- Masalah-masalah pengelolaan kawasan perikanan dinilai masih banyak, sedangkan kapasitas SDM dan sarana, serta anggaran disebut terbatas.
- Sejumlah pihak membahas rancangan Roadmap Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) Wilayah Pengelolaan Perikanan 712, 713, 714 dan 573.
- Masalahnya beragam mulai dari hulu sampai hilir seperti penangkapan ikan merusak, banyak rumpon tanpa izin, sampah laut, dan lainnya.
- Banyaknya aplikasi dan sistem pengawasan berbasis digital namun tidak sinkron juga menyulitkan pengawasan.
Masalah pengawasan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dinilai sangat beragam dan saling berkelindan. Salah satu hal yang merisaukan adalah banyaknya aplikasi atau sistem digital yang dibuat banyak pihak namun tidak sinkron sehingga tak memudahkan pengawasan secara menyeluruh.
Sejumlah pemetaan masalah lain adalah minimnya anggaran pengawasan, kualitas dan distribusi sumberdaya manusia pengawas, sarana prasarana, dan efektivitas tata kelolanya. Hal ini muncul dalam diskusi terfokus selama dua hari pada 9-10 Maret 2023 di Sanur, Denpasar, Bali oleh Ocean Solution Indonesia (OSI).
OSI menyelenggarkan FGD dengan stakeholder provinsi untuk membahas dan mendiskusikan rancangan Roadmap Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) WPP 712, 713, 714 dan 573. Meliputi perairan Laut Jawa, perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali, perairan Teluk Tolo, dan Laut Banda. Sedangkan WPP 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat.
Pengawasan di WPP itu dinilai perlu ditingkatkan karena masih banyak temuan masalah. Misalnya trolling, tumpahan minyak, pengeboman, sampah, kerusakan di kawasan konservasi, dan rumpon tanpa izin.
Masalah lain adalah penangkapan ikan di wilayah perairan yang tidak sah, penggunaan alat tangkap yang dilarang, seperti cantrang, arad, bom dan bius, pelanggaran spesies, seperti benih lobster, penyelundupan BBM, penambangan karang, konversi lahan, penambangan pasir laut, perizinan tambak udang dan pungli. Selain itu juga terdapat permasalahan tumpang tindih dan gap dalam kebijakan dan kewenangan penanganan pelanggaran atau tindak kriminal di ruang laut dan pesisir.
Hal ini disampaikan sejumlah pihak seperti PSDKP, Polair, Dinas Kelautan dan Perikanan, BPSPL Denpasar, peneliti, LSM, dan lainnya. Terutama yang bekerja di pengawasan kawasan perairan Bali, NTB, dan NTT.
baca : Ini Tantangan Pengembangan Perikanan Tangkap dan Budidaya di NTT
Di sisi lain, upaya penanggulangan isu tersebut dihadapkan permasalahan keterbatasan kebijakan dan program, anggaran, infrastruktur, dan kapasitas kelembagaan.
Zulficar Moctar, CEO OSI mengatakan pengawasan ini dilakukan secara vertikal antara pusat dan daerah, dan secara horizontal oleh instansi penegak hukum lainnya. Pendekatan dan paradigma penanganan pelanggaran saat ini telah berubah dengan penekanan sanksi administrasi dalam kerangka restorative justice.
Berdasarkan hasil studi OSI tahun 2022 menunjukkan bahwa tantangan utama dalam MCS IUU Fishing di WPP-NRI 712, 713, 714 dan 573 adalah focus MCS IUU Fishing yang dilakukan saat ini masih dominan pada dimensi saat melaut, akibatnya biaya yang diperlukan sangat tinggi. Sementara MCS pada tiga dimensi lainnya masih belum banyak dilakukan secara baik seperti belum memadainya infrastruktur dan sumber daya manusia pengawasan di 18 provinsi yang ada disekitar WPP-712, 713, 714 dan 573. Hal lain, belum optimalnya kerjasama antar pemerintah pusat dan provinsi serta antar provinsi di sekitar WPP tersebut melakukan MCS IUU Fishing, dan minimnya dukungan anggaran pengawasan IUUF pada APBD 18 provinsi tersebut.
Gede Yudana, tim Pengawas DKP Bali mengakui pihaknya tidak memiliki cukup anggaran pengawasan, karena dipotong saat pandemi Covid-19. Pengawasan dengan sumberdaya terbatas dibantu Pokwasmas. Masalah yang ditemuinya antara lain pembuangan sampah dari kapal misalnya ferry di Pelabuhan Padangbai, pembuangan oli bekas, dan jalur ferry Jawa Timur ke Lembar yang dikeluhkan nelayan. Nelayan mengeluh jaring gillnet berisiko tertarik.
Masalah lain di Teluk Benoa adalah tata ruang di jalur Tahura Mangrove Ngurah Rai, seperti ada ponton pondok rumah makan dan banyaknya bangunan menjorok ke laut. “Warga saling melaporkan,” katanya.
baca juga : Transparansi Kunci Tata Kelola Kelautan dan Perikanan
Derta Prabuning, Yayasan Reef Check Indonesia menilai koordinasi penanganan kasus belum komprehensif. Apalagi penindakan hanya dari peristiwa-peristiwa viral di media sosial, seperti penyelam WNA mencoret terumbu karang, dan lainnya.
Gede Arya, dari stasiun pangkalan PSDKP Benoa menyebut pernah memantau kasus tumpahan minyak di perairan NTT. Ada juga kasus kapal nelayan yang kerap tertangkap di perairan Australia. “Tiap tahun pasti ada. Boleh menangkap asal pakai layar, tapi sekarang semua kapal bermesin,” katanya. Penangkapan yang merusak juga masih terjadi di sejumlah perairan dan banyaknya rumpon hampir semua tidak berizin. Pelanggaran lain seperti tumpahan minyak dan reklamasi.
Masalah sampah laut juga jadi perhatian Pokwasmas Mina Werdhi Batu Lumbang Denpasar. Mereka menyebut tak pernah berhenti memungut sampah, misalnya 2 karung per hari. Dalam sebulan bisa mengumpulkan sekitar 5 ton sampah basah. Padahal beberpa jalur sungai sudah diisi jaring sampah.
baca juga : Pencemaran Laut Terus Terjadi di NTB dan NTT, Pemerintah Diminta Bersikap Tegas
Sugianur, Kasi Pengawasan Dinas Kehutanan dan Kelautan NTB juga menyampaikan masalah rumpon dan kapal-kapal yang tidak berizin. Untuk mengantisipasi minimnya anggaran, pemerintah daerah membentuk Badan Layanan Umum Daerah sehingga bisa memanfaatkan pemasukan dari perizinan usaha. Misal tarif retribusi untuk melakukan pengawasan selain dana APBD. “Mekanismenya lebih fleksibel dibanding penggunaan APBD,” sebutnya. Ia mencontohkan kerjasama dengan perusahaan penambangan emas untuk pembiayaan pengawasan laut.
Masalah klasik lain dari pengawasan WPP ini adalah tansformasi digital di bidang kelautan dan perikanan. Aplikasi ini dinilai perlu disinkronisasi. “Banyaknya aplikasi namun tidak terkoneksi satu sama lain. Banyaknya dokumen yang harus diperiksa, jika ada intergrasi digital lebih mudah dan cepat,” sebut Zulfikar.
Selain aplikasi yang bisa diunduh, tiap lembaga juga membuat ragam sistem digitalisasi misal e-SLO, e-logbook, SMS gateway, smart patrol, dan lainnya.
Sejumlah rekomendasi dari diskusi ini adalah transformasi digital dan adopsi teknologi. Tim pengawasan dapat mengadopsi dan disesuaikan, karena banyak teknologi namun masih belum terkonfirmasi. Inovasi anggaran daerah dan efisiensi, harmonisasi kebijakan, dan tata laksana yang optimal.
Selain itu ada sistem pelaporan mandiri dan sertifikasi agar perusahaan memiliki ruang untuk melakukan pelaporan. Kualifikasi dan distribusi SDM pengawasan dan memiliki kewenangan penyidikan.