- Pada awal 2.000-an, petani di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mulai melirik sawit. Mereka mengganti tanaman kakao ke sawit karena dinilai harga lebih menguntungkan dan perawatan lebih sederhana. Saat itu, kakao juga sempat terserang penyakit penggerek buah.
- Setelah petani beralih dari kakao ke sawit, bukan tanpa persoalan. Banyak tantangan dan kendala petani sawit mandiri hadapi seperti soal pengadaan sarana produksi (saprodi).
- Areal kakao dan sawit di Luwu Utara pun seakan berkejar-kejaran meski masih lebih tinggi areal kakao. Data Dinas Pertanian Luwu Utara, pada 2015, areal kakao tercatat 32.212,67 hektar dan sawit 16.534,48 hektar. Pada 2021, luas kakao 38.367,84 hektare dan sawit 23.988 hektar.
- Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, berupaya amembantu petani mendapatkan harga sawit pantas. Pemerintah Luwu Utara, tengah menggodok kebijakan untuk memberikan batas harga pembelian sawit petani yang dinilai pantas, yakni Rp2.500 per kg untuk tandan buat segar (TBS).
Anwar, petani sawit di Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menerawang. Lelaki paruh baya itu mengenang masa 1990-an. Kala itu, petani kakao mencapai puncak kejayaan. Memasuki 1997-1998, ketika krisis ekonomi mendera Indonesia.
Petani yang menanam produk jual ke pasar ekspor seperti kakao, kopi, rempah-rempah dan hasil bumi lain, menikmati harga melambung saat krisis ekonomi.
Setelah ekonomi dalam negeri mulai membaik, katanya, harga kakao berangsur kembali ke semula. Bersamaan dengan itu hama penggerek buah kakao (PBK) sulit dikendalikan, dan perawatan kakao jadi ribet.
Keluarga Anwar dan sebagian petani di Luwu Utara memilih menebang kakao dan mengganti tanaman sawit. Dia nilai, perawatan sawit tak serewel kakao.
Kini, sawit Anwar sudah berulang kali panen. Melihat contoh petani yang dinilai berhasil mengembangkan sawit pada awal 2000-an, petani dengan prospek kakao kurang baik, pun beralih tanam sawit.
Sainal, pendiri lembaga nonpemerintah Wallacea, mengatakan, pengembangan tanaman kakao ataupun sawit berkembang secara nasional. Petani melihat pootensi termasuk soal harga yang lebih menguntungkan.
Areal kakao dan sawit di Luwu Utara pun seakan berkejar-kejaran. Data Dinas Pertanian Luwu Utara, pada 2015, areal kakao tercatat 32.212,67 hektar dan sawit 16.534,48 hektar. Pada 2021, luas kakao 38.367,84 hektare dan sawit 23.988 hektar.
Kendati areal tanaman kakao masih lebih luas dibandingkan sawit, katanya, dari sisi pertumbuhan sawit lebih berkembang daripada kakao.
Dari sisi petani yang menggeluti kakao di Luwu Utara, pada 2021 tercatat 26.587 keluarga, sedangkan petani sawit 15.395 keluarga.
Rusydi Rasyid, Kepala Dinas Pertanian Luwu Utara, benarkan, petani kakao beralih ke sawit dengan alasan harga sawit jauh lebih menjanjikan dan perawatan tanaman tak terlalu berat.
Selain itu, pengembangan sawit juga memanfaatkan lahan kosong atau lahan tidur.

Tantangan petani mandiri
Setelah petani beralih dari kakao ke sawit, bukan tanpa persoalan. Banyak tantangan dan kendala petani sawit mandiri hadapi seperti soal pengadaan sarana produksi (saprodi).
Masnur, petani sawit mandiri di Kecamatan Bone-Bone, Luwu Utara, mengatakan, sering kesulitan dapat pupuk, karena yang didahulukan memperoleh pupuk adalah mereka yang tergabung dalam perusahaan atau lembaga.
Petani mandiri berupaya memenuhi kebutuhan pupuk dengan kompos, meskipun masih sedikit petani yang memilih ini sebagai solusi.
Ketergantungan pada pupuk kimia masih mendominasi para petani sawit.
Belum lagi persoalan tanaman sawit sudah di atas 20 tahun hingga produktivitas terus menurun. Pemerintah mengeluarkan kebijakan peremajaan tanaman sawit dengan memberikan bantuan dana Rp25 juta-Rp30 juta per hektar.
Menurut Jamil, petani sawit Luwu Utara, tidak semua petani sawit dapat bantuan peremajaan tanaman ini. Kalaupun dapat, bukan dalam bentuk dana utuh melainkan berupa saprodi dan bibit tanaman dengan nilai bisa saja tidak sama dengan kebijakan pemerintah.
Rusydi mengatakan, program peremajaan tanaman sawit ada sejak 2018, dan berlanjut hingga kini. Dia bilang, masih banyak tanaman sawit sudah tua.
Dari sisi harga sawit, kata Jamil, petani mandiri lebih bebas menjual hasil panen ke pabrik pengolahan yang memberikan harga pantas. Berbeda dengan petani sawit plasma yang terikat menjual panen pada perusahaan mitranya.
“Setidaknya, ada enam pabrik pengolahan sawit yang tergolong besar di Luwu Utara. Kami, petani sawit mandiri bebas menjual kepada pabrik mana saja yang bisa memberikan harga yang lebih baik,” katanya.
Petani agak keteteran kala harga turun sampai di bawah Rp2.000 per kg karena itu bisa tak sebanding dengan biaya produksi
Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, berupaya amembantu petani mendapatkan harga sawit pantas. Pemerintah Luwu Utara, tengah menggodok kebijakan untuk memberikan batas harga pembelian sawit petani yang dinilai pantas, yakni Rp2.500 per kg untuk tandan buat segar (TBS).
Sebelumnya, pemerintah pusat sudah mengeluarkan kebijakan dan menganggap harga sawit Rp1.600 per kilogram itu sudah batas aman. Bagi petani, harga itu tidak sebanding dengan biaya sarana produksi yang dikeluarkan.
Dia bilang, harga sawit di tingkat petani saat ini Rp2.200-Rp2.300 per kilogram. Harga sawit pernah mencapai Rp3.500 per kilogram sebagai harga tertinggi yang dinikmati petani.
“Semoga kebijakan berpihak dan upaya mensejahterakan petani,” kata Jamil.

Suriani Mappong adalah wartawan LKBN Antara Sulawesi Selatan. Liputan ini bagian dari program beasiswa bagi jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak 2022.
*******