- Sebuah pulau tujuan wisata di Yunani bernama Zakynthos beberapa waktu lalu menjadi perhatian para arkeolog dan geolog. Penyebabnya, ada penyelam yang menemukan bangunan sisa peradaban kuno di bawah laut.
- Bangunan yang mereka temukan itu ada yang menyerupai tiang, ubin, juga lingkaran seperti donat.
- Hasilnya, apa yang sebelumnya dianggap reruntuhan sebuah kota itu ternyata buatan alam, tepatnya dibuat oleh mikroba.
- Menurut para peneliti, kemampuan mikroba membuat bangunan bisa digunakan untuk menginspirasi manusia membangun kota di masa depan.
Sebuah pulau tujuan wisata di Yunani bernama Zakynthos beberapa waktu lalu menjadi perhatian para arkeolog dan geolog. Penyebabnya, ada penyelam yang menemukan bangunan sisa peradaban kuno di bawah laut. Tidak terlalu dalam, sekitar 2 hingga 5 meter di bawah. Namun, lokasi penemuan cukup luas, lebarnya 20 hingga 30 meter dengan panjang hingga 180 meter.
Bangunan yang mereka temukan itu ada yang menyerupai tiang, ubin, juga lingkaran seperti donat. Apakah bangunan tersebut berasal dari sebuah kota yang hilang?
Pemerintah setempat pun bekerja sama dengan peneliti University of Athens, the Ephorate of Underwater Antiquities of Greece, dan University of East Anglia, Inggris guna memastikan bangunan itu.
“Memang terlihat seperti potongan-potongan pondasi sebuah bangunan dan juga seperti lantai datar. Tapi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain, seperti tembikar dan peralatan rumah tangga,” kata Julian Andrews, profesor bidang sains lingkungan dari University of East Anglia, Inggris, seperti diberitakan Mongabay sebelumnya.
Hasilnya, apa yang sebelumnya dianggap reruntuhan sebuah kota itu ternyata buatan alam, tepatnya dibuat oleh mikroba. Hasil kajian ini dipublikasikan dalam Jurnal Marine and Petroleum Geology, 2016.
Baca: Bangunan Kuno Bersejarah di Dasar Laut Ini Bukanlah Buatan Manusia
Dengan menggunakan mikroskop dan sinar x untuk mengamati kandungan mineral dan tekstur dari formasi bangunan itu, para peneliti menemukan ada semburan metana dari dalam Bumi. Semburan itu melewati patahan di dasar samudra.
“Kerak Bumi mirip reservoir yang mudah bocor,” kata Andrews seperti dikutip The Guardian.
Bakteri telah memanfaatkan karbon dalam semburan metana itu sebagai sumber energi, dengan berkerumun dekat lubang dan rekahan. Mereka mengonsumsi gas dan secara bertahap menyisakan produk sampingan berupa kalsium. Reaksinya dengan metana yang teroksidasi itu, menciptakan semacam semen alami, dalam proses yang disebut concretion.
Menurut Andrews, bulatan berbentuk donat dengan struktur seperti kolom dihasilkan oleh mikroba yang berkumpul di sekitar lubang, memuntahkan gas. Sementara formasi kotak-kotak seperti ubin disebabkan rembesan metana yang lebih lambat dan menyebar. Teksturnya datar mirip lantai yang diperkeras di dasar laut.
Baca: Studi: Resistensi Antimikroba Meningkat Karena Polusi dan Perubahan Iklim
Memanfaatkan mikroba
Jika mikroba mampu membuat bangunan seperti karya manusia, apakah manusia bisa memanfaatkannya untuk membangun sebuah kota?
Seorang profesor teknologi di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Lanskap di Newcastle University, Inggris, sekaligus wakil direktur untuk bagian Bioteknologi pada Lingkungan Buatan punya penjelasan menarik.
Menurut Martyn Dade-Robertson, bangunan yang dibuat bakteri itu sebenarnya sangat umum dijumpai. Dia mencontohkan plak atau karang gigi di rongga mulut. Itu sebenarnya sebuah biofilm yang memiliki struktur kompleks, dibangun oleh bakteri yang hidup di sana.
“Para peneliti sekarang melakukan percobaan menggunakan kemampuan bakteri dalam membangun sesuatu untuk dunia manusia. Misalnya, kita dapat membuat beton yang bisa memberbaiki dirinya sendiri dengan menggunakan bakteri untuk memineralisasi retakan,” tulisnya, dikutip dari The Conversation.
Bahkan, lanjutnya, dimungkinkan untuk membuat biosemen berbasis bakteri seperti proses yang terjadi dengan mikroba yang membangun struktur bangunan di perairan Zakynthos.
Bersama koleganya, Dade-Robertson tengah melakukan penelitian tentang pemanfaatan kemampuan mikroorganisme untuk merasakan dan merespon lingkungannya, dan menambahkannya pada struktur mereka sendiri.
“Bayangkan jika kita bisa melapisi dasar bangunan dengan bakteri yang bereaksi ketika merasakan tekanan mekanik dengan mengikat butiran tanah di sekitarnya. Ini berarti kita bisa membuat pondasi yang dibangun sendiri [swapondasi] dengan cara hanya membuat tekanan yang tepat di tanah tanpa harus menggali dan memasang pelat beton bertulang yang mahal.”
Menurutnya, hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan kemampuan bakteri itu dalam merespon tekanan. Kemampuan ini dipakai untuk memicu proses biomineralisasi dan produksi material bahan pengikat baru termasuk polimer.
“Situs di Zakynthos mungkin mengecewakan secara arkeologis, tetapi ini telah mengungkapkan sesuatu tentang cara bagaimana kita membangun [kota] di masa depan,” paparnya.