- Keanekaragaman hayati (kehati) belum menjadi isu utama di Indonesia meski telah dinyatakan dalam RPJPN pertama sebagai modal dasar pembangunan.
- Kehati di Indonesia menghadapi berbagai tantangan mulai dari kerusakan ekosistem hingga kepunahan spesies, yang kemudian terkait dengan apa yang sudah diproyeksi secara global dan nasional.
- Indonesia kaya akan kehati, namun kurang terkelola karena justru keberadaannya yang melimpah.
- Hal yang masih kurang dalam pengarusutamaan kehati Indonesia adalah penggunaan sains untuk kebijakan atau science to policy.
Setiap negara memiliki modal dasar dan strategi pembangunan masing-masing. Sebagai negara yang berlimpah dengan berbagai jenis keanekaragaman hayati (biodiversity, kehati) spesies fauna flora, Indonesia harusnya bisa memanfaatkannya. Namun, -yang terjadi malah sebaliknya, kehati Indonesia semakin tergerus, terancam atau dimanfaatkan negara lain.
Hal ini terangkum dalam pemaparan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas, secara luring dan daring.
“Isu kehati seringkali dilupakan kalah dengan isu yang gede-gede seperti climate changes. Dibanding isu lain, kehati jarang diangkat, tenggelam,” ungkap Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas (26/01/2023).
Bappenas sendiri sebutnya, akan tetap menempatkan kehati sebagai modal dasar pembangunan yang dikedepankan dalam RPJPN mendatang.

Baca juga: Keragaman Tanaman Pangan Makin Terancam
Data The International Union for Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan adanya tren jumlah ancaman kepunahan berbagai spesies di tingkat global, termasuk Indonesia.
“Trend spesies mengkhawatirkan, banyak yang pelan-pelan punah. Serangga penyerbuk (polinator) makin makin berkurang. Juga kerusakan ekosistem. Habitat spesies kunci seperti orangutan, gajah, harimau berkurang. Apa mau begini terus ceritanya, bagaimana agar ini bisa didorong supaya tidak tambah rusak?” paparnya.
Medrilzam pun menyoroti adanya spesies asing invasif (invasive alien species) dari luar Indonesia yang kemudian merusak ekosistem asli. Spesies ini pada akhirnya dapat mengganggu ekonomi dan keseimbangan alam, yang bisa berdampak pada pembangunan nasional.
“Contohnya eceng gondok menyebabkan ketersediaan dan kualitas air terganggu. Contoh lain ikan gurame yang bukan endemik Indonesia, di dalam perairan darat ia akan jadi predator tertinggi.”
Paradigma ini yang Bappenas ingin benahi. Jadi tidak hanya sekedar bicara kepunahan spesies dan konservasi, namun menempatkan kehati sebagai instrumen caring capacity yang terhubung ke isu-isu ekonomi.

Baca juga: Menjaga Keragaman Hayati Indonesia di Taman Kehati
Penggunaan sains dalam kebijakan kehati
Jatna Supriatna, ahli konservasi dari Universitas Indonesia menyatakan Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, namun kurang terkelola.
Dia mencontohkan tanaman pisang. Indonesia adalah negara dengan kehati tertinggi di dunia, namun pisang justru lebih banyak dikembangkan oleh negara-negara lain seperti Filipina, bahkan sekarang Australia.
“Kenapa demikian, karena kita tidak punya perkebunan pisang. Di bagian utara Australia itu terdapat perkebunan pisang ribuan hektar,” jelas Jatna. “Di Indonesia, kita memiliki segala jenis pisang, tetapi yang kita makan hanya pisang yang dibudidayakan dari Australia.”
Hal yang sama adalah mangga. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah dengan kekayaan mangga tertinggi di dunia.
Ini jelas Jatna, karena dahulu leluhur orang Bugis saat berkelana ke berbagai penjuru dunia dengan perahu pinisi mengumpulkan beragam jenis mangga. Di setiap daerah yang disinggahi, para pelaut Bugis mengambil mangga sebagai bahan asam untuk campuran makanan ikan mentah.
Namun ironisnya saat ini, Indonesia bukan produsen mangga terbesar di dunia, justru Mesir.
“Presiden Soekarno dulu pernah memberikan bibit mangga ke Presiden Naser. Bibit-bibit mangga terbaik dari seluruh dunia mereka tanam di sepanjang aliran Sungai Nil. Di Indonesia, mangga hanya ada di pinggir-pinggir rumah, kita tidak ekspor mangga karena hanya untuk konsumsi sendiri.”
Menurut Jatna, hal yang perlu dikembangkan di Indonesia aalah pengarusutamaan sains dalam kebijakan keanekaragaman hayati. Atau istilahnya, science to policy. Termasuk di dalamnya adalah pengumpulan data base kehati di masyarakat adat dan lokal.
“Di India mereka sudah punya data base, sehingga ketika dibutuhkan tinggal ambil data base di suku-suku, tidak perlu lagi mengulang dari awal,” pungkasnya.
***
Foto utama: Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya tumbuhan obat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia