia berada di sekitar landskap Batang Toru, meliputi tiga kecamatan: Sipirok, Marancar dan Batang Toru (Simarboru).
Adapun kepemilihan saham NSHE sebesar 52,82% dari PT Dharma Hydro Nusantara, sekitar 25% PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% Fareast Green Energy Pte Ltd.
Dalam dokumen NSHE dari Direktorat Jenderal AHU, Kementerian Hukum dan HAM, per 10 November lalu, saham mayoritas tetap sama di tangan Dharma Hydro tetapi komisaris utama Zhang Kaihong, warga Tiongkok.
Dalam laporan tahunan 2021, SDIC Power Holdings. Ltd, perusahaan negara Tiongkok, menguasai kepemilikan saham di pembangkit air di Batang Toru ini. Dalam data Ditjen AHU, yang menyebutkan kalau Zhang Kaihong sebagai komosioner utama PT Dharma Hydro, juga merupakan Wakil Presiden SDIC Power Holdings. Ltd.
Batang Toru, sesuai Perda No. 2/2017 tentang Tata Ruang Wilayah tahun 2017-2037, Pasal 49 ayat 2 sebagai wilayah prioritas dan kawasan strategis provinsi.
Kawasan seluas 240.985,21 hektar ini terbagi atas kawasan inti terdiri dari kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi (suaka alam) seluas 147.771,82 hektar. Kemudian, kawasan penyangga berupa areal penggunaan lain, hutan produksi dan huta produksi terbatas) seluas 94.213,39 hektar.
Namun, sesuai kajian geologi, landskap Batang Toru yang membentang di tiga kabupaten, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah ini para ahli menyatakan sebagai kawasan labil, rawan patahan dan longsor dengan intensitas gempa tinggi.
Berdasarkan analisis Walhi Sumatera Utara, menggunakan data BMKG, landskap Batang Toru merupakan zona sesar Sumatera, sesar Toru (ring of fire), yang rawan gempa dan patahan.
Sepanjang 2000-an, saja terjadi peristiwa 15 gempa bumi besar (magnitudo> 7) di dalam dan sekitar pulau Sumatera. Indikator lain, ‘gempa bumi Tapanuli’ berkekuatan 7,5 – 7,7 skala Richter pada 1892 yang melanda segmen angkola di zona sesar Sumatera.
Kemudian peta geologi menunjukkan, lokasi proyek pembangunan PLTA Batang Toru, sangat dekat dengan sesar besar Sumatera (great Sumatran fault) yang aktif dan sering bergerak.
Baca juga: KTT Keragaman Jayati: Jaga Batang Toru, Lindungi Habitat Terakhir Orangutan Tapanuli
Atas dasar temuan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) NSHE terkait mitigasi bencana dalam pembangunan PLTA Batang Toru itulah Walho Sumut, pada 8 Agustus 2018 menggugat Gubernur Sumatera Utara ke PTUN Medan. Setelah 18 kali sidang, gugatan itu ditolak pada Maret 2019.
Kasasi ke Mahkamah Agung juga kalah. Salah seorang pengacara Walhi Sumut, Golfried Siregar tewas pada Oktober 2019, diduga akibat kecelakaan.
NSHE melanjutkan pembangunan PLTA. Di tengah proses itu, bencana longsor berulangkali menewaskan pekerja di lokasi proyek. Setidaknya, pada Desember 2020, satu orang hilang terseret air saat terjadi hujan deras di area proyek. Pada April 2021 longsor terjadi di area proyek dan menewaskan 10 pekerja.
Pada 28 Mei 2022, pekerja tewas di area proyek. Terakhir, pada 21 Agustus 2022, longsor menimpa dua pekerja, satu meninggal, satu luka-luka.
Saat Mongabay lokasi pembangunan PLTA Batang Toru, September lalu, aktivitas pembangunan infrastruktur, seperti terowongan, quarry (penggalian untuk material beton) sedang berjalan. Menurut sejumlah sumber yang diwawancarai Mongabay, intensitas ledakan mengindikasikan aktivitas pembukaan terowongan dan pembukaan lahan untuk bendungan masih berlangsung, bahkan dipercepat.
Saat ini, pengerjaan proyek ditambah menjadi tiga shif, dari sebelumnya dua shift. Satu shif tambahan khusus untuk proyek pembangunan terowongan dan pematangan lahan bendungan pada malam hingga pagi hari.
Untuk pelaksana proyek NSHE menggandeng BUMN konstruksi Tiongkok, Sinohydro, yang kemudian menggandeng BUMN Indonesia, PT Dahana (Persero) untuk membuka jalur terowongan sepanjang 12,5 km dari Desa Sipirok hingga Desa Marancar.
Terowongan itu bakal jadi jalur air yang ditarik dari Sungai Batang Toru dan dialihkan untuk memutar turbin menghasilkan energi listrik berkapasitas 4×127,5 MW, atau sama dengan 510 MW.
Aktivitas peledakan membuka areal makin sering dilakukan belakangan ini, sedikitnya tiga kali dalam sehari: pagi, siang, dan malam, dengan rentang waktu per minggu dan bulan, diduga memicu pergerakan tanah.
“Waktu pemboman tahun 2018 itu yang paling parah,” kata Zulfahri.
Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga
Saat Mongabay memasuki area proyek itu awal September lalu, pengeboman terjadi menjelang siang. Suara ledakan terdengar hingga seluruh desa.
Teuku Abdullah Sanny, ahli geologi dan geofisika Institut Teknologi Bandung, mengemukakan, Tapanuli Selatan merupakan kawasan sesar gempa yang berisiko terjadi patahan. Teuku pernah jadi ahli yang dihadirkan pada Januari 2019 ketika Walhi Sumut menggugat gubernur soal Andal PLTA di PTUN Medan.
Pembukaan kawasan hutan di wilayah itu, katanya, akan membuat daya ikat tanah berkurang dan berpotensi menyebabkan gerakan tanah (tanah mengembang).
“Begitu lahan dibuka, di mana pohon ditebang dan dirobohkan, tanah langsung bersentuhan dengan udara. [Bila] hujan, air akan terserap ke dalam tanah akibatnya tanah mengembang, akibatnya mengurangi daya ikat tanah,” katanya.
Mongabay berupaya mengkonfirmasi NSHE SEJAK akhir September 2022 seputar pembangunan proyek pembangkit listrik Batang Toru dan kerusakan rumah-rumah warga sekitar.
Mongabay mengontak orang perusahaan yang kemudian memberi email perusahaan. Mongabay diminta mengirimkan surat permohonan wawancara dan konfirmasi ke email itu.
Pada 3 Oktober, Mongabay mengirimkan surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan ke email perusahaan namun, sampai liputan ini terbit, NSHE tidak memberiksan balasan.
“Seharusnya Andal (analisis dampak lingkungan) itu benar-benar diterapkan. Perusahaan seharusnya membuat roadmap (peta jalan) mitigasi dan adaptasi kebencanaan. Bila terjadi bencana ada tindakan atau penanganan. Ada yang bertanggung jawab,” kata Khairul Bukhari dari Walhi Sumut. Kondisi yang terjadi sekarang, katanya, seakan ingin mengusir halus masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.
Baca juga: Janji Kerja di Proyek PLTA BAtang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter
Mana pemerintah? Perlu mitigasi segera
Menurut Hendra Hasibuan, Ketua DPD Serikat Hijau Indonesia, Tapanuli Selatan, masyarakat yang tinggal berdekatan dengan lokasi proyek PLTA semestinya tak jadi korban atas kehadiran proyek. Dia bilang, harus ada mitigasi bencana.
“Karena lama-lama khawatir kalau dibiarkan, tidak ada mitigasi kebencanaan ekstrem, ini nyawa yang hilang.”
Dia meminta, pemerintah daerah tak diam dan perlu respon cepat terhadap perusahaan agar sama-sama merespon mitigasi bencana.
“Sekarang perusahaan seolah-olah tidak mau tahu, pemerintah juga tidak ada respon. Sementara berharap ada kepedulian dari kedua yang dianggap berkompeten akan bencana yang dialaminya,” katanya.
Zulfahri sudah pernah menanyakan soal dampak aktivitas ledakan itu melalui musyawarah desa yang dihadiri perusahaan. Saat itu, dia tidak mendapatkan jawaban pasti.
“Katanya itu semua sudah diatur di Amdal, di sana disebutkan mitigasi bencana.”
Pada awal aktivitas pembukaan terowongan, kata Zul Fahri, perusahaan membunyikan sirene sebagai peringatan waspada kepada warga.
“Hanya di awal-awal saja, setelah itu tidak pernah lagi,” katanya.
Zulfahri, ibunya dan warga yang lain setiap hari hidup was-was di rumah mereka yang berdekatan dengan proyek pembangkit listrik tenaga air itu. Mereka khawatir, tiba-tiba rumah roboh tanpa sempat menyelamatkan diri.
“Ya sekarang kami khawatir tinggal di sini, takut sewaktu-waktu rumah roboh saat kami tidur,” katanya.
Baca lagi:
Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga
Janji Kerja di Proyek PLTA BAtang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter
******