- Suara, teriakan protes dan keluhan warga seakan tak berarti. Pemerintah bersikukuh jadikan lahan di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai lokasi pertambangan batu andesit untik penuhi pasokan bahan baku pembangunan Bendungan Bener. Penolakan warga bahkan dijawab pemerintah dengan mengambil jalan pintas, konsinyasi uang di pengadilan.
- Setelah BPN keluarkan surat soal ‘konsinyasi’, BBWS–SO mengirimkan surat terbaru. Dalam surat itu, BBWS menyampaikan ada rencana pengukuran, identifikasi dan inventarisasi bidang-bidang tanah milik warga. Dhanil Alghifary, pengacara warga dari LBH Yogyakarta mengatakan, surat itu, tak akan menyelesaikan persoalan, hanya akal-akalan pemerintah untuk memenuhi tahapan formal ketika konsinyasi masuk ke pengadilan.
- Syukron Salam, pengajar Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang juga perwakilan Solidaritas Akademisi untuk Desa Wadas (Sadewa) menilai, mekanisme konsinyasi tidak hanya menyalahi ketentuan juga bentuk intimidasi terhadap warga yang menolak tambang andesit.
- Kendati warga menolak, pemerintah jalan terus. Bahkan, akses jalan menuju lahan yang akan ditambang pun mulai dibuka. Dampaknya, material tanah dan lumpur amblas terbawa banjir ke permukiman. Dalam rekaman video dan beberapa foto yang diperoleh Mongabay, terlihat rumah-rumah warga dan jalanan terendam banjir dan lumpur. Di beberapa lokasi, ketinggian air bahkan mencapai lutut orang dewasa hingga tak bisa dilewati.
Pemerintah bersikukuh jadikan lahan di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai lokasi pertambangan batu andesit untik penuhi pasokan bahan baku pembangunan Bendungan Bener. Penolakan warga bahkan dijawab pemerintah dengan mengambil jalan pintas, konsinyasi uang di pengadilan.
Kepastian itu diperoleh dari surat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada kepala desa tertanggal 10 Maret lalu. Dalam surat bernomor: AT.02.02/688-33.06/III/2023 itu, BPN meminta kepada warga penolak tambang segera mengumpulkan berkas inventarisasi lahan.
Permintaan itu berlaku hingga 24 Maret 2023. Kalau tidak, maka BPN (atau para pihak pemrakarsa) akan melakukan mekanisme “konsinyasi,”atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan.
Dhanil Alghifary, pengacara warga dari LBH Yogyakarta, membenarkan surat dari BPN itu. Intinya, surat tertanggal 10 Maret itu meminta warga mengumpulkan berkas-berkas.
“Kami membuka beberapa kali ruang dialog dengan BBWS SO, dengan Kantor Pertanahan Purworejo, hingga Gubernur Jawa Tengah..Kami sudah ke kantor Pertanahan, audiensi disana bersama BBWS juga disana.”
Intinya, warga meminta supaya tak ada konsinyasi. “Sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Di gubernur pun demikian.”
Menurut Dhanil, sebelumnya mereka juga menggelar audiensi dengan Gubernur Jateng di sekitar Bawen guna menyampaikan hal yang sama. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) dan BPN Purworejo turut hadir.
Dalam pertemuan itu, Gubernur Ganjar menyanggupi tidak konsinyasi. “Kalau dari Gubernur prinsipnya menyampaikan, Ok, tidak Konsinyasi. Tetapi, warga harus mau dialog dengan BBWS,” kata Dhanil ceritakan hasil pertemuan dengan gubernur itu.
Baca juga: Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener
Menindaklanjuti itu, mereka beberapa kali menggelar pertemuan dengan BBWS-SO. Sejauh ini, pelaksana proyek itu tidak memberikan kejelasan soal konsinyasi.
Terkini, BBWS-SO justru mengirimkan surat terbaru. Dalam surat itu, BBWS menyampaikan ada rencana pengukuran, identifikasi dan inventarisasi bidang-bidang tanah milik warga.
“Intinya, pengukuran dan penghitungan tanam tumbuh-lah.”
Surat terbaru itu, katanya, tak akan menyelesaikan persoalan. Dia nilai, surat itu hanya akal-akalan pemerintah untuk memenuhi tahapan formal ketika konsinyasi masuk ke pengadilan.
Konsinyasi, kata Dhanil, sejatinya metode pembayaran. Sesuai ketentuan UU, mekanisme itu hanya berlaku ketika, si pemilik lahan atau penerima hak tak ada di lokasi. Atau lahan dimaksud masih sengketa antara warga dengan warga lain. Karena belum ada kejelasan kepada siapa diberikan, ganti rugi itu titip ke pengadilan.
Dalam konteks Wadas, katanya, hal itu jelas berbeda. Yang terjadi bukan obyek masih sengketa atau pemilik lahan tak jelas tetapi warga menolak melepaskan lahan.
“Iini pemerintah yang memang ingin merampas tanah warga secara paksa melalui konsinyasi itu,” tegas Dhanil.
Karena secara normatif tak bisa dilakukan, pemerintah membuat surat kedua untuk menyampaikan tahapan penghitungan secara formal.
Menurut Dhanil, apa yang dilakukan pemerintah tak jauh beda dengan pola di Kulonprogo, kepada warga penolak lahan mereka lepas untuk bandara di Yogyakarta itu.
Kala itu, karena warga menolak melepas lahan, pemerintah kemudian melakukan pengukuran. Warga juga menolak pengukuran, pemerintah hanya menghitung ganti rugi berdasar data yang mereka punya.
Setelah itu, pemerintah mengeluarkan daftar nominal dan peta bidang, baru musyawarah ganti rugi. Karena tiga kali diundang musyawarah tidak hadir, pemerintah menganggap warga setuju.
Tahapan berikutnya, bisa ditebak, kata Dhanil, pemerintah menjalankan skema konsinyasi, menitipkan ganti kerugian ke pengadilan.
“Dengan kata lain, apa yang dilakukan pemerintah pada proyek pembangunan Bandara Kulonprogo ini akan coba diterapkan pada warga Wadas. Jadi, tanam tumbuh tidak dihitung waktu itu,” katanya, menduga berkaca pada kasus di Kulonprogo.
“Kalau tidak, kenapa tiba-tiba mengeluarkan surat tanggal sekian akan dilakukan pengukuran? Ya untuk formalitas aja, seolah-olah pemerintah sudah menjalankan tahapan-tahapannya.”
Sejak awal, masyarakat tak mau lepas lahan. Mereka khawatir tambang andesit hanya akan merusak ruang hidup.
Baca juga: Kasus Desa Wadas, Pakar: Cara Pembangunan Rawan Rugikan Rakyat
Syukron Salam, pengajar Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang juga perwakilan Solidaritas Akademisi untuk Desa Wadas (Sadewa) menilai, mekanisme konsinyasi tidak hanya menyalahi ketentuan juga bentuk intimidasi terhadap warga yang menolak tambang andesit.
“Ini cara kotor negara untuk mengambil paksa tanah rakyat,” katanya kepada Mongabay, 8 April lalu.
Pada akhirnya, surat ancaman konsinyasi itu diperbarui dengan surat tertangal 5 Maret yang menyampaikan ada rencana pengukuran dan inventarisasi. Namun, kata Syukron, langkah ini juga dinilai tidak tepat. Ada logika keliru pemerintah.
“Bagaimana mungkin, setelah mengancam akan konsinyasi, baru mengirim surat untuk inventarisasi. Ini kan jalan mundur.”
Dia pun curiga bila surat ‘inventarisasi’ itu ujungnya juga hanya untuk memuluskan rencana konsinyasi.
Syukron menilai, ada beberapa argumen mengapa konsinyasi dinilai cacat, antara lain, regulasi konsinyasi tidak mengatur tentang pertambangan.
Menurut dia, Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum, membuka ruang konsinyasi. Namun, katanya, dengan tegas menyebutkan, konsinyasi hanya bisa bila “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau obyek tanah sedang dalam perkara di pengadilan. “Masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan, atau masih jadi jaminan bank.”
Kalau merujuk ketentuan itu, katanya, aksi pemerintah tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi.
Baca juga: Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)
Syukron bilang, merujuk pada ketentuan pasal itu, jelas pertambangan tidak termasuk dalam obyek peruntukan untuk kepentingan umum.
“Artinya, pertambangan bukanlah bagian dari obyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum.”
Lebih dari itu, kata Syukron, konsinyasi semata sebagai bentuk perampasan tanah warga oleh negara. “Jadi, dengan alasan apapun kebijakan itu tidak dapat dibenarkan.”
Dia katakan, perampasan tanah warga merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, sebagaimana Pasal 28A UUD 1945. Tindakan itu, tak hanya menghilangkan hak atas tanah warga, juga sumber kehidupan mereka.
Syukron bersama para akademisi yang tergabung dalam Sadewa sepakat menyebut, konsinyasi pemerintah sebagai bentuk intimidasi, cara kotor negara untuk mengambil paksa tanah rakyat atas nama pembangunan.
“Kami mendukung sikap warga Desa Wadas menolak dengan tegas mekanisme konsinyasi itu.”
Dia juga menyerukan, para akademisi berhenti diperalat kekuasaan. Akademisi, katanya, harus berdiri bersama barisan rakyat sebagai intelektual publik, bukan menjadi stempel kebijakan pemerintah.
Dia juga meminta Komnas HAM mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga Wadas. Negara, katanya, harus menghargai sikap warga yang tak mau melepas tanah mereka.
Dia juga menyerukan seluruh kelompok masyarakat sipil memberikan solidaritas tanpa batas kepada warga Wadas. “Solidaritas ini adalah ujian kewarasan intelektual kita. Simbol perlawanan kita terhadap mekanisme dan praktik penyelenggaraan proyek strategis nasional yang menindas rakyat.”
Sadewa merupakan wadah solidaritas para akademisi terhadap konflik agraria di Wadas. Mengutip Kika.or.id, ada 113 akademisi dari berbagai kampus di Indonesia bergabung dalam wadah ini.
Banjir lumpur
Kendati warga menolak, pemerintah jalan terus. Bahkan, akses jalan menuju lahan yang akan ditambang pun mulai dibuka. Dampaknya, material tanah dan lumpur amblas terbawa banjir ke permukiman pada penghujung Maret lalu.
Dalam rekaman video dan beberapa foto yang diperoleh Mongabay, terlihat rumah-rumah warga dan jalanan terendam banjir dan lumpur. Di beberapa lokasi, ketinggian air bahkan mencapai lutut orang dewasa hingga tak bisa dilewati.
Budin, warga setempat menyebut, banjir dengan lumpur pekat itu dampak pembukaan untuk akses jalan ke lokasi tambang andesit. Akibatnya, beberapa akses jalan pun tak bisa dilewati. Sebelumnya, kejadian seperti ini tak pernah terjadi.
“Bagaimama ndak banjir. Saluran-saluran itu akhirnya berubah semua, bahkan macet. Jadi ya ambyar semua air dan lumpur ke jalan-jalan dan rumah warga.”
Budin tak ingin melepaskan lahannya. Dia khawatir pertambangan kian membawa dampak buruk.
******