- Produksi perikanan budi daya masih sangat bergantung pada kondisi sekitar tempat lokasi tambak berada. Ketergantungan itu, membuat produksi menjadi rentan terhadap segala ancaman dari lingkungan, termasuk hama dan penyakit ikan
- Untuk mencegah hama dan penyakit masuk dan menyerang komoditas perikanan budi daya di Indonesia, maka diperlukan penerapan mitigasi yang tepat dan efisien pada produksi tambak. Tujuannya, agar tercapai produksi berkualitas dengan menjaga kesehatan komoditas
- Salah satu penyakit yang bisa mengancam produksi, adalah virus acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) yang pernah menyerang sejumlah negara pada periode 2011 hingga 2016. Jika tidak diantisipasi dari awal, AHPND bisa merusak dan menghancurkan produksi komoditas budi daya
- Upaya untuk menerapkan mitigasi, di antaranya dengan memberlakukan quality assurance (QA) pada setiap proses produksi. Tujuannya, untuk memastikan kalau kegiatan budi daya sudah menerapkan biosecurity, memenuhi persyaratan mutu, dan bebas penyakit
Hama dan penyakit ikan masih menjadi sesuatu yang ditakuti pada industri perikanan budi daya di seluruh dunia. Jika kedua ancaman itu muncul, maka potensi terjadinya kerusakan produksi perikanan budi daya akan sangat mungkin terjadi.
Hal itu sudah dialami banyak negara di dunia, seperti Thailand, Brazil, Tiongkok, Malaysia, Meksiko, dan Vietnam. Akibat hama dan penyakit ikan yang melanda negara-negara tersebut, kerugian tidak sedikit harus ditanggung para pembudi daya ikan di sana.
Tanpa ada antisipasi yang baik, hama dan penyakit ikan bisa mengancam keberlangsungan produksi perikanan budi daya di Indonesia. Itu diungkapkan Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP) Pamuji Lestari.
Agar hama dan penyakit ikan bisa diantisipasi, pembudi daya ikan perlu untuk melaksanakan mitigasi, khususnya pada komoditas-komoditas prioritas seperti udang, rumput laut, dan lainnya. Upaya tersebut diyakini akan bisa mencegah munculnya dua hal yang sangat ditakutkan itu.
Dia mengatakan, upaya yang paling penting dalam mencegah munculnya hama dan penyakit ikan, adalah dengan melaksanakan quality assurance (QA) untuk menjamin produksi tetap sesuai yang diharapkan dengan kualitas yang terjaga baik.
QA sendiri tidak lain adalah serangkaian proses untuk menentukan produk dan perikanan sesuai dengan norma, standar prosedur dan kriteria (NSPK). Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk menjamin kesehatan dan kualitas produk perikanan.
baca : Catatan Akhir Tahun : Biosekuriti, Kunci Menjaga Lalu lintas Perikanan
Belum lama, dia juga mengatakan bahwa penerapan sistem informasi QA (SIQA) menjadi bukti bahwa pihaknya tidak main-main dalam mendukung keberhasilan program kerja secara nasional. Utamanya, untuk mendorong produksi dan kinerja ekspor.
“Transformasi layanan berbasis digital menjadi kunci pelayanan publik. Semua harus bisa berinovasi dan beradaptasi di era perdagangan global sekarang,” ucap dia.
Salah satu platform layanan digital yang sudah berjalan saat ini dan diharapkan bisa menjadi sumber pertukaran informasi antara pembudi daya ikan dengan para ahli, adalah Sistem Informasi Terintegrasi Karantina Ikan Online (Sisterkaroline).
Penerapan QA sendiri dilakukan sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.10/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan, dan Permen KP No.19/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Selain pada lingkup perikanan budi daya, kegiatan QA juga dilaksanakan pada proses verifikasi penerapan standar pembenihan ikan yang baik, standar pembesaran ikan yang baik, dan cara pembuatan pakan ikan yang baik.
Penerapan QA sebagai bagian dari mitigasi hama dan penyakit ikan, menjadi langkah yang penting. Mengingat, penyakit ikan sudah menyerang dunia sebelumnya dan berdampak besar pada penurunan laju pertumbuhan produksi.
Contoh itu terjadi pada 2006, di mana saat itu seluruh dunia diserang penyakit ikan pada udang. Serangan tersebut memicu kerugian besar di sejumlah negara produsen, seperti Brazil yang harus menelan kerugian hingga USD1 miliar.
Kemudian, ada lagi virus acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) yang menyerang sejumlah negara pada periode 2011 hingga 2016. Dua negara di antaranya, yakni Malaysia dan Thailand juga harus menerima kenyataan pahit menelan kerugian sangat besar.
Malaysia menderita kerugian hingga USD100 juta pada 2011, dan Thailand sebesar USD7,4 miliar sepanjang 2011 hingga 2016. Lalu, ada juga total nilai kerugian sebesar USD23,6 miliar yang dialami Tiongkok, Meksiko, dan Vietnam pada kurun waktu 2010-2016. Semuanya karena AHPND.
“Belum lagi ditambah kerugian ekspor USD4,2 miliar yang dialami Thailand, dan kerugian penjualan pakan sebesar USD7 miliar di Tiongkok, Malaysia, Meksiko, dan Vietnam dari Maret 2022 hingga Desember 2003,” papar Pamuji.
Kerugian pakan itu terjadi saat virus kooi herpes sedang merebak di seluruh dunia. Saat itu, virus tersebut mengakibatkan kerugian hingga mencapai USD15 juta. Pamuji Lestari melihat kondisi tersebut sebagai peringatan dan pembelajaran tentang pentingnya menerapkan QA.
Penjaminan Mutu
Kepala Pusat Karantina Ikan BKIPM KKP Riza Priyatna pada kesempatan sebelumnya sudah menjelaskan bahwa kegiatan QA dilakukan oleh pihaknya dengan fokus untuk melaksanakan sertifikasi ikan dan hasil perikanan.
Tujuannya, untuk memastikan kalau kegiatan budi daya sudah menerapkan biosecurity, memenuhi persyaratan mutu, dan bebas penyakit. Kemudian, melakukan pengawasan lalu lintas komoditas untuk mencegah masuknya penyakit ikan.
“Kita rutin lakukan surveillance hama dan penyakit ikan karantina, serta memiliki early warning system dan emergency response terjadinya penyakit,” papar dia.
baca juga : Penyakit AHPND Masih Mengintai Industri Budi daya Udang Nasional
Diketahui, AHPND adalah penyakit karena infeksi bakteri vibrio parahaemolyticus (Vp AHPND) yang mampu memproduksi toksin dan menyebabkan kematian pada udang dengan mortalitas mencapai 100 persen. Kematian terjadi pada umur kurang dari 40 hari setelah ditebar di tambak.
Penyakit tersebut pertama kali muncul di Tiongkok pada 2009 dan dikenal dengan sebutan covert mortality disease. Setelah Tiongkok, AHPND dilaporkan menyerang tambak-tambak udang di Vietnam pada 2010, Malaysia pada 2011, Thailand pada 2012, Meksiko 2013, dan Filipina pada 2015.
Secara umum, gejala klinis udang yang terinfeksi AHPND, adalah kematian secara mendadak di dasar tambak pada umur kurang dari 40 hari pasca tebar, seluruh badan udang terlihat pucat, dan saluran pencernaannya kosong.
Kemudian, gejala lainnya adalah organ hepatopankreas udang mengecil dan terlihat pucat saat dibedah. Akan tetapi gejala klinis yang mudah ditemukan di tambak, akan sulit dikenali jika kejadiannya ada di hatchery (pusat pembenihan).
Namun demikian, ciri-cirinya bisa dilihat dari adanya gerakan larva dan postlarva (PL) yang terlihat lemah, hepatopankreas pucat, dan terjadi kematian secara mendadak mulai stadia PL 1 sampai dengan sebelum PL didistribusikan mencapai kurang dari 30 persen.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengingatkan pentingnya QA untuk mendongkrak kinerja ekspor produk perikanan. Untuk itu, dia meminta agar QA bisa dilaksanakan sejak dari hulu hingga ke hilir.
Dia menyebut kalau penerapan QA menjadi bentuk dukungan teknis dalam pelaksanaan lima program prioritas sektor kelautan dan perikanan. Di antaranya, perluasan wilayah konservasi laut dengan target 30 persen dari luas laut NKRI; penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zona; pengembangan budi daya laut, pesisir, dan pedalaman; pengelolaan sampah laut; dan pengelolaan berkelanjutan pesisir dan pulau kecil.
“Karantina adalah soal keamanan dan kedaulatan negara, mencegah penyebaran penyakit,” katanya.