- Kawasan Konservasi Pulau Salawati, Papua Barat, masih jadi target para pembalak liar. Suara gergaji mesin masih biasa terdengar di tengah hutan. Tempat penampungan kayu masih terlihat di desa sekitar di luar Kawasan konservasi.
- Sepanjang perjalanan, banyak terlihat tunggak kayu merbau masih segar. Belum lama batang yang berdiri tegak kena tebang. Potongan kayu sudah diolah jadi balok juga banyak di pinggiran jalan papan. Kayu-kayu ini siap angkut ke tempat penampungan.
- Pada 2020, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutannan, pernah memproses hukum kasus pembalakan liar di Kawasan Konservasi Pulau Salawati.
- Demianus Safe, Regional Nodes Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, peredaran kayu non police line (NPL) selalu berhubungan erat dengan kasus penangkapan kayu ilegal baik di Sorong dan Surabaya. Dinas Kehutanan Papua Barat harus membuka data kayu NPL yang masih tersisa dan tersebar. Hal ini, untuk memperjelas kayu NPL hasil operasi hutan leastari II 2005.
Raungan gergaji mesin (chain saw) membelah belantara hutan konservasi Pulau Salawati Utara, Papua Barat. Sekelompok aktivis lingkungan menambah ritme langkah kaki menyusuri papan kayu yang dihampar sebagai jalan setapak. Sinombre, bukan nama sebenarnya, anggota rombongan, tak sabar segera menemukan sumber suara.
Mendekati ujung jalan, raungan itu tiba-tiba senyap. Suara mesin berganti suara burung yang sesekali melengking dari puncak pohon. Suara gergaji tak lagi terdengar. Hamparan jalan papan kayu sudah pada ujungnya.
“Kami tak tahu dari arah mana suara chain saw itu berasal,” kata Sinombre, anak adat dari Sorong, tahun lalu.
Mujur, saat rombongan ini diambang putus asa dan hendak berbalik arah pulang, suara mesin itu kembali meraung dan terdengar makin nyaring. Tak bisa lagi mengandalkan papan kayu sebagai penunjuk jalan, Sinombre dan tiga kawannya menyelinap di antara pohon-pohon kecil menuju sumber suara.
“Beruntung kami menemukannya,” katanya.
Untuk memergoki pengolah kayu di tengah belantara ini, mereka harus berjalan kaki sejauh sekitar 10 kilometer atau selama dua jam dari tempat perahu tambat. Jejak pembalak hutan konservasi Pulau Salawati Utara itu mulai ditelisik dari tempat penampungan kayu di tepi sungai.
Sepanjang perjalanan, banyak terlihat tunggak kayu merbau masih segar. Belum lama batang yang berdiri tegak kena tebang. Potongan kayu sudah diolah jadi balok juga banyak di pinggiran jalan papan. Kayu-kayu ini siap angkut ke tempat penampungan.
Sinombre bilang, titik pembalakan di hutan konservasi di Pulau Salawati Utara ini perlu kejelian. Muara sungai yang jadi pintu masuk, katanya, begitu tersamar oleh mangrove nan rimbun. Mungkin tak menyangka ternyata celah di antara pepohonan itu sebagai gerbang utama.
Dari penelusuran itu, Sinombre mencatat tak kurang lima titik tunggak kayu merbau sisa penebangan.
Soni, bukan nama sebenarnya, pengolah kayu mengaku kayu-kayu itu untuk memenuhi kebutuhan lokal pesanan warga kampung. Sinombre ragu dengan keterangan ini, mengingat potongan kayu olahan Soni ukuran standar ekspor ( 20 cm x 20 cm) atau (17 cm x 17 cm) dengan panjang rata-rata dua meter.
Keterangan dari pengolah lain, kayu merbau itu disetor ke tempat penampungan kayu (TPK) tak jauh dari lokasi penebangan. TPK terdekat dari hutan konservasi Pulau Salawati Utara ada di Kampung Dulbatan, Distrik Salawati Selatan.
Saat dia datangi ke TPK Maret tahun lalu, banyak tumpukan kayu ukuran ekspor siap dikemas dalam peti besi.
Siapakah pemilik TPK ini? Sinombre belum tahu.
Pembalakan liar memang jadi ancaman bagi kawasan konservasi ini. Pada 2020, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pernah memproses kasus pembalakan liar di Kawasan Konservasi Pulau Salawati. Kala itu, salah satu terduga pelaku adalah. FW Wiliyanto (FW). dengan nama usaha, PT Bangun Cipta Mandiri (BCM).
Catatan media, FW pernah meringkuk di sel Polsek Sorong Timur setelah Gakkum KLHK Papua Barat menangkap di Jakarta pada 16 Juli 2020. FW diduga terlibat pembalakan liar di kawasan konservasi Pulau Salawati dan ditetapkan sebagai tersangka 31 Maret 2020.
Perkara ini berawal dari operasi pengamanan dan peredaran hasil hutan oleh Tim Operasi Balai Gakkum KLHK Maluku Papua, di perairan Kampung Kalwal awal Februari 2020. Sebuah Kapal KLM Sumber Harapan III yang bermuatan kayu olahan jenis merbau (Intsia bijuga) sebanyak 103,434 m3 berbagai ukuran, diamankan.
Dua awak kapal, Haji Nurdin dan Sudirman menjadi pesakitan. Nurdin sebagai tersangka saat ditangkap petugas Gakkum KLHK, mengaku sebagai pemilik kayu. Sedangkan Sudirman adalah nahkoda kapal yang memuat kayu itu. Dalam dakwaan jaksa Wahyudi Eko Husodo terhadap FW, disebutkan peran Nurdin sebatas penyedia jasa.
Peran Nurdin berawal pada 20 Januari 2020, saat dia mendatangi FW di BCM, untuk menawarkan jasa mengolah kayu stock opname di Kampung Kalwal dan mengangkut ke tempat BCM di Kampung Dulbatan, Distrik Salawati Selatan, Sorong.
Nurdin dan FW bersepakat upah Rp3.8 juta/m3, dan telah dibayar uang muka untuk operasional Rp50 juta serta panjar pinjaman kepada Nurdin Rp113,6 juta.
FW juga memberikan uang panjar sewa kapal Rp20 juta kepada Sudirman. Pekerjaan itu kandas di perairan Kampung Kalwal, setelah Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum wilayah Maluku Papua, menangkap keduanya pada 3 Februari 2020 sekitar pukul 13.30 waktu setempat.
Dalam persidangan terpisah, Nurdin dan Sudirman, keduanya vonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong yang diketuai William Marco Erari. Petikan putusan ini bernomor 76/Pid.Sus/2020/PN.Son, tertanggal 16 Juli 2020.
Sedang FW, JPU dari Kejaksaan Tinggi Papua Barat, Wahyudi Eko Husodo mendakwa dengan Undang-undang No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
FW diancam hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp2,5 miliar. Ketika diwawancara sesaat sebelum persidangan di Pengadilan Negeri Sorong, FW mengaku tak bersalah.
Kayu yang jadi barang bukti di pengadilan, bukan dia yang tebang melainkan kayu-kayu dari masyarakat. Mereka jual ke BCM.
FW bilang, sangkaan para penyidik Gakkum KLHK Maluku Papua ini salah alamat. Sebab, 103,434 m3 kayu merbau yang menjadi barang bukti dalam perkara ini, adalah kayu resmi berdokumen.
“Kalau aku salah, pasti aku ini ada takut. Ini aku takut sedikit pun tidak. Satu bulu pun tidak berdiri, karena saya tidak lakukan itu.”
“Terkecuali saya melakukan, mungkin saya takut. Mungkin tidak sampai hari ini saya di sini. Pasti bagaimana caranya, harus selesai. Tidak mungkin saya mau masuk penjara,” kata FW.
Pria kelahiran Ujung Pandang 20 Juli 1964 ini, lantas mengurai peristiwa pada 2005. Awalnya, dalam program 10 hari pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono, gabungan aparat penegak hukum melakukan operasi hutan lestari II. Hasilnya, 221.211,92 m3 kayu ilegal disita, termasuk milik masyarakat adat di Kampung Kalwal, Distrik Salawati Selatan, Raja Ampat.
Saat itu, status kayu ini disebut sebagai kayu non police line (NPL). Sebelum akhirnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menghapus staus NPL pada 2018.
Masa itu, dengan mempertimbangkan nilai kayu yang terus menyusut, Menteri Kehutanan saat itu MS Ka’ban, membuat kesepakatan bersama Gubernur Papua Barat, Abraham O. Atururi. Kesepakatan bernomor PKS.2/Menhut-VI/2009 dan nomor 522.2./277.GPB/2009 ini, ditandatangani di Jakarta pada 17 April 2009.
Pada poin satu dari lima poin kesepakatan, Menteri Kehutanan menyerahkan penyelesaian pemanfaatan kayu NPL itu kepada Gubernur Papua Barat. Pemanfaatan kayu ini, diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dengan terbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) Dinas Kehutanan.
Penyelesaian pemanfaatan kayu NPL ini, paling lambat lima bulan sejak kesepakatan bersama ini ditandatangani, dengan melibatkan bupati atau walikota serta kepala dinas yang diserahi tanggungjawab bidang kehutanan.
Gubernur menyerahkan pemanfaatan kayu itu ke masyarakat sebagai pemilik, agar menjual melalui koperasi masyarakat (kopermas). “Siapa yang mau membeli kayu itu, harus memiliki fasilitas alat berat dan kemampuan financial cukup.”
Saat itu, katanya, BCM mengajukan permohonan, mendapatkan rekomendasi gubernur. Perusahaan ini bersama masyarakat pemilik kayu, menginventarisir jumlah kayu berserak di dalam hutan itu, dan mendapati 9.587,47 m3.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kayu oleh perusahaan dan masyarakat pemilik, Dinas Kehutanan Sorong menurunkan tim verifikasi dan uji petik pengukuran, dengan melibatkan kepolisian, kejaksaan serta petugas Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP).
“Dari situ terbitlah LPH dari Dinas Kehutanan untuk kayu 9.587,47 m3,” kata FW.
Tuntas verifikasi dan uji petik, Dinas Kehutanan Sorong menerbitkan surat perintah pembayaran (SPP) sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDHDR) kepada Kopermas Marthen Kalapain sebagai pemilik kayu.
SPP PSDHDR, pertama diterbitkan pada 18 Maret 2013 dengan volume kayu merbau 5.563,43 m3 dan nilai PSDH yang harus dibayar Rp834, 514 juta dan dana reboisasi US$72.324,59. Kewajiban kepada negara ini dibayar BCM melalui transfer ke rekening Bank Mandiri tertanggal 18 dan 26 Maret 2013.
Sedang SPP PSDHDR kedua, diterbitkan pada 23 Desember 2013, dengan volume 4.024.04 m3 senilai Rp603, 606 juta (PSDH) dan US$52.312,52 dana reboisasi, dibayar BCM dengan transfer ke rekening Bank Mandiri pada 3 Januari 2014.
“Itu saya bayar dua kali. Semua kewajiban saya ke negara sudah saya bayar lunas. Semua saya ikuti prosesnya, sesuai petunjuk teknis Dinas Kehutanan. Sekarang, barang itu tinggal saya angkut. Saya uangkan semuanya. Jadi saya bukan pelaku ilegal,” katanya.
Bukti pelunasan itu yang kemudian jadi dasar penerbitan surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB) oleh Dinas Kehutanan Sorong. Secara bertahap, BCM memindahkan kayu yang telah stock opname itu dari Kampung Kalwal ke industri BCM di Kampung Dulbatan, Distrik Salawati Selatan, Sorong.
Pada 11 September 2017, sertifikat legalitas kayu (SLK) BCM ini pernah dibekukan PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo). Dari hasil audit surveillance sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), perusahaan ini tak dapat menunjukkan dokumen laporan mutasi kayu bulat (LMKB) dan laporan mutasi kayu olahan (LMKO).
Surat pembekuan yang ditandatangani Yerry Taizar, Kepal SBU Serco Sucofindo ini, berlaku sejak 11 September -10 Desember 2017. Sertifikasi akan aktif kembali apabila perusahaan dapat memenuhi LMKB dan LMKO, paling lambat satu bulan sebelum masa penangguhan berakhir. “Dokumen itu sudah kami penuhi,” ujar FW.
Legalitas itu, katanya, juga dibuktikan surat klarifikasi penyampaian setok kayu bulat dan kayu olahan izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IU-IPHHK) dari Dinas Kehutanan Papua Barat, nomor 522.2/231/Dishut-PB/3/2018 tertanggal 29 Maret 2018.
Dalam surat yang ditandatangani Runaweri F.H, Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat, mengatakan, kayu-kayu pada BCM adalah benar kayu NPL sisa operasi hutan lestari yang telah mendapatkan izin pemungutan kayu masyarakat adat (IPKMA) pada 2013.
Kayu itu secara legal jadi setok kayu olahan milik BCM, serta telah di upload ke dalam SI-PUHH Online.
Meski kebijakan pemanfaatan kayu bulat NPL dilarang sejak 2018, untuk kayu yang sudah dimanfaatkan sebelumnya dan jadi setok olahan di BCM, dianggap memenuhi syarat untuk diperdagangkan.
Dari total kayu yang sudah dibeli itu, di Kampung Kalwal masih tersisa sekitar 2.715,82m2 yang belum digeser ke BCM di Dulbatan. Jumlah ini termasuk 103.434m3 kayu yang disita Gakkum KLHK pada 3 Februari 2020 di perairan Kampung Kalwal, dan jadi barang bukti.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sorong 17 Desember 2020, FW vonis bebas. Majelis Hakim persidangan diketuai Willem Marco Erari.
Kayu NPL
Operasi hutan lestari (OHL) II pada 2005 di Tanah Papua, merupakan operasi penegakan hukum terbesar sektor kejahatan kehutanan oleh polisi. Sasaran OHL II mencakup enam wilayah di Irian Jaya—kala itu–, kini Yapen Waropen, Nabire, Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, dan Fakfak.
Hasil OHL II, markas besar polisi mengedepankan penindakan pelaku pembalakan liar. Dari lima hari operasi, polisi mengamankan 40.679 batang atau 188.488 m3 kayu bulat, 5.669 m3 kayu olahan. Ada juga alat berat 496, empat kapal, 16 mobil, satu tongkang dan dua tug boat.
Barang bukti kayu tersebar di empat wilayah OHL II di Manokwari, Sorong, Sorong Selatan dan Fak fak, ditandai dengan garis polisi yang disebut kayu NPL.
Polisi juga mengamankan 173 pembalak liar jadi tersangka. Mereka berlatar belakang sebagai operator penebang kayu, manajer pengusahaan hutan, dan pemodal. Juga, staf pemerintah dan penegak hukum polisi yang diketahui berhubungan para pelaku pembalakan liar.
Catatan Yayasan Auriga Nusantara, dari 173 pelaku ditangkap hanya 27 maju ke pengadilan. Pelaku dihukum 13 orang dengan vonis dua tahun penjara. Sisanya, 146 orang sebagian bebas melalui vonis hakim dan tanpa proses hukum.
“Parahnya lagi, pemodal utama yang membiayai kejahatan kehutanan tidak pernah disentuh dengan hukum, ini jadi potret kasus kejahatan kehutanan terus marak dan berulang,” kata Demianus Safe, Regional Nodes Yayasan Auriga Nusantara.
Jangka waktu pemanfaatan kayu NPL pada poin ke empat dalam Surat Kesepakatan Bersama Menteri Kehutanan dan Gubernur Papua Barat, paling lambat lima bulan sejak April 2009. Pembatasan ini memperhatikan nilai kayu yang terus menyusut, melindungi hak-hak negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan bergeraknya perekonomian masyarakat.
“Faktanya, pada 2018, 2019 dan 2020 kayu NPL masih marak beredar di Papua Barat hingga Surabaya,” kata Demianus.
Peredaran kayu NPL selalu berhubungan erat dengan kasus penangkapan kayu ilegal baik di Sorong dan Surabaya.
Demi bilang, Dinas Kehutanan Papua Barat harus membuka data kayu NPL yang masih tersisa dan tersebar. Hal ini, katanya, untuk memperjelas kayu NPL OHL II tahun 2005. (Bersambung)
********