Mongabay.co.id

Kala Pemerintah Gencar Kembangkan Industri Nikel, Lingkungan dan Masyarakat jadi Perhatian?

 

 

 

 

 

 

 

“Saya bilang ke dia kalau bapak investasi di Indonesia, saya kasih konsesi nikel.” Begitu kata Presiden Joko Widodo saat diwawancarai secara eksklusif oleh Reuters awal Januari lalu. Tawaran itu Jokowi kepada Elon Musk, bos raksasa mobil listrik asal Amerika Serikat (AS), Tesla Inc, untuk berinvestasi membangun pabrik baterai dan mobil listrik di Indonesia.

Jokowi berharap Elon Musk setuju program hilirisasi nikel dalam negeri bisa maksimal dan cadangan bijih nikel yang disebut melimpah di Indonesia bisa digunakan dalam proyek baterai kendaraan listrik.

Proyek kendaraan listrik ini diklaim sebagai solusi kendaraan lebih ramah lingkungan di tengah isu laju krisis iklim global. Pemerintah berharap Musk bersedia menanamkan investasi, setidaknya meski hanya dalam rantai pasokan baterai kendaraan listrik.

Pemerintahan Indonesia sebetulnya sudah merayu Kepala Eksekutif Tesla itu berulang kali sejak 2020. Mulai dari Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi hingga Presiden Jokowi. Tahun lalu, dua petinggi negeri ini pernah bertemu Musk di fasilitas SpaceX, Texas.

Pemerintah Indonesia memang sedang gencar membangun smelter sebagai bagian dari program hilirisasi produk tambang. KESDM menargetkan, bangun 53 smelter sampai 2024.

Sampai 2022,  sudah selesai tujuh smelter yakni PT Aneka Tambang di Pomalaa, Kolaka di Sulawesi Tenggara, PT Vale Indonesia di Sulawesi Selatan. Juga, PT Wanatiara Persada di Maluku Utara, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Weda Bay Nickel di Maluku, PT Antam di Maluku Utara dan PT Sebuku Iron Lateritic Ores di Kalimantan Selatan.

Pemerintah menargetkan tambahan 17 smelter untuk memenuhi kebutuhan pengolahan dalam negeri.

“Kita targetkan 2023 ada 17 smelter lagi yang selesai,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif akhir Januari lalu. Pada Juni 2023, katanya, pemerintah juga melarang ekspor bauksit dalam bentuk mentah (ore).

 

 

 

Kalangan organisasi masyarakat sipil mengingat risiko dari ekstraksi tambang nikel selama ini di berbagai daerah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan, dari deforestasi, pencemaran air, darat dan udara sampai merampas ruang hidup masyarakat.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, langkah pemerintah ini tak lebih penjajakan bisnis ekstraksi nikel berbalut investasi.

Pemerintah tampak mengobral murah kekayaan alam seperti nikel, lalu keuntungan diraup pelaku bisnis industri dan elit politik.

“Sedang rakyat menerima ampas. Menanggung seluruh derita akibat ekstraksi nikel itu,” ujar Melky kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dia bilang, dengan menggenjot proyek kendaraan listrik ini, akan ada lagi perluasan pembongkaran wilayah daratan dan warga akan jadi korban, menerima risiko dari kerusakan hingga kemiskinan.

Dari catatan Jatam, pembongkaran wilayah paling masif untuk ekstraksi tambang nikel terutama di wilayah daratan, pesisir dan pulau-pulau di Indonesia bagian timur, mulai Sulawesi, Kepulauan Maluku, hingga Papua.

Hal ini bisa dilihat dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), luas tambang nikel di Indonesia 520.877,07 hektar. Tambang ini tersebar di tujuh provinsi, antara lain Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.

 

Jalan yang dibangun perusahaan tambang nikel di tengah kebun warga di Wawonii. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sebagian besar di Kawasan hutan

Menurut laporan yang diolah data Indonesia pada 2022, Sulawesi Tenggara memiliki tambang nikel terbesar di Indonesia seluas 198.624,66 hektar. Sulawesi Tengah 115.397,37 hektar, dan Sulawesi Selatan 7.163 hektar. Maluku Utara 156.197,04 hektar.

Diikut Papua seluas 16.470 hektar, Papua Barat 22.636 hektar dan Maluku 4.389 hektar.

Dalam perkiraan Walhi bahkan jauh lebih besar lagi luas tambang nikel di Indonesia. Organisasi lingkungan ini mencatat, pada 2021,  luas konsesi nikel 999.587,66 hektar, dimana 653.759,16 hektar ditengarai berada dalam kawasan hutan.

Setahun berikutnya, pada 2022, luas pemberian konsesi makin bengkak jadi 1.037.435,22 hektar, ada 765.237,07 hektar dalam kawasan hutan.

“Jika keseluruhan kawasan yang diberikan izin pertambangan nikel dilakukan perubahan fungsi lahan, diperkirakan berkontribusi lepaskan GKR (gas rumah kaca) 83 juta ton setara CO2,” kata Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif Walhi Eksekutif Nasional.

Luas konsesi sebesar itu,  katanya, mengindikasikan pemerintah sama sekali tidak peduli persoalan dari ekstraksi tambang nikel. Dari fakta dan temuan-temuan organisasi masyarakat sipil memperlihatkan,  ketimpangan sosial dan menyebabkan krisis ekologis parah. Dia sebutkan, mulai dari pencemaran lingkungan, polusi, perampasan tanah rakyat, hingga bencana ekologis.

Puspa mengatakan, kecelakaan kerja dan ledakan terjadi di pabrik nikel, seperti di Morowali Utara dan di Weda, Halmahera Tengah.

Pemerintah, katanya,  gagal memahami konsepsi dasar perizinan pada sektor pertambangan. Seharusnya, perizinan tak hanya untuk pemenuhan administrasi, namun harus sebagai upaya pembatasan dan kontrol dari daya rusak.

“Artinya,  tidak semua tempat dan tak semua pihak diberi kelonggaran mengurus izin pertambangan. Seharusnya,  pemerintah mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin, bukan dipermudah sebagaimana praktik yang terjadi sekarang.”

 

 

 

Berkaca dari kasus PT GNI

Bentrokan antara tenaga kerja asing asal Tiongkok, dan tenaga kerja Indonesia, sampai banyak tewas kecelakaan kerja di pabrik smelter nikel, PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), memperlihatkan sebagian persoalan dalam industri nikel. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, kasus bentrokan pekerja, bukan sebatas kekecewaan antar buruh Indonesia dan TKA, tetapi akumulasi dari rentetan kebijakan pemerintah yang hanya mementingkan pelaku industri cenderung abai buruh, masyarakat terdampak, dan lingkungan hidup. Bentrokan menimbulkan korban tewas dan luka-luka.

GNI merupakan perusahaan asal Tiongkok yang membangun pabrik smelter nikel di Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara. Meski berlokasi di Morowali Utara, peresmian perusahaan ini di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara oleh Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri dan kepala daerah 27 Desember 2021.

 

Sebanyak 80 persen energi listrik yang menggerakkan smelter nikel di Sulawesi bersumber dari pembangkit listrik tenaga batubara, yang dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Foto: WALHI.

 

Pada peresmian itu, Jokowi menekankan kepada gubernur dan bupati agar menjaga iklim investasi kondusif, demi serapan tenaga kerja, devisa, dan pajak.

“Tak mengejutkan setelah bentrokan di area pabrik GNI itu terjadi, respons Jokowi justru sebatas menginstruksikan kapolri menindak tegas pelaku kerusuhan,” kata April Perlindungan, Ketua Kampanye Jatam Nasional.

Aparat kepolisian, katanya, bergerak cepat menangkap puluhan buruh Indonesia yang dituduh sebagai pelaku. “Menutup mata atas persoalan yang melatarbelakangi bentrokan itu terjadi,” katanya.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan watak pemerintah dan model penegakan hukum aparat kepolisian lebih melindungi investasi daripada keselamatan rakyat, lingkungan hidup, dan kesejahteraan buruh.

Jauh sebelum smelter nikel GNI diresmikan Jokowi hingga bentrokan 14 Januari lalu, operasi perusahaan ini bukan tanpa cacat, Jatam menemukan, sejumlah kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

Pertama kali beroperasi di Bunta, Petasia Timur pada 2018, pembangunan pembangkit listrik (PLTU batubara)  dan pabrik smelter, membendung  Sungai Lampi tanpa ada proses konsultasi dan pembebasan lahan. Lahan-lahan produktif warga diklaim sepihak perusahaan, dan melarang warga mengelola lahan-lahan itu.

Operasi bendungan menggenangi rumah warga dan ruas jalan serta menutup akses ekonomi warga transmigran.

“Lahan kami sudah tidak menghasilkan. Sawah digenangi air, sudah tenggelam,” kata seorang warga Bunta dalam diskusi beberapa waktu lalu.

Warga yang tak bersedia disebutkan namanya ini meyakini genangan air memang berasal dari luapan sungai yang dibendung.

 

Masyarakat Tobelo Dalam, yang ruang hidup jadi tambng nikel. Foto: AMAN Malut

 

Warga pernah melawan dengan menghentikan alat berat, namun perusahaan bergeming. Kini,  sekitar 300 hektar lahan transmigrasi dan dua dusun tergenang air, berdampak bagi perekonomian ribuan warga.

Operasi PLTU batubara dan pabrik smelter, juga pakai jalan umum hingga terjadi pencemaran udara dan ganggu kesehatan warga.

“Debu dan asap ini sangat mengganggu. Batuk pilek setiap hari. Kasihan ibu-ibu yang menjemur pakaian dari bersih jadi berdebu,” kata seorang warga asal Tokonanaka, desa tetangga Bunta.

Operasi GNI yang memanfaatkan Teluk Tokonanaka sebagai tempat sandar dan bongkar muat kapal-kapal besar serta tongkang batubara. Bongkar muat batubara jatuh ke laut hingga mencemari perairan. Hal ini, katanya, merugikan sebagian besar nelayan Desa Tokonanaka.

“Sebelum ada bongkar muat nelayan bisa mendapat 1-2 kg ikan sehari. Sekarang tidak ada.”

Rompong, atau rumah-rumah ikan sudah rusak karena lalu lalang kapal tongkang batubara. Dalam sebulan, kapal dengan kapasitas rata-rata 55.000 MT, bisa 7-8 kali lalu-lalang di perairan itu

Dua bulan lalu, katanya,  juga ada tumpahan oli di laut. “Banyak sekali. Masyarakat bingung mau mengadu kemana.”

Taufik, Koordinator Jatam Sulteng, mengatakan, berdasarkan informasi dari sejumlah buruh, sejak pertama kali GNI beroperasi hingga kini, ada 10 pekerja tewas. Korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020. HR tertimbun bersama eksavator, baru diketahui dua hari setelah kejadian.

Pada Mei dan Juni 2022, juga terjadi bunuh diri TKA Tiongkok, berinisial MG dan WR.

Lalu, kecelakaan kerja lain menimpa YSR, AF, NS, dan MD. YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut kedalaman 26 meter.

AF, hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. NS dan MD, dua korban meninggal dunia pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022. NS adalah seleb tiktok yang viral karena sering memposting aktivitas sebagai operator crane.

“Perusahaan juga memotong berbagai tunjangan yang menjadi hak pekerja, serta menciptakan dan memelihara kesenjangan upah dan fasilitas pekerja antara TKI dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama,” kata Taufik.

Misal, gaji pekerja Tiongkok lebih besar dari pekerja domestik, ada pembedaan warna helm untuk menentukan posisi di perusahaan. Belum lagi kendala bahasa seringkali memicu konflik antar pekerja.

“Mereka memberikan instruksi kerja dalam Bahasa Mandarin dan sering tak dipahami pekerja Indonesia. Ini sering membuat frustasi para pekerja.”

Nada instruksi pun, katanya, tinggi sering membuat para pekerja Indonesia tersinggung. “Suasana kerja tidak sehat ini tidak diusahakan jalan keluar yang baik selama bertahun-tahun,” ujar Taufik.

 

Kapal Intan Kelana 3 yang badan kapalnya patah menyebabkan muatan tanah Ore Nikel tumpah menutupi sebagian karang dan sedimentasi serta perairan menjadi keruh di Perairan Morowali, Sulawesi Tengah pada Juni 2020. Foto : Muhammad Ramadhany

 

Persoalan tak hanya itu. GNI tercatat menyerobot lahan warga di Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Warga menggugat GNI dan anak perusahaan, PT Stardust Estate Investmen, pada 2 Juli 2021 ke PN Poso atas penyerobotan lahan 30.000 meter persegi dalam proses pembangunan pabrik GNI.Gugatan kedua warga ditolak.

“Gugatan warga tersebut ditolak hanya karena salah penulisan nama perusahaan dalam gugatan mereka, yang seharusnya “Stardust Estate Investmen”, namun ditulis “Stardust Estate Investment”,” terang Taufik.

Pada 23 Agustus 2021, GNI digugat warga Desa Bunta,  karena tanpa izin oakai lahan warga untuk jalan angkutan tambang. Gugatan warga menang dan perusahaan harus membayar ganti rugi Rp55 juta.

Jatam memandang, bentrokan antara pekerja GNI, berikut jejak kejahatan serta respons pemerintah dan pendekatan hukum aparat keamanan adalah bentuk nyata dari menguatnya kepentingan pebisnis dan elit politik penguasa di Indonesia.

“Baik TKI maupun TKA sama-sama korban. Pemerintah dan aparat keamanan justru sibuk mengkambing-hitamkan TKI, lalu menghindari realitas konflik struktural sesungguhnya,” kata April.

Mongabay berupaya konfirmasi GNI melalui email perusahaan sejak awal Februari 2023. Hingga tulisan ini rilis belum ada jawaban.

Berbagai persoalan di tambang maupun pabrik nikel ini, tak hanya terjadi di Morowali, tempat GNI beroperasi, kemungkinan di seluruh wilayah operasi perusahaan tambang.

M Tauhid dari Jatam Sulteng mengatakan,  daerah-daerah operasi produksi nikel di Sulawesi kondisi lingkungan sangat rusak. Pertambangan nikel, katanya, mengubah bentang alam dan mencemari ruang-ruang produksi dan konsumsi warga.

Dia merujuk kasus di Bahodopi, satu kecamatan di Morowali, Sulteng, yang memperlihatkan perubahan lingkungan. “Dari daratan, lautan, hingga udara, tercemar aktivitas produksi nikel,” kata Tauhid.

Pada 2021, timbunan batubara milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali,  terseret ke pembuangan air panas dari PLTU saat hujan deras dan menyebabkan air laut jadi hitam.

“Ini menyebabkan nelayan tidak bisa melaut, hasil tangkapan mereka anjlok. Kalau melaut lagi harus lebih jauh dari biasanya.”

 

Pembukaan area pertambangan nikel di Halhamera Tengah, Maluku Utara. Foto : AMAN Maluku Utara

*******

Exit mobile version