- Tedong-tedong adalah jenis kerang yang digemari masyarakat pesisir dan pulau kecil.
- Selain dagingnya dikonsumsi sebagai sumber protein, cangkangnya juga dijadikan sebagai hiasan.
- Pengambilan di alam yang banyak, dikhawatirkan terjadinya eksploitasi berlebihan, terlebih pertumbuhan kerang ini sangat lambat.
- Diperlukan pengelolaan lestari untuk keberlanjutan tedong-tedong.
Bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil, ikan bukanlah satu-satunya sumber protein untuk kebutuhan gizi keluarga. Dalam pandangan mereka, laut memiliki banyak sumber untuk kebutuhan pangan, termasuk kerang-kerangan.
Di pesisir Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, jenis kerang yang dikenal dengan nama tedong-tedong merupakan spesies favorit yang dicari masyarakat. Bentuknya sangat unik dan mudah dikenali.
Berbeda dengan jenis kerang lain, tedong-tedong memiliki tonjolan memanjang berjarak seperti halnya gergaji, namun tumpul pada ujungnya. Ukurannya lebih besar dibandingkan kerang dara yang juga biasa dijadikan makanan.
“Daging tedong-tedong dalam cangkangnnya lebih besar,” kata Rendy Minggu, warga Desa Jayabakti, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kepada Mongabay Indonesia, awal Maret 2023.
Baca: Sering Dijadikan Umpan Pancing, Kelomang Memiliki Fungsi Penting untuk Lingkungan
Menurut Rendy, kerang ini diambil ketika air surut dan biasanya didominasi kaum perempuan. Untuk mencari tedong-tedong, persiapannya cukup dengan membawa ember sebagai wadah serta sebuah parang. Bahkan ada juga yang membawa karung karena jumlah kerang yang ditemukan sangat banyak.
“Umumnya, tedong-tedong dimasak dengan dua cara. Pertama, direbus sekalian dengan cangkangnya kemudian dagingnya ditarik. Kedua, dibakar. Jika dibakar harus dipecahkan cangkangnya. Rasanya sangat enak,” ujarnya.
Selain dagingnya dimakan, cangkang kerang ini juga dijadikan hiasan dan dekorasi meja di rumah. Bahkan, jika ditelusuri di toko-toko online, banyak yang menjual cangkangnya sebagai perhiasan dengan harga bervariasi.
Baca: Asal Mula Masakan Rica-rica Khas Manado dan Sumber Pedasnya
Penelitian
Kerang tedong-tedong memiliki nama ilmiah Lambis lambis [Lambis Sp]. Penelitian di Desa Dwiwarna di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, yang dilakukan oleh Budiono Senen, Jenny Abidin, dan Rahmat A. Sulaiman, menjelaskan bahwa kerang ini sering kali ini ditemukan berasosiasi dengan padang lamun serta pada patahan karang mati.
Meski demikian, dalam penelitian mereka berjudul “Potensi Lambis Sp [Siput Gai-Gai] di Perairan Pantai Desa Dwiwarna Kecamatan Banda Maluku Tengah” dalam Jurnal Ilmu Perikanan & Masyarakat Pesisir [Februari 2022], dipaparkan bahwa perkembangbiakan satwa ini sangat lambat. Sementara, penangkapan di alam berjalan cepat. Hal ini menyebabkan terjadinya tekanan terhadap populasi tedong-tedong.
“Kebiasaan masyarakat yang mengambil kerang ini lama kelamaan akan mengakibatkan over eksploitasi jika tidak diiringi dengan pengetahuan atau informasi dasar yang diberikan kepada masyarakat setempat,” ungkap para penulis.
Baca juga: Kepiting Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia yang Suka Makan Kelapa
Sebelumnya, penelitian lain yang menyatakan hal serupa dilakukan Andriani Widyastuti dan Ludi Parwadani Aji dari UPT Loka Konservasi Biota Laut Biak LIPI, Papua [2016]. Menurutnya keduanya, kerang Lambis lambis terindikasi mengalami over eksploitasi karena sangat digemari masyarakat.
Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena jika melihat dalam jangka panjang, keberadaannya di alam semakin berkurang.
“Karena tidak ada kesempatan untuk bereproduksi secara alami,” tulis mereka.
Diperlukan strategi pengelolaan lestari dalam mengubah kebiasaan penduduk lokal yang sering mengambilnya dalam semua ukuran.
Rekomendasi yang disarankan dalam pengelolaan tersebut, khususnya untuk wilayah timur Indonesia seperti Papua yang memiliki aturan adat sasi, di antaranya adalah melakukan penutupan area penangkapan saat kerang ini berada pada puncak pemijahan.
“Disarankan juga agar penangkapannya hanya boleh dilakukan pada individu dewasa dengan ukuran cangkang minimal 7 cm,” ungkap para peneliti.