- Desa-desa di Maluku Utara, terutama pulau-pulau kecil dengan penduduk terbilang padat, belum memiliki fasilitas pembuangan maupun pengelolaan sampah. Sampah di desa-desa di pulau-pulau di Maluku Utara, terbuang sembarangan ke sungai, pantai maupun di hutan-hutan mangrove.
- Munir Halek, Kepala Desa Baru mengatakan, memang belum memiliki tempat pembuangan sampah (TPS) atau tempat pembuangan akhir (TPA) untuk sampah desa. Sampah di kampung pun dibuang sembarangan.
- Sampah desa jadi masalah pelik hampir di semua wilayah di Maluku Utara. Provinsi yang terdiri dari 10 kabupaten dan kota dengan 117 kecamatan dengan 1.063 desa ini masih minim pengelolaan dana desa untuk masalah lingkungan seperti penanganan sampah.
- Prigi Arisandi, Direktur Ekseskutif Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton) mengatakan, pengurangan sampah ke laut belum dipahami sebagian besar pemerintah daerah hingga tak ada regulasi, strategi dan aksi untuk mengurangi sampah plastik ke laut.
Sampah menggunung di Pulau Obi, tepatnya Desa Laiwui, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Ada kemasan plastik, botol, sampai beragam sampah organik. Warga tak punya tempat pembuangan hingga menumpukkan sampah di hutan mangrove tak jauh dari pemukiman. Tak pelak, pantai dan pepohonan mangrove ‘berhias’ sampah.
Yuyun, warga Laiwui yang punya penginapan mengatakan, tidak punya tempat buang sampah. Akhirnya, dia juga warga sekitar menimbun sampah di hutan mangrove.
Mereka bingung mau angkut sampah ke mana karena taka da tempat pembuangan maupun fasilitas pengelolaan sampah.
Yuyun bilang, kalau ada TPS mereka bisa bayar retribusi pengelolaan sampah di kampung itu. Karena taka da fasilitas, katanya, terpaksa banyak yang buang sampah sembarangan terutama ke pantai dan lahan lahan kosong di desa mereka.
Dia juga heran, desa tak fasilitas buat sampah. Padahal ada pasar dan penduduk padat.
Munir Halek, Kepala Desa Baru mengatakan, memang belum memiliki tempat pembuangan sampah (TPS) atau tempat pembuangan akhir (TPA) untuk sampah desa. Sampah di kampung pun dibuang sembarangan.
Penduduk Obi mencapai 16.000-an jiwa tetapi sampah belum jadi prioritas.
Hal serupa juga terjadi di Pulau Bisa, Desa Madapolo, Halmahera Selatan. Di sini, sungai dan pantai jadi sasaran pembuangan sampah.
Di Desa Madapolo Tengah, sebagian besar warga membuang sampah ke sungai yang melintasi desa, yang lain buang ke pantai. Begitu juga di Pulau Kayoa, tepatnya Desa Guruapin, sampah belum ada pengelolaan secara baik.
Sampah organik dan anorganik dibuang sembarangan terutama tepi pantai. Di Pasar Kayoa, sangat dekat dengan pantai. Pantai pun jadi ‘tong’ sampah.
Saat Mongabay ke sana awal Februari lalu, terlihat tumpukan sampah di laut terutama dekat Pasar Kayoa.
Sampah desa jadi masalah pelik hampir di semua wilayah di Maluku Utara. Provinsi yang terdiri dari 10 kabupaten dan kota dengan 117 kecamatan dengan 1.063 desa ini masih minim pengelolaan dana desa untuk masalah lingkungan seperti penanganan sampah.
Abdullah Ismail, Koordinator Provinsi Program Pembangunan dan Pemberdayaan (P3MD) Maluku Utara mengatakan, desa-desa di Maluku Utara minim memanfaatkan dana desa untuk pengelolaan sampah.
BUMDes kelola sampah
Belum ada desa yang memanfaatkan dana desa langsung terutama untuk pengelolaan sampah. Namun, katanya, sudah ada sampah yang dikelola BUMDes dengan daur ulang seperti di Desa Balbar, Kecamatan Oba Utara, Kota Tikep. BUMDes di desa ini mengelola bank sampah.
“Jadi, bank sampah ini dikelola gunakan modal usaha BUMDes. Sifatnya penyertaan modal BUMDes melalui dana desa,” katanya.
Baca juga : Mesin Mati dan Kotornya Laut Akibat Sampah Lintas Pulau
Darurat sampah plastik
Hasil riset Ecoton di Maluku Utara akhir 2022 melalui Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) menyebutkan, tak ada upaya serius pemerintah dalam mengurangi luberan sampah plastik ke laut.
Dari temuan tim Ekspedisi Sungai Nusantara menyimpulkan kebijakan pengurangan sampah masih ada di langit sedangkan kenyataan ada di bumi. Masih banyak muara sungai jadi pintu masuk sampah plastik menuju laut.
Prigi Arisandi, Direktur Ekseskutif Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton) mengatakan, pengurangan sampah ke laut belum dipahami sebagian besar pemerintah daerah hingga tak ada regulasi, strategi dan aksi untuk mengurangi sampah plastik ke laut.
“Di Ternate, Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, sampah tidak terkelola, dibiarkan ditimbun di jalan-jalan dan mengalir ke selokan sungai yang akhirnya menuju laut,” katanya.
Dia contohkan, sampah kemasan merek-merek terkenal cemari pesisir dan sungai Kota Weda. Saat tim ESN berkolaborasi dengan Komunitas Seasoldier Kota Weda, Halmahera Tengah audit merek di pantai Weda. Mereka menemukan banyak sampah botol air minum sekali pakai, gelas plastik, popok dan kemasan di pantai dan sungai.
“Kondisi perairan yang dipenuhi sampah plastik menjadi indikator tidak seriusnya Pemerintah Halmahera Tengah mengelola sampah. Sama sekali tak peduli upaya Pemerintah Indonesia mengurangi limpasan sampah plastik dari sungai menuju laut,” kata Prigi.
Dalam audit di pesisir Weda, ditemukan sampah seperti Mayora, Wings, Unilever, Indofood, Danone, Unicharam dan Coca cola teronggok di muara sungai.
Menurut dia, pembiaran sampah plastik di perairan Maluku Utara akan jadi ancaman serius bagi ekosistem laut dan kesehatan warga Malut.
Keberadaan sampah plastik di perairan akan jadi mikroplastik. Mikroplastik ini dimakan ikan.
*******