- Petani sawit rakyat di Kecamatan Langgikima, Sulawesi Tenggara punya cerita pahit soal bermitra atau jadi plasma dari perusahaan sawit skala besar di sana. Janji-janji manis hasil menggiurkan, ternyata jauh dari kenyataan.
- La Haruna, Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, mengatakan, masalah utama antara perusahaan dan petani adalah harga jual beli sawit yang fluktuatif.Dinas, katanya, akan berkoordinasi dengan perusahaan dan mendorong kerjasama dengan petani.
- Herman Sewani, Ketua Komisi I DPRD Konawe Utara, menyoroti persoalan yang menimpa petani sawit Langgikima. Perusahaan sawit menggunakan perjanjian dengan petani sebagai alat mengklaim status lahan plasma tetapi pengelolaan hanya sepihak oleh perusahaan.
- Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, para petani plasma seharusnya mendapatkan salinan perjanjian kerja dari perusahaan. Petani plasma, seharusnya bernaung di bawah koperasi. Biasa, salinan kontrak perjanjian kerjasama antara petani dan perusahaan berada di tangan ketua koperasi. Yang kerap jadi masalah , orang perusahaan yang merangkap pengurus koperasi. Di situlah semacam ada kongkalikong. Kadang koperasi bikin-bikinan perusahaan sawit.
Umed dan istri menenteng bekal makan siang potongan semangka menuju kebun sawit di Kecamatan Langgikima, Sulawesi Tenggara, Sulawesi, Oktober lalu. Matahari terik. Kebun ini berbatasan dengan jalan tanah pengerasan perusahaan perkebunan sawit, PT Damai Jaya Lestari (DJL) dan PT Sultra Prima Lestari (SPL).
Umed punya 14 hektar kebun sawit. Seluas enam hektar bermitra plasma dengan DJL, 24 are jadi plasma SPL, sisanya, delapan hektar jadi kebun sawit mandiri.
Sebagai buktinya, dia memperlihatkan slip pembayaran hasil dari kemitraan perusahaan sawit DJL pada periode April-Juni lalu. Di slip itu, Umed hanya menerima untung bersih Rp200.000 dari sekitar Rp600.000 hasil panen panen buah sawit di seluas setengah hektar.
Perusahaan memangkas untung dengan tiga cara, biaya eksploitasi, plasma dan pos utang dengan total Rp400.000.
Dari hasil kerjasama itu, para petani mendapatkan upah bermitra Rp100.000-Rp300.000 per hektar setiap bulan.
“Itu juga (pembayaran) ditunda-tunda, tiap dua bulan. Digantung dua bulan, digantung terus,” kata Umed kesal. Tak ada perubahan harga dari perusahaan meskipun saat harga jual sawit di pasaran sedang meroket.
Umed juga tak pernah menerima salinan kontrak kemitraan dari perusahaan. Dengan SPL pun tak pernah ada nota kesepakatan walau lahan telah diserahkan kepada perusahaan. Umed tak pernah mendapatkan uang bagi hasil keuntungan dari SPL.
Sebelumnya, dia terpaksa menerima tawaran orang-orang suruhan perusahaan yang menamakan tim sembilan mengajak petani masuk mitra plasma. Belum lagi ketika itu beredar rumor kalau sawit Umed akan dicuri kalau tak mau bermitra.
Umed transmigran asal Cianjur, Jawa Barat pada 1997. Saat pindah, bermodalkan beras, bantal, dan alas tidur, saat itu Langgikima masih hutan dengan kayu dikelola PT Intisixta, pemilik izin hak pengusahaan hutan (HPH).
Kayu limbah gelondongan tak layak Umed kumpulkan untuk jadi mebel hingga sukses merintis usaha penjualan furniture maupun peralatan pertukangan kayu. Kesuksesan itu jadikan dia salah satu saudagar terpandang di Langgikima.
Bertahun-tahun kemudian dia bangkrut karena banyak orang tidak mengembalikan piutang. Bahkan pernah kena tipu sampai puluhan juta rupiah. Beruntung dia banyak lahan yang dia beli dari para transmigran untuk kembali ke daerah asal.
Umed masih ingat, pada 2015, pohon-pohon di hutan mulai habis. Dia bersama warga lain beramai-ramai jadi petani sawit. Perusahaan sawit sudah masuk dan buka kebun di Langgikima sejak 2007.
Petani di Langgikima saat itu anggap sawit sebagai ‘simbol perubahan nasib’ di masa mendatang. Orang-orang perusahaan sawit kerap menebar janji-janji manis. Mereka bilang, satu tanaman sawit bisa menyekolahkan anak sampai jenjang perguruan tinggi. “Ternyata apa? (belanja) satu karung beras saja tidak cukup.”
Persoalan plasma tak hanya dialami Umed juga petani yang lain. Alimudin, warga Kelurahan Langgikima memperlihatkan setumpuk dokumen–bukti ketimpangan perjanjian kerjasama kemitraan plasma antara perusahaan sawit dan warga di Langgikima.
Alimudin mantan humas senior SPL yang mengabdi sebagai karyawan tetap selama 10 tahun dan keluar pada 2014. Dia sempat bekerja sebagai pegawai harian di DJL selama beberapa bulan. Dia memilih membela hak petani sawit Langgikima bersama kawan-kawan sekampungnya.
Warga, katanya, telah menempuh berbagai cara dari rapat perwakilan antar pihak, demonstrasi, sampai pertemuan antar pihak di hotel beberapa kali.
“Semua pertemuan itu, hanya bagus di atas kertas, hanya bagus di mulut, hanya bagus dalam pembicaraan. Implementasinya, di lapangan itu yang tidak ada,” katanya berkeluh kesah.
Warga juga sudah melaporkan kasus mereka ke Komnas HAM, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2015.
Alimudin menyerahkan bukti-bukti dokumen sertifikat tanah, model perjanjian, dan kesepakatan kontrak perusahaan dengan warga.
“Polanya (SPL dan DJL) sama walaupun format perjanjian berbeda, tapi praktik sama,” katanya.
Jadi, perusahaan beroperasi hanya pegang izin dari masyarakat yang sudah menyerahkan sertifikat maupun surat keterangan terdaftar (SKT) tanah.
Alimudin bercerita, suatu waktu saat masih menjabat Humas SPL, manajer perusahaan pernah beberapa kali mendatangi dan menjanjikan kenaikan gaji dua kali lipat, dengan catatan masalah sawit jangan memprsoalkan soal plasma. Alimudin menolak dengan alasan tidak tega melihat kondisi masyarakat.
Kami berupaya melakukan konfirmasi pemerintah setempat, namun belum mendapat tanggapan. Kami pun coba hubungi kedua perusahaan untuk konfirmasi, hanya SPL yang memberi keterangan.
Abdul Jihad, Manajer Perkebunan SPL di Langgikima mengatakan, ketidakpastian harga sawit di pasar menjadi sumber masalah utama yang membebani petani sawit. Terlebih, katanya, mereka telah menandatangani kerjasama dengan perusahaan selama satu siklus terhitung selama 30 tahun, sejak pembukaan kebun.
Berbeda dengan pengakuan Umed yang menyatakan tak pernah ada Kerjasama tertulis maupun hasil yang dia rasakan dari sawit plasma.
Selama itu, kata Jihad, berlaku bagi hasil keuntungan penjualan TBS 60% untuk perusahaan dan 40% untuk petani–setelah dikurangi biaya operasional dan lain-lain. “Setelah itu kebun sawit akan dikembalikan ke pemilik lahan atau kita mau lanjut meremajakan perkebunan atau setop,” katanya. Namun dia menolak memberi keterangan lain terkait praktik plasma SPL.
La Haruna, Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi Tenggara, mengatakan, masalah utama antara perusahaan dan petani adalah harga jual beli sawit yang fluktuatif.
Dinas, katanya, akan berkoordinasi dengan perusahaan dan mendorong kerjasama dengan petani. “Kita berharap, pemerintah memberi perhatian khusus ke sawit,” kata Haruna.
Mafia plasma?
Herman Sewani, Ketua Komisi I DPRD Konawe Utara, menyoroti persoalan yang menimpa petani sawit Langgikima. Dia bilang, perusahaan sawit menggunakan perjanjian dengan petani sebagai alat mengklaim status lahan plasma tetapi pengelolaan hanya sepihak oleh perusahaan.
“Mafia plasma ini,” katanya menuding DJL dan SPL tidak menerapkan peraturan Menteri Pertanian terkait plasma. Di mana, perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 20% dari luas perkebunan sawit perusahaan. Dalam praktik, katanya, perusahaan, hanya memanfaatkan nota perjanjian dengan petani sebagai alat (legal standing) atas nama plasma.
Dalam beberapa kali rapat dengar pendapat (RDP) DPRD Konawe, kedua perusahaan bersangkutan tak pernah menunjukkan izin budidaya atau berkebun di Langgikima. “Kita sudah bongkar juga semua, tidak ada izin,” ujar Herman.
Herman bilang, Bupati Konawe, Ruksamin yang tengah menjabat punya agenda dalam 100 hari pertama bekerja antara lain program ‘renegosiasi’ perjanjian bagi hasil di perkebunan sawit antara DJL dan SPL.
Dalam beberapa kali pertemuan antara perwakilan perusahaan dengan pemerintah, renegosiasi mandek. “Bupati marah-marah, gebrak meja apa semua,” kata Herman seraya bilang, dalam pertemuan perusahaan mengutus orang yang tidak berkompeten untuk mengambil keputusan.
Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, para petani plasma seharusnya mendapatkan salinan perjanjian kerja dari perusahaan. Petani plasma, seharusnya bernaung di bawah koperasi. Biasa, salinan kontrak perjanjian kerjasama antara petani dan perusahaan berada di tangan ketua koperasi. Yang kerap jadi masalah , katanya, orang perusahaan yang merangkap pengurus koperasi.
“Di situlah semacam ada kongkalikong. Kadang koperasi bikin-bikinan perusahaan sawit,” Rambo.
Untuk itu, katanya, harus ada perjanjian atau kerjasama antara perusahaan dengan koperasi sebagai landasar surat perintah kerja (SPK) untuk dasar perusahaan membangun plasma petani, termasuk besaran dan kualitas.
Idealnya, biasa petani diwakili koperasi untuk menandatangani akad kredit di hadapan saksi. “Selain dari bank yang bertanda tangan, juga perusahaan sawit.”
Berbagai pelanggaran
Dalam laporan riset bertajuk “Ketidakadilan Perusahaan Perkebunan Sawit PT Damai Jaya Lestari (DJL) di Langgikima Konawe Utara yang diterbitkan Walhi Sulawesi Tenggara” menyebutkan masyarakat mengikuti program transmigrasi dan eksodus demi meningkatkan kesejahteraan, dengan pembagian tanah untuk tempat tinggal dan perkebunan. Namun, tidak jarang mereka terpaksa menyerahkan lahan ke korporasi dan kembali terjerat kemiskinan baru.
Pada riset yang berlangsung Oktober 2019-Maret 2020 itu Walhi menemukan, DJL telah memberlakukan perjanjian kemitraan sepihak terhadap petani sawit, menjalankan usaha tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan tak memiliki izin usaha perkebunan budidaya.
DJL dilaporkan hanya memiliki izin perkebunan yang terbit pada 2004 oleh Bupati Konawe–yang ketika itu Langgikima masih berada di Kabupaten Konawe–, belum pemekaran wilayah jadi Kabupaten Konawe Utara.
“Miris juga kalau kita bicarakan soal sawit,” kata Zulfikar, Pakar Pertanian Universitas Halu Oleo, yang meneliti produktivitas perkebunan sawit di Konawe Utara pada 2020.
Dalam penelitian dia dan kawan-kawan, kondisi iklim di Konawe Utara cukup cocok untuk budidaya sawit. Pada 2004, ada tiga perusahaan yaitu DJL, SPL, PT Perkebunan Nusantara XIV membuka perkebunan sawit tersebar di tujuh kecamatan dengan seluas 15.000 hektar.
Perkebunan berpola kemitraan dengan petani sawit lokal. Model kemitraan perkebunan sawit di Konawe Utara, katanya, belum memberikan kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat terutama karena produktivitas sawit masih sangat rendah.
Penelitian yang menggunakan metode survei dan wawancara ini menemukan ada warga serahkan lahan kepada perusahaan bertahun-tahun. Kini, mereka tidak tahu di bagian mana lahan mereka. Beberapa juga di pekerjaan oleh perusahaan sawit di lahan mereka sendiri.
Zulfikar melihat permasalahan utama adalah ‘harga sawit yang murah’. Selain itu, lahan pembagian dari pemerintah kepada transmigran sempit hingga menyumbangkan bagi hasil penjualan sedikit. Beda dengan mereka yang mempunyai lahan luas berpeluang dapatkan pembagian untung besar.
***
Umed masih bisa mengelola kebun sawit mandiri seluas delapan hektar. Pada 2021, kebun sawitnya panen perdana dan mendapatkan hasil lumayan sekitar Rp16 juta. Hasil panen dia jual langsung ke pengepul lokal atau perusahaan sawit.
Di kebun sawit warga, ada pemandangan beda dengan kebun sawit di daerah lain. Tanaman sawit warga termasuk punya Umed di Langgikima ini tertutup debu kemerah-merahan. Itu debu dari operasi tambang perusahaan nikel.
Umed terusik dengan kehadiran pengeboran tambang nikel berjarak sekitar 200 meter di belakang rumahnya. Bagaimana nasib petani plasma di Langgikima ini ke depan?
***
*Tulisan Riza Salman dan Sadli Soleh ini berkolaborasi dengan Bentaratimur.id, atas dukungan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.