- Awalnya Sapar adalah penambang emas ilegal yang kemudian menjadi penjaga Hutan Adat Talun Sakti, Sarolangun, Jambi
- Bersama kelompoknya, Kesatuan Tani Hutan (KTH) Adat Talun Sakti, sejak 2015 mereka aktif menjaga hutan, meski banyak ancaman dan sogokan dari para pemodal tambang emas.
- Hutan Adat Talun Sakti ini luasnya 641 hektar, berada di perbukitan dan sumber dari mata air Sungai Batang Seluro dan Batang Asai yang penting bagi warga Sarolangun.
- Hutan Adat ini masih kaya dengan jenis-jenis plasma nutfah, dengan lebih dari 30 jenis tumbuhan dan satwa yang punya nilai konservasi tinggi.
Tidak letih melangkah di jalan berbukit, Muhamad Sapar (51) dan kedua orang rekannya mendaki di tengah rimbunnya pepohonan hutan. Diikuti suara gemuruh air, mereka terus menyusuri sungai Batang Seluro dan perbukitan untuk mencapai Hutan Adat Talun Sakti. Di satu kelok, dia mengitari punggung bukit curam.
Hutan Adat ini luasnya 641 hektar dan sangat penting bagi masyarakat Desa Raden Anom, Sarolangun, Jambi. Kerusakan pada hutan akan mempengaruhi kehidupan di sekitarnya.
“Air Batang Seluro dan Batang Asai berasal dari sini. Masyarakat Jambi, khususnya Sarolangun, amat memanfaatkannya,” ujar Sapar memberi informasi.
Tujuan mereka siang itu adalah melakukan patroli. Dari laporan warga mereka mendengar ada orang yang mencari emas di sungai di dalam hutan. Tetapi saat dicari, mereka tidak menemukan para pelaku.
Sapar dan kawan-kawannya mengelilingi Hutan Adat secara reguler untuk memastikan kelestariannya. Mereka bekerja tanpa kompensasi, tapi lebih karena kecintaan kepada hutan adat tersebut.
“Ini adalah hutan adat kami yang sudah ada sejak zaman nabi. Harus kami lestarikan. Jika alam rusak, sungai rusak, apa lagi mau kami minum?” sebutnya.
Sebelum menjadi Ketua Kesatuan Tani Hutan (KTH) Adat Talun Sakti dan pelindung hutan, Sapar adalah pelaku ilegal tambang emas di sekitar Dusun Muara Seluro, Desa Raden Anom.
Dengan beberapa rekannya, dia memodali aktivitas tambang. Melihat dampak kerusakan yang terjadi di hutan dan aliran sungai, dia pun berpaling dan memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya itu. Dia sekarang menjadi penentang paling keras penambangan emas.
Sejak 2015, ia menjadi ketua KTH Adat Talun Sakti. Sejak itu, dia pun tak bergeming saat mendapat ancaman atau sogokan.
“Ada yang ancam pakai golok. Tapi saya tidak gentar untuk berjuang terus.” Menurut Sapar, ancaman terbesar kelestarian hutan adat adalah banyaknya pemodal yang hendak masuk untuk menggali emas.
Sapar dan kelompoknya juga pernah menolak uang Rp25 juta yang ditawarkan oleh seorang oknum pejabat. Sebutnya si pemodal itu ingin memasukkan alat berat ekskavator ke dusun mereka. Alat berat penggali tanah itu berguna untuk membalik dan menyiapkan lubang tambang.
Baca juga: Kepayang, Peredam Tambang Emas Ilegal di Desa Raden Anom
Kekayaan di Hutan Adat Talun Sakti
Hutan Adat Talun Sakti adalah perbukitan yang menjadi rumah bagi 30 spesies tumbuhan dan satwa bernilai konservasi tinggi. Dengan ketinggian antara 450-600 mdpl, ia menjadi habitat beragam jenis pepohonan langka.
Data Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Limau Unit VII Hulu Sarolangun menunjukkan terdapat 30 spesies tumbuhan bernilai konservasi tinggi dan langka, diantaranya temalun (Parashorea lucida), jelutung (Dyera costulata), kibut (Amorphophallus titanum), murau (Shorea gibbosa brandis), tembesu (Fagrea fagreans), balam merah (Palaquium gutta), dan lain-lain.
Perbukitan ini juga menjadi rumah berbagai satwa, seperti macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), rusa sambar (Cervus unicolor), baning cokelat (Manouria emys), rangkong gading (Rhinoplax vigil), beragam jenis primata dan lainnya.
Kawasan Hutan Adat Talun Sakti ini sebenarnya sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan (SK) yang ditandatangani Bupati Sarolangun pada tahun 2015. Namun hingga kini proses pengukuhannya belum tuntas.
Sria Liah Suzanto, Kasi PKPM KPH Limau Sarolangun, menyebut syarat Talun Sakti untuk dikukuhkan oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebenarnya tinggal menunggu Surat Keputusan (SK) tentang pengakuan masyarakat hutan adat dari pemerintah daerah setempat.
Dengan Kepayang, Menjaga Hutan Adat untuk Kesejahteraan
Bagi warga lokal di Raden Anom, Hutan Adat Talun Sakti adalah warisan leluhur yang harus dijaga. Jika ada yang berbuat buruk, seperti memotong pohon atau mengganggu lingkungan hidup hewan, maka nenek moyang akan memberikan hukuman. Kedatangan ‘nenek’ dapat dalam wujud harimau yang bertandang ke kampung.
Demikian pula, jika terbukti ada warga yang merusak hutan maka sanksi denda akan diberlakukan. Yaitu, 20 gantang beras, 1 ekor kambing, dan emas yang semuanya akan diserahkan sebagai kas desa.
Untuk mencegah warga menambang ilegal, sejak tahun 2015 kelompok ini telah mulai mengolah minyak dari buah kepayang. Usaha ini pun menjadi sumber mata pencarian alternatif warga.
Ungkap Sapar, inisiatif ini didukung oleh lembaga lingkungan FFI yang memberi mereka dukungan dana Rp50 juta. Uang tersebut mereka gunakan untuk membeli alat pemrosesan buah kepayang dan membangun jalan akses dusun sepanjang 325 meter.
Dalam waktu 13 hari, masyarakat Dusun Muara Seluro berhasil menghasilkan sekitar 35 kilogram minyak kepayang. Sebagian dijual ke KPHP Limau dan sebagian lainnya dijual atau digunakan di desa tersebut.
“Tampaklah bukti penggunaan dana. Kita berusaha jujur,” kata Sapar
Pencapaian ini membuktikan bahwa melalui pengelolaan sumber daya alam yang bijak, masyarakat bisa memperoleh manfaat yang berkelanjutan dan menciptakan sumber pendapatan yang stabil.