- Komunitas Bahorok Hijau didirikan oleh warga Desa Timbang Lawan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tahun 2015.
- Lingkungan yang rusak akibat banjir bandang 2013 dan juga tanaman sawit yang dianggap tidak menguntungkan, merupakan awal kepedulian masyarakat terhadap hutan.
- Perubahan prespektif masyarakat serta pentingnya menjaga lingkungan menjadi alasan utama dibentuknya komunitas. Terlebih, Desa Timbang Lawan dekat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
- Komunitas ini pun mengajak petani yang masih menanam sawit beralih ke pohon buah. Mereka membantu bibit dan petani yang diajak hanya menyiapkan lahan tanpa perlu mengeluarkan modal. Saat ini, jumlah lahan yang ditanami pohon seluas 215 hektar, tersebar di 15 titik.
Dharma Pinem, duduk santai menikmati secangkir kopi, ketika kami menemuinya di Desa Timbang Lawan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Lelaki ini spesial. Sejak tahun 2015, bersama beberapa temannya dia mendirikan Komunitas Bahorok Hijau. Ide berawal dari keresahan masyarakat, yang menanam sawit namun tidak dapat keuntungan.
“Bila dilihat sejarahnya, Kabupaten Langkat pada masa Belanda hanya ditanam cokelat, vanila, dan tembakau. Setelah merdeka ditanam padi. Seiring waktu, menjadi sawit yang sekarang harganya tidak menguntungkan,” ujar lelaki yang rambutnya mulai beruban ini.
Banjir bandang 2013, awal masalahnya. Lahan padi masyarakat jadi tidak produktif, dikarenakan irigasi yang rusak akibat bencana itu tidak kunjung diperbaiki, bahkan hingga sekarang. Kondisi ini membuat mereka coba peruntungan menanam sawit.
Terlebih, saat itu banyak bantuan bibit yang diberikan pemerintah dan harga buahnya juga bisa diandalkan.
“Saya tidak tahu nama programnya. Sekarang lihat saja, pohonnya tidak terawat,” jelasnya, awal Desember 2022.

Menurut Dharma, mengurus pohon sawit butuh modal banyak dan perawatan intensif. Sementara, pendapatan petani tidak sesuai dengan pengeluaran. Selain itu, sawit tidak ramah lingkungan, karena tanah yang pernah ditanami jenis ini harus diolah lagi agar gembur. Sawit juga tidak bisa dijadikan benteng untuk menahan air jika terjadi banjir.
Kondisi tersebut mendorong Dharma membentuk Komunitas Hijau Bahorok. Perubahan prespektif masyarakat serta pentingnya menjaga lingkungan menjadi alasan utama dibentuknya komunitas. Apalagi, Timbang Lawan dekat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Dharma dengan komunitasnya berinisiatif menanam pohon buah di sekitar hutan hingga perbatasan TNGL. Jenisnya beragam, ada durian, jengkol, manggis, petai, mangga, dan duku. Mereka kolektif membeli bibit dan komitmen merawat.
“Setelah tiga bulan, bibit baru bisa ditanam. Terkait hasil, nantinya dibagi rata ataupun dijual,” jelasnya.
Buah tanaman itu juga diberikan ke satwa liar seperti monyet, orangutan, tupai, burung, dan musang. Bukan untuk masyarakat semata.
“Satwa liar merupakan mata rantai lingkungan yang harus diperhatikan. Hutan sekarang mulai berkurang, makanya kami sediakan sumber pakannya agar mereka nyaman di habitatnya.”
Komunitas ini pun mengajak petani yang masih menanam sawit beralih ke pohon buah. Mereka membantu bibit dan perawatannya. Petani yang diajak, hanya menyiapkan lahan tanpa perlu mengeluarkan modal.
“Buahnya milik petani tersebut, boleh dijual. Pesan kami adalah bila ada satwa liar yang makan buah jangan dibunuh, biarkan saja,” jelas Dharma.

Pandemi corona yang melanda, membuat Dharma dengan komunitasnya mencari cara agar perekonomian masyarakat tetap berjalan. Mereka membuka usaha desa wisata seperti penginapan, penyewaan villa, dan tenda bagi pengunjung yang ingin berkemah.
“Sejak pandemi banyak warga yang kekurangan penghasilan, jadi kami pikir sudah tidak bisa lagi self funding. Kami putuskan mencari pendanaan agar program komunitas berlanjut,” jelasnya.
Dari pendapatan desa wisata, sepuluh persen dialokasikan untuk kas komunitas. Komunitas Bahorok pun bekerja sama dengan Nuraga Bumi Institute, sebuah komunitas lingkungan dan pendidikan bagi perempuan dan anak, yang berada di Langkat juga.
Setiap anak yang belajar di Nuraga Bumi Institute tidak perlu membayar iuran pendidikan, hanya diwajibkan memberikan bibit pohon dan buah setiap bulan. Mereka bisa menanam langsung di hutan, bersama Komunitas Bahorok Hijau.

Yang muda bergerak
Ramadhani, pemuda Timbang Lawan yang aktif di Komunitas Bahorok Hijau sejak 2018, bangga bisa menjaga kelestarian lingkungan.
“Tidak ada sistem gaji, hanya uang jajan. Biasanya diberikan per hari kerja. Anak-anak di sini juga diajak orangtuanya untuk menanam pohon,” jelasnya.
Setiap orang punya peran dalam menanam. Ada yang membersihkan lahan, ada yang membuat lubang, ada yang memotong bambu atau kayu, dan ada yang memantau pertumbuhan pohon.
“Satu lahan, jumlahnya bisa 100-500 pohon. Tergantung kondisi areal.”
Saat ini, jumlah lahan yang ditanami pohon seluas 215 hektar, tersebar di 15 titik.
Selvi, anggota muda komunitas lainnya, mengaku senang bergabung. Dia mulai peduli lingkungan dan tidak lagi minta uang ke orangtua karena mendapatkan upah dari menanam juga hasil panen.
“Saya diajari cara mengukur diameter pohon dengan alat, beserta tinggi dan lebarnya. Seperti belajar konservasi dasar,” katanya.

Apresiasi
Nurul Nayla Azmi, pendiri Nuraga Bumi Institute, berharap makin banyak kelompok masyarakat yang berinisiatif menjaga lingkungan. Masyarakat merupakan tembok penting perlindungan kawasan hutan karena mereka tinggal dan hidup di sana.
“Sumber penghidupan mereka seperti air dan udara langsung didapatkan dari hutan. Mereka memiliki kearifan lokal menjaga lingkungan,” ucapnya.
Nenek moyang kita juga mengajarkan hidup harmoni dengan alam dan toleransi terhadap satwa liar.
“Nilai ini perlu kita pertankan sehingga upaya perlindungan lingkungan dapat dilakukan,” paparnya.

Palbert Tunip, Kepala Bidang Wilayah 3 BBTNGL, mengatakan sangat senang hadirnya Komunitas Bahorok Hijau. Kelompok ini secara tidak langsung melakukan kerja-kerja konservasi seperti pembersihan batas TNGL, penanaman pohon di areal maupun luar TNGL, hingga terlibat penanganan konflik manusia dengan satwa liar.
“Kami sering kolaborasi dengan mereka. Overall, komunitas yang ketuanya Dharma Pinem ini banyak membantu kami,” pungkasnya.
Liputan ini merupakan program Journalist Fellowship yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak.