- Greenpeace Indonesia dan RDI dalam laporan risetnya mengatakan target emisi bersih dari sektor transportasi di Jakarta dapat tercapai bila masyarakatnya menggunakan moda transportasi publik-massal dan total energi terbarukan
- RDI memaparkan empat skenario transportasi yang paling ramah lingkungan di Jakarta, yaitu skenario tanpa intervensi, skenario intervensi program kebijakan pemerintah dan perubahan perilaku masyarakat, skenario elektrifikasi dan penggunaan energi terbarukan dan skenario ambisius dan progresif menuju bebas emisi
- Pemerintah DKI Jakarta membuat berbagai kebijakan menekan emisi di sektor transportasi, seperti perubahan perspektif dari pembangunan infrastruktur penunjang transportasi kepada membatasi pergerakan warganya atau Transit Oriented Development (TOD).
- Bappenas melihat pendekatan TOD perlu mempertimbangkan sejumlah indikator seperti rencana tata ruang DKI dengan menerapkan prinsip Kota Kompak (Compact City) yaitu kota yang mempertimbangkan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi warganya.
Greenpeace Indonesia dan Resilience Development Initiative (RDI) merilis laporan berjudul “Transformasi Transportasi Jakarta: Mengkaji Ulang Target Emisi Nol Sektor Transportasi Tahun 2050” di Goethe Institute, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Mereka menyimpulkan, target Net Zero Emissions dari sektor transportasi dapat tercapai bila semua pelaku transportasi di DKI Jakarta menggunakan moda transportasi publik-massal. Serta, memanfaatkan 100% energi terbarukan.
Elisabeth Rianawati, Senior Researceher Fellow RDI mengatakan, terdapat 4 skenario yang telah dieksplorasi untuk menemukan suasana transportasi yang paling ramah lingkungan. Pertama, skenario tanpa intervensi atau business as usual. Skenario ini disebut akan menghasilkan emisi dua kali lipat dari emisi saat ini, dengan kontribusi terbesar dari mobil dan sepeda motor yang masing-masing di kisaran 36% dan 47%.
“Kalau berdasarkan skenario business as usual, pada tahun 2020 emisi di DKI Jakarta sebesar 22 juta ton CO2e. Bayangkan kalau nanti, tahun 2050, meledak ke 46 juta ton CO2e. Sekarang saja sudah pengap,” terang Elisabeth.
Greenpeace Indonesia dan RDI menilai, selain berdampak buruk bagi kesehatan, emisi juga dapat memperparah krisis iklim. Contohnya, kenaikan suhu rata-rata tahunan Jakarta yang mencapai 1,6 derajat Celcius.
Tingkat emisi di DKI Jakarta makin diperparah dengan meningkatnya jumlah kendaraan dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya diperkirakan mencapai 20,2 juta unit, terdiri dari 3,3 juta mobil dan 16,1 juta sepeda motor, angka yang setara 2 kali lipat jumlah penduduk DKI Jakarta.
Dengan persentase kenaikan kendaraan sepeda motor mencapai 4,9% dan mobil penumpang mencapai 7,01%, pada tahun 2035 jumlahnya diestimasi mencapai 52,7 juta kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
baca : Elektrifikasi Kendaraan, Cara Efektif Kendalikan Pencemaran Udara di Jakarta
Kedua, skenario intervensi program kebijakan pemerintah dan perubahan perilaku masyarakat. Skenario ini dibuat berdasarkan kebijakan dan target-target yang ditetapkan baik oleh pemerintah provinsi maupun nasional. Penerapan skenario ini diperkirakan dapat berkontribusi mengurangi emisi sebesar 4,5 juta ton CO2e dibandingkan emisi pada tahun 2020.
Seturut skenario tersebut, turunnya emisi didukung faktor-faktor seperti peningkatan teknologi, perubahan perilaku masyarakat ke transportasi publik yang lebih banyak, serta peningkatan aktivitas jalan kaki atau bersepeda untuk jarak dekat. Pengurangan emisi juga dicapai melalui transisi energi terbarukan pada penggunaan kendaraan listrik sesuai target bauran energi di tahun 2030.
Ketiga, elektrifikasi dan penggunaan energi terbarukan. Skenario ini menggunakan angka pengurangan kendaraan pribadi dan penambahan transportasi publik sebesar 1,8-2juta penumpang per harinya, dengan bauran energi terbarukan sebesar 31%. Kemudian, elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050 diharapkan telah mencapai atau mendekati 100%. Hasilnya, elektrifikasi dan penggunaan energi terbarukan akan mengurangi emisi sebesar 10 juta ton CO2e dibandingkan dengan emisi tahun 2020.
Keempat, skenario menuju bebas emisi (net zero emissions), menggunakan asumsi yang lebih ambisius dan progresif dengan tujuan untuk mengurangi emisi sekecil-kecilnya atau mendekati nol. Skenario ini dapat tercapai melalui transformasi perilaku masyarakat yang massif dengan pengurangan jumlah mobil sebesar 2,5 juta unit dan sepeda motor 12,5 juta unit di tahun 2050.
“Meski begitu, skenario ini menunjukkan masih terdapat emisi sebesar 2,6 juta ton CO2e, yang berasal dari pembangkit listrik untuk operasional kendaraan,” masih dikatakan Elisabeth Rianawati.
Skenario-skenario itu menunjukkan, rencana DKI Jakarta untuk memiliki transportasi nol emisi pada tahun 2050 tidak dapat dicapai, bahkan dengan rangkaian kebijakan dan program yang ada. Apalagi, studi Greenpeace Indonesia dan RDI belum mempertimbangkan emisi yang dihasilkan dari pembuatan dan pembangunan infrastruktur transportasi.
baca juga : Diklaim Membaik, Ini Langkah Pengendalian Polusi Udara di Jakarta
Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia mengatakan, net zero emission di sektor transportasi tidak mungkin tercapai hanya dengan mengganti 20 juta kendaraan berbahan bakar minyak menjadi 20 juta kendaraan listrik. Menurutnya, perubahan paling mendasar harus mengutamakan penggunaan dan dominasi transportasi publik-massal berbasis listrik.
Kemudian, pada sektor pembangkitan untuk melistriki transportasi, pihaknya mendorong akselerasi energi terbarukan dengan konsep desentralisasi. Misalnya, rumah-rumah dapat menggunakan pembangkit listrik tenaga matahari sebagai pengisi daya kendaraan pribadi. Pada skala yang lebih luas, untuk mendukung transportasi publik-massal berbasis listrik, pembangkit yang bersumber dari energi terbarukan harus dibangun secara massif juga.
“Jadi seperti yang dikemukakan dalam laporan ini, seperti pada skenario empat, seharusnya pembangkit-pembangkit listrik tenaga batu bara itu harus diganti dengan yang renewable energy,” kata Leonard kepada Mongabay Indonesia.
Transit Oriented Development
Pemerintah DKI Jakarta juga telah memiliki pendekatan untuk menekan emisi di sektor transportasi. Caranya, dengan mengubah perspektif dari pembangunan infrastruktur penunjang transportasi kepada membatasi pergerakan. Pendekatan ini dikenal dengan nama Transit Oriented Development (TOD).
Yayat Sudrajat, Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengatakan, pendekatan TOD diterapkan melalui sejumlah prioritas seperti mengedepankan pejalan kaki, angkutan umum, kendaraan ramah lingkungan, serta membatasi pergerakan kendaraan pribadi.
baca juga : Polusi Udara Jakarta Parah, Desak Pemerintah Serius Atasi Pencemaran
Dalam sektor transportasi publik, Pemerintah DKI Jakarta juga berupaya memadukan sarana prasarana serta tarif angkutan. Kata Yayat, hanya dengan Rp10 ribu masyarakat sudah dapat menggunakan moda transportasi yang dinilai lebih murah ketimbang biaya operasional kendaraan pribadi.
“Saya kira apa yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta dapat menjawab. Tapi perlu dikaji lagi, karena setelah BBM naik, banyak yang beralih ke mikro trans. Mudah-mudahan di tahun depan, 2023, target 1,5 juta penumpang transjakarta bisa tercapai,” ujarnya pada acara yang sama.
Pembatasan itu akan tetap berlaku bahkan ketika program kendaraan listrik telah diterapkan secara massif. Sebab tanpa pembatasan pergerakan, transisi ke kendaraan listrik hanya akan mengurangi emisi tanpa menyelesaikan masalah kemacetan di DKI Jakarta. Di samping itu, sistem transportasi yang terintegrasi dipercaya akan membuat masyarakat memilih menggunakan transportasi publik ketimbang kendaraan pribadi.
“Saya yakin walaupun beralih ke kendaraan listrik, publik transport jadi yang utama. Karena biaya transportasi pribadinya jauh lebih tinggi,” tambah Yayat.
Oswar Mungkasa, Perencana Ahli Utama Bappenas menjelaskan, pendekatan TOD perlu mempertimbangkan sejumlah indikator. Pertama, rencana tata ruang DKI perlu menerapkan prinsip Kota Kompak (Compact City) atau kota yang mempertimbangkan kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi warganya.
“Jadi bagaimana kita mengurangi pergerakan. Semuanya ada di situ, dan dalam jarak 500 meter. Orang bisa jalan kaki, naik sepeda. Kalaupun ada pergerakan naik trans jakarta, transportasi publik,” ujarnya.
baca juga : Menyoal Transisi Energi Sektor Transportasi
Selain itu, perlu pendekatan kewilayahan. Menurutnya, masalah di Jakarta tidak bisa diselesaikan jika tidak menggunakan pendekatan metropolitan. Sebab, sebanyak 1,7 juta orang tiap harinya datang ke Ibu Kota negara ini. Karena itu, DKI Jakarta perlu berkolaborasi dengan Kabupaten atau Kota di sekitarnya.
“Pengalaman menunjukkan Singapura DAN kota-kota di Eropa berhasil menjadikan kotanya ramah pesepeda karena kolaborasi. Setiap pihak berperan sebagai champion untuk memajukan kotanya,” kata Oswar.
Dalam urusan transportasi, Oswar mendukung Pemda DKI Jakarta untuk memperkuat sektor transportasi publik dengan kolaborasi dan kerja sama. Contohnya, antara PT KAI, Trans Jakara dan MRT.
“Saya ingin lebih efisien, efektif, melalui grand design penyelesaian transportasi di Jakarta. Tapi saya mendorong penyelesaian jakarta itu secara metropolitan,” tutup Oswar.