- Para perempuan yang tergabung dalam Wanita Peduli Lingkungan (Wadulink) di Desa Sumengko, Gresik, Jawa Timur, menjaga sungai sekaligus memanfaatkan tanaman di tepian kali, seperti kelor, untuk jadi beragam pangan. Hasil olahan kelor tak hanya untuk konsumsi sendiri, juga dijual.
- Gotri, dari Wadulink Sumengko mengatakan, bantaran sungai merupakan sumber pangan melimpah. Bantaran sungai selalu bermanfaat, banyak tanaman sayur, salah satu kelor yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai olahan makanan.
- Wadulink dibentuk sekitar 2016, terinspirasi dari gerakan peduli lingkungan yang dikampanyekan Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), soal kondisi air Sungai Brantas.
- Nur Hamidah, Koordinator Wadulink mengatakan, sebelum mengolah kelor, bersama beberapa anggota Wadulink bersih-bersih sekitar bantaran sungai dulu untuk menjaga kebersihan sungai.
Langit tak begitu berawan di atas Desa Sumengko, Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, pagi itu. Cahaya matahari menembus celah-celah daun kelor yang tumbuh di bantaran anak Sungai Brantas.
Sekelompok perempuan tengah sibuk bersih-bersih di sekitar bantaran sungai. Sebagian menancapkan batang kelor. Mereka tanam dengan cara stek. Para perempuan ini juga mengukur kualitas air sungai itu.
Beberapa jam kemudian, mereka berpencar ke beberapa sudut memetik daun kelor. Mereka berbagi tugas. Sebagian memetik daun demi daun. Sebagian bertugas mengumpulkan hasil petik.
Setelah cukup, mereka bergegas ke salah satu rumah. Ada yang menghidupkan api, ada yang aduk tepung dan bahan-bahan yang sudah disiapkan. Ada juga yang membilas daun kelor. Para perempuan ini tergabung dalam Wanita Peduli Lingkungan (Wadulink).
Mereka panen sekitar tiga kilogram daun kelor untuk jadi kerupuk kelor (pulor), tepung moringa, brownies moringa sampai teh moringa. Para perempuan ini memanfaatkan kelor yang tumbuh di bantaran sungai ini.
“Kami memproduksi pulor untuk jual sebagai usaha sampingan Kami juga konsumsi sendiri. Selama ini kebanyakan orang memanfaatkan kelor hanya untuk sayur bening. Melalui Wadulink, kelor bisa jadi produk bernilai ekonomi,” kata Nur Hamidah, Koordinator Wadulink.
Gotri, anggota Wadulink Sumengko mengatakan, bantaran sungai memiliki sumber pangan melimpah. “Bantaran sungai selalu menyuguhkan manfaat bagi kami, banyak tanaman sayur salah satu kelor yang bisa kami manfaatkan untuk berbagai olahan makanan,” katanya.
Saat ini, bantaran sungai banyak beralih fungsi jadi bangunan permanen bukan lagi ruang terbuka hijau (RTH). Dia menyayangkan itu. “Kalau sungai ada bangunan permanen, tak tidak bisa ditanami sayuran dan toga.”
Dia berharap, bantaran sungai berfungsi sebagai RTH yang bisa mendukung perekonomian masyarakat di sepanjang sungai.
Nur mengatakan, sebelum mengolah kelor, bersama beberapa anggota Wadulink bersih-bersih sekitar bantaran sungai dulu untuk menjaga kebersihan sungai. Kemudian, menanam bibit sekaligus diskusi tentang isu stunting.
“Kami juga kolaborasi dengan beberapa ibu-ibu PKK, Kader Kesehatan Desa, dan beberapa pemuda dari organisasi IPPNU.”
Mereka sedang belajar pengembangan olahan kelor, misal, jadi kue kering berbahan kelor. Daun kelor, katanya, bisa mencegah anak dari stunting karena kaya gizi.
Nur menceritakan, Wadulink dibentuk sekitar 2016, terinspirasi dari gerakan peduli lingkungan yang dikampanyekan Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), soal kondisi air Sungai Brantas.
“Sejak awal Wadulink berdiri, kami dapat support dari Ecoton untuk terus menjaga kelestarian lingkungan sungai dan bisa memanfaatkan hasil dari lingkungan sungai jadi nilai ekonomi,” katanya.
Tonis Afrianto Pegiat Zero Waste dari Ecoton mengatakan, alih fungsi lahan bantaran jadi bangunan permanen sudah sejak dulu, saat ini lebih masif.
Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Brantas sudah sosialisasi termasuk pasang papan imbauan namun tidak digubris.
Dia mengapresiasi Wadulink. Mereka, katanya, berupaya mempertahankan bantaran kali jadi RTH dan menanami dengan tanaman pangan.
*******