- Soal pencabutan izin tambang, kehutanan, izin pinjam pakai kawasan hutan sampai hak guna usaha perkebunan yang diumumkan Presiden Joko Widodo, sudah tahun berlalu tetapi belum terdengar lagi bagaimana perkembangannya.
- Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mendesak, pemerintah transparan dalam penataan ulang perizinan sumber daya alam ini.
- Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengatakan, tanpa ada perencanaan dan pelaksanaan yang baik, sulit eksekusi pencabutan izin seperti termaktub dalam aturan itu.
- Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB University mendesak, pemerintah menginformasikan perkembangan pencabutan izin ini kepada masyarakat demi pembenahan tata kelola hutan dan lahan.
Satu tahun berlalu, soal pencabutan izin tambang, kehutanan, izin pinjam pakai kawasan hutan sampai hak guna usaha perkebunan yang diumumkan Presiden Joko Widodo, awal Januari 2022, belum terdengar lagi bagaimana perkembangannya. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia mendesak, pemerintah transparan dalam penataan ulang perizinan sumber daya alam ini.
Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengatakan, tanpa ada perencanaan dan pelaksanaan yang baik, sulit eksekusi pencabutan izin seperti termaktub dalam aturan itu.
Pada 20 januari 2022, Presiden menandatangani Keppres Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Payung hukum ini jadi dasar bagi Pemerintah Indonesia mencabut izin konsesi kawasan hutan yang termuat dalam SK.01/MENLHK/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Sayangnya, hingga kini pemerintah belum menunjukkan keseriusan.
TuK Indonesia menemukan berdasarkan hasil skoring fungsi kawasan hutan dan kelayakan lingkungan, ada 72% areal konsesi berdasarkan SK.01/2022 layak dicabut dari segi aspek lingkungan.
“Sekitar (72%) areal konsesi itu merupakan areal fungsi hutan lindung dan fungsi hutan produksi terbatas yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam dan perkebunan sawit,” katanya saat temu media belum lama ini.
Areal itu, katanya, juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Dengan begitu, katanya, wilayah itu terindikasi punya kerentanan bencana ekologis.
Berdasarkan studi TuK Indonesia, SK MenLHK Nomor 1/2022 ada 255 izin kawasan hutan seluas 4,49 juta hektar. Ia meliputi 175 konsesi perusahaan yang dilakukan pencabutan dan 80 perusahaan kehutanan untuk evaluasi. Jumlah izin ini berbeda dengan versi pemerintah yang mencakup 298 izin meski luasan izin sama.
“Terdapat perbedaan karena detil antara luas total surat keputusan dan luas total pengolahan. Kita coba lihat perkembangan terkininya.”
Di Papua, misal, TuK menemukan izin konsesi kawasan hutan yang dicabut beralih jadi perkebunan sawit dan masih berproses, seperti PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama (Ganda), PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division (Gama), PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II), Grup TSE di Merauke, Papua.
Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan
Pada 2021, Pemerintah Papua Barat telah evaluasi perizinan pada 24 perusahaan perkebunan sawit yang terbukti melakukan pelanggaran. Namun, katanya, hanya 12 perusahaan dilakukan pencabutan izin kehutanan.
Riawan Tjandra, akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, mengatakan, dalam sebuah regulasi yang berangkai dan keputusan induk sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas ilegal.
Pada Februari 2022, di Rapat Dengar Pendapat Komisi IV bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan, soal pencabutan ini masih ada mekanisme klarifikasi. Artinya, pencabutan itu belum merupakan surat keputusan definitif karena masih ada tahap klarifikasi verifikasi.
Saat dikonfirmasi kepada Siti soal perkembangan surat keputusan atas izin-izin definitif untuk dicabut, dia tidak menjelaskan rinci.
“Yang mana? Harus lihat datanya dong, kan sebegitu banyak datanya. Musti dilihat, harus dicek bersama Pak Sekjen,” katanya saat ditanya Mongabay. Saat dikonfirmasi dengan Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK ini tak ada respon.
Baca juga: Jangan Jadikan Cabut Izin Akhir Penegakan Hukum Lingkungan
Seharusnya transparan
Pasca regulasi pencabutan itu pegiat agrarian melihat ada angin segar lahan untuk rakyat. Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB University menunggu-nunggu aksi setelah pencabutan. “Sayangnya, kami belum melihat ini mampu menjawab ketimpangan dan menciptakan keadilan,” katanya.
Satu tahun menunggu, kata Bayu, Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar. “Bagaimana pencabutan ini, apakah jadi momentum realoikasi ruang untuk menjawab ketimpangan struktur agraria di Indonesia?”
Atau, katanya pencabutan izin konsesi ini sekadar perapihan di level administrasi dan tak mampu memnyelesaikan persoalan-persoalan struktural di level tapak. Sayangnya, perkembangan pencabutan izin ini belum juga disampaikan kepada masyarakat.
“Sepanjang tidak ada transparansi, tidak ada keadilan. Kita semua tidak tau (perkembangannya) karena tidak ada transparansi. Tidak mungkin ada keadilan di ruang tertutup.”
Dia mendesak, pemerintah menginformasikan perkembangan pencabutan izin ini kepada masyarakat demi pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Salah satunya, dalam pencabutan izin hak guna usaha (HGU). Penyelesaian konflik di lapangan akan lebih mudah, kata Bayu, jika tata batas HGU bisa terbuka ke publik.
Berdasarkan penelitian Pusat Studi Agraria 2021, perusahaan sawit yang memiliki kewajiban 20% untuk masyarakat, hanya 28,96% sudah melaksanakan kewajiban dan memberikan hak ke masyarakat.
Bayu mengatakan, setelah pencabutan izin ini perlu ada pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan.
Data TuK Indonesia juga menyebutkan, jenis izin yang dicabut didominasi pada pelepasan kawasan hutan 65,6% atau 1,7 juta hektar. Adapun tiga provinsi terluas dalam pencabutan izin adalah Papua, Papua Barat dan Kalimantan Tengah.
“Ini jadi catatan, ada indikasi lemahnya pengawasan dari kementerian dan lembaga terkait,” katanya.
Berdasarkan luas izin konsesi, 46% izin dicabut pada 2022 terafiliasi dengan 40 grup perusahaan. Adapun 10 grup perusahaan teratas dengan izin dicabut, yakni, Menara, Mitra Jaya, DSN Group, Musim Mas, Salim, Austindo, Tadmax, Royal Golden Eagle, Korindo dan Sime Darby.
Dalam konteks pencabutan izin, TuK mengindikasikan, implementasi kerangka environmental, social, dan governance (ESG) lemah. Sejumlah korporasi itu juga tercatat menerima utang dan penjaminan US$26,62 miliar sepanjang 2017-2021.
Sebesar US$9,37 miliar atau 35% berasal dari BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Bank Sinar Mas. “Sejumlah pembiayaan yang disalurkan akan jadi risiko bagi penyandang dana,” ujar Edi.
Dia bilang, informasi terkait ini perlu diumumkan ke publik agar masyarakat bisa mengawasi pasca pencabutan izin.
Juniati Gunawan, Kepala Trisakti Sustainability Center, mengatakan, pencabutan izin ini seharusnya juga direspon lembaga jasa keuangan, khusus kebijakan keuangan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kasus ini bisa berkorelasi dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). “Hingga investasi berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan, memiliki jaminan hukum, serta berimbang, memiliki apresiasi dan penalti.”
Baca juga: Cabut Izin Tak Hentikan Perusahaan Sawit Buka Hutan Papua
*****