- Burung hantu lebih sering dikenal sebagai satwa yang aktif mencari makan malam hari/nokturnal ketimbang siang hari/diurnal.
- Hingga saat ini, fosil tulang kaki berusia 60 juta tahun menjadi fosil tertua nenek moyang burung hantu. Fosil burung hantu yang lengkap, namun tanpa kepala itu menjadi koleksi Institut Penelitian Senckenberg dan Museum Sejarah Alam di Frankfurt, Jerman. Fosil ditemukan di Wyoming, pada 1990.
- Sementara, sekelompok peneliti dari China berhasil mengungkap perjalanan evolusi burung hantu pada 6 juta tahun lalu. Fosil burung hantu dari spesies yang diberi nama Miosurnia diurna ini ditemukan di Provinsi Gansu, China, dari masa Miosen akhir. Diyakini, jenis ini berburu mangsa pada siang hari.
- Persaingan memperebutkan makanan para burung diurnal memicu burung hantu menjadi nokturnal.
Burung hantu lebih sering dikenal sebagai satwa yang aktif mencari makan malam hari/nokturnal ketimbang siang hari/diurnal. Para ahli berusaha mencari tahu, apakah nenek moyang satwa ini sejak awal memang bergerak malam hari.
Marc Devokaitis, dari Cornell Lab of Ornithology di Ithaca, New York, seperti dikutip Livescience mengatakan, “Burung hantu tampaknya beradaptasi menjadi burung malam dan kemudian kembali mencari makanan siang hari di beberapa titik dalam sejarah evolusinya.”
Hingga saat ini, fosil tulang kaki berusia 55 juta tahun menjadi fosil tertua nenek moyang burung hantu. Fosil burung hantu yang lengkap, namun tanpa kepala itu menjadi koleksi Institut Penelitian Senckenberg dan Museum Sejarah Alam di Frankfurt, Jerman. Fosil ditemukan di Wyoming, pada 1990.
“Fosil burung hantu tersebut seukuran burung hantu salju moderen. Namun, memiliki perbedaan ukuran cakar dengan burung hantu sekarang. Jika ukuran cakar di semua jari burung hantu saat ini sama, cakar Primoptynx poliotaurus membesar di jari kaki belakang dan jari kedua,” kata Gerald Mayr dari lembaga riset Jerman itu seperti dilansir dari phys.org.
Baca: Burung Hantu yang Tidak Perlu Kita Takuti
Proporsi jari tersebut menyerupai elang yang merupakan raptor diurnal. Mereka menusuk mangsa dengan kuku jari yang tajam. Oleh sebab itu, Mayr dan rekan-rekannya berasumsi burung hantu yang telah punah itu juga menggunakan kakinya untuk membunuh mangsanya.
“Burung hantu saat ini menggunakan paruh untuk membunuh mangsanya, sementara gaya hidup burung hantu yang telah punah ini berbeda dengan kerabat moderennya,” kata ahli burung dari Frankfurt ini.
Mayr belum memastikan mengapa burung hantu mengubah teknik berburu selama evolusi. Mereka berasumsi, mungkin itu terkait penyebaran pemangsa diurnal di Zaman Eosen akhir dan Oligosen awal sekitar 34 juta tahun lalu. Persaingan memperebutkan makanan para burung diurnal memicu burung hantu menjadi nokturnal.
Baca: Ini 10 Fakta Menarik tentang Burung Hantu
Sementara, sekelompok peneliti dari China berhasil mengungkap perjalanan evolusi burung hantu pada 6 juta tahun lalu. Fosil burung hantu dari spesies yang diberi nama Miosurnia diurna ini ditemukan di Provinsi Gansu, China, dari masa Miosen akhir. Diyakini, jenis ini berburu mangsa pada siang hari.
Zhiheng Li, pakar dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology, Academy of Sciences, Beijing menerangkan berdasarkan ukuran dan bentuk rongga mata fosil menunjukkan burung hantu ini mencari makan siang hari, saat sinar matahari melimpah.
Hasil penelitian yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Science [PNAS] pada Maret 2022, menjelaskan fosil ini memiliki rongga mata memanjang dengan cincin tulang di sekitar mata. Rasio optik dan ukuran mata tersebut mirip dengan burung hantu diurnal moderen. Sementara tulang telinga menunjukkan tepi luar yang lebih besar dan tepi dalam yang lebih kecil.
Baca juga: Inspirasi Burung Hantu pada Teknologi Peredam Suara
Dipaparkan juga bahwa burung hantu yang telah punah ini berasal dari klan Surniini yang menjadi leluhur sebagian besar spesies burung hantu diurnal yang masih ada. Selain kesesuaian bentuk tulang mata dengan burung diurnal, para ahli juga menyatakan secara filogenetik masa hidup burung ini bersamaan dengan berubahnya kebiasaan nokturnal burung hantu.
Kemungkinan, pada periode Miosen burung hantu diurnal dan krepuskular [aktif di peralihan senja dan fajar] tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ini mungkin berhubungan dengan meluasnya habitat padang rumput dan iklim yang menjadi dingin pada Miosen akhir. Bersama burung-burung lain, burung hantu berburu mamalia kecil di padang rumput yang tumbuh di dataran tinggi Tibet.
Sebagai informasi, di dunia terdapat sekitar 200 spesies burung hantu yang tersebar luas, kecuali di Antartika. Burung hantu dikenal memiliki penglihatan dan pendengaran tajam. Kepalanya mampu berputar 270 derajat dan suara kepakan sayapnya nyaris senyap. Semua kemampuan ini membantunya menjadi pemburu yang efektif. [Berbagai sumber]