- Bertahun-tahun Laut Natuna Utara (LNU) menjadi lokasi yang sering diperebutkan oleh sejumlah negara yang berbatasan langsung. Salah satunya, adalah Vietnam yang sangat aktif memperjuangkan wilayah tersebut untuk menjadi bagian dari mereka
- Indonesia sebagai pemilik zona ekonomi eksklusif (ZEE) di LNU juga tak kalah gigihnya untuk mempertahankan wilayah tersebut. Mengingat, ada klaim dari Vietnam yang membuat ZEEI menjadi wilayah perairan abu-abu
- Upaya Vietnam tersebut mendorong banyak kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak tercatat resmi, dan melanggar aturan (IUUF)
- Untuk mengatasinya, kedua negara menyepakati perjanjian batas wilayah yang baru pada Desember 2022. Namun, empat bulan setelahnya hingga sekarang, tidak ada perubahan signifikan, karena kegiatan IUUF oleh KIA Vietnam masih saja ada
Empat bulan setelah kesepakatan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam di wilayah Laut Natuna Utara (LNU) ditetapkan, aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (IUUF) yang dilakukan kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam masih terus berlangsung hingga sekarang.
Seharusnya, jika merujuk pada ketetapan yang dilaksanakan pada Desember 2022 itu, aktivitas IUUF tidak akan dilakukan lagi di wilayah perairan laut yang sudah disepakati. Tetapi, pada kenyataannya kondisi tersebut tidak bisa berlangsung ideal.
Salah satu sebab kenapa kegiatan IUUF masih terus berlangsung di wilayah perairan LNU yang sebelumnya menjadi wilayah abu-abu bagi kedua negara, tidak lain adalah karena sampai saat ini belum ada publikasi atau pernyataan resmi dari masing-masing negara.
Persoalan tersebut menjadi perhatian dan dilakukan analisis oleh Indonesia Ocean Initiative Justice (IOJI) selama rentang waktu Januari sampai Maret 2023. Menurut IOJI, akibat ketiadaan publikasi, sampai sekarang belum diketahui titik koordinat yang disepakati oleh kedua negara.
Dengan demikian, belum diketahui secara resmi dan jelas di mana lokasi garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam. Padahal, jika titik koordinat diketahui secara luas, maka publik juga bisa tahu lokasi mana secara persis yang menjadi klaim kedua negara.
Dalam kertas analisis yang dipublikasikan secara resmi, IOJI menyebutkan kalau deteksi dugaan kegiatan IUUF muncul karena peta yang digunakan masih berupa peta lama dan disepakati oleh Indonesia dan Vietnam pada 2003 atau 20 tahun yang lalu.
Peta lama memuat garis batas ZEE klaim unilateral Indonesia dan garis landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam. Klaim tersebut menjadi garis-garis batas maritim yang disepakati kedua negara saat itu.
Anggota tim peneliti keamanan maritim IOJI Gabriela Gianova menjelaskan, deteksi aktivitas IUUF oleh Kapal berbendera Vietnam berlangsung di LNU selama Januari hingga Maret 2023. Sebanyak enam kapal terdeteksi melalui sistem identifikasi otomatis (AIS) dari Marine Traffic, dan 16 kapal lainnya terdeteksi oleh citra satelit yang beroperasi di wilayah non sengketa LNU milik European Space Agency (ESA).
Tetapi, dia mengingatkan jika semua kapal yang terdeteksi tersebut bisa jadi adalah kapal penangkap ikan yang sama. Jadi, deteksi terhadap 22 kapal tersebut tidak bisa dihitung secara manual dengan menjumlahkannya menjadi total 22 kapal.
baca : Siskamling Laut KKP: Kapal Asing Vietnam Ditangkap di Natuna Utara
Menariknya, tak hanya kapal penangkap ikan saja yang berhasil terdeteksi oleh IOJI, namun juga ada kegiatan patroli kapal-kapal Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VFRS) di wilayah LNU dengan pola patroli sama seperti sebelum disepakatinya garis batas ZEE Indonesia dan Vietnam.
Dari deteksi, diketahui ada sebanyak delapan kapal VFRS yang berpatroli di sepanjang garis batas landas kontinen Indonesia-Vietnam pada periode 1 Desember 2022 sampai 9 Februari 2023. Itu membuktikan kalau kapal milik VFRS sudah beroperasi jauh sebelum pembaruan kesepakatan antara kedua negara pada Desember 2022.
Itu juga menegaskan bahwa kapal-kapal tersebut melaksanakan operasinya secara intensif di area tumpang tindih klaim ZEE, sekaligus bertentangan dengan prinsip exercise restraint atau menahan diri, serta melanggar kewajiban saling menghormati (due regard obligation).
Vietnam sebagai negara bendera kapal seharusnya memastikan kapal-kapal berbendera mereka tidak terlibat IUUF di wilayah ZEE negara lain. Termasuk, dengan mengendalikan kapal-kapal dimaksud agar tidak mengeksploitasi area tumpang tindih klaim ZEE.
Agar tidak semakin meluas, IOJI merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk segera mempublikasikan titik-titik koordinat batas ZEE Indonesia dan Vietnam sesuai kesepakatan pada Desember 2022.
Kemudian, mempercepat penguatan sarana dan prasarana untuk pengamanan laut di Natuna yang merupakan salah satu proyek besar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dan salah satu kegiatan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2023 merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022.
Rekomendasi berikutnya, harus ada langkah hukum yang terhadap Pemerintah Vietnam, berkaitan dengan IUUF yang dilakukan KIA mereka dan kapal milik VFRS di area sengketa dan non sengketa LNU. Langkah hukum diperlukan untuk menyelesaikan sengketa seperti diatur dalam Pasal 287 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
UNCLOS sendiri mengatur bahwa kedua negara yang sedang dalam proses perundingan batas maritim wajib untuk membuat sebuah perjanjian Sementara, agar aktivitas manusia di area yang belum selesai batas maritimnya tersebut tetap dapat terlaksana dengan kondusif dan minim konflik.
baca juga : Tahun Berganti, Sengketa Laut Masih Belum Berakhir di Natuna
Berkaitan dengan Indonesia dan Vietnam, jauh sebelum disepakatinya garis batas ZEE kedua negara pada Desember 2022, kapal-kapal ikan Vietnam telah beroperasi secara intensif di area tumpang tindih klaim ZEE Indonesia-Vietnam di LNU dan bahkan jauh sampai ke bagian selatan dari area tumpang tindih klaim ZEE yang merupakan wilayah ZEE Indonesia.
Aktivitas kapal ikan Vietnam dan VFRS ini jelas melanggar hak berdaulat Indonesia. Pemerintah Indonesia berwenang menindak pelanggaran-pelanggaran tersebut, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana.
Kemudian, penggunaan pair trawl oleh KIA Vietnam juga berdampak pada kerusakan karang sebagai habitat ikan. Alat penangkapan ikan (API) tersebut bisa merusak sumber daya ikan (SDI) dan dilarang penggunaannya di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Pengamanan Laut
Panglima Komando Armada TNI Angkatan Laut Erwin S Aldedharma mengakui ada sejumlah kendala dalam pelaksanaan tugas keamanan laut (kamla) di wilayah LNU, salah satunya adalah dukungan logistik dan bahan bakar.
“Logistik dan bahan bakar kami masih terbatas, jadi kurang mampu memaksimalkan tugas di Laut Natuna Utara yang sangat luas,” ungkap dia.
Sementara, Deputi Operasi dan Latihan Badan Kamla Republik Indonesia (Bakamla RI) Bambang Irawan menyatakan bahwa kegiatan IUUF memang masih menjadi ancaman tertinggi di perairan Indonesia.
Menurut dia, saat ini nilai Indeks Keamanan Laut Indonesia (IKL) masih berada di angka 53, berarti kondisinya sudah cukup. Akan tetapi, perbaikan untuk memperkuat kamla masih akan terus dibutuhkan agar lebih maksimal dan terus membaik.
Untuk meningkatkan keamanan laut pula, Bakamla sudah memetakan proyeksi ancaman di perairan Indonesia sekaligus menyusun perencanaan terkait implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2022.
“PP tersebut mengatur kebijakan nasional terkait keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia,” papar dia.
baca juga : Catatan Akhir Tahun: Angan-angan Menyelamatkan Laut Natuna
Selain kegiatan IUUF, citra satelit juga menunjukkan ada tumpahan minyak di sejumlah titik perairan yang ada di dalam wilayah perairan dalam negeri dan wilayah perairan yang menjadi batas Indonesia dengan negara lain.
Tumpahan-tumpahan minyak tersebut tentu sangat membahayakan ekosistem laut dan kawasan konservasi, termasuk terumbu karang yang hidup di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia.
Salah satu contoh pencemaran laut dari kapal yang melintas adalah kapal ALESSA, kapal tanker berjenis Chemical Tanker yang berbendera Indonesia dan dimiliki oleh PT Mitra Sinar Maritim. Pada 7 Maret 2023, Kapal itu terdeteksi melintas di perairan sebelah timur Simeulue, Sumatera Utara.
Kemudian, ada juga tumpahan minyak sepanjang 7 km yang terdeteksi pada 16 Maret 2023 di sebelah timur perairan Johor, Malaysia. Tumpahan minyak tersebut hanya berjarak 50 hingga 60 km sebelah utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) pada 16 Maret 2023, arus laut di perairan lokasi tumpahan minyak mengarah ke selatan mendekati Pulau Bintan. Dengan demikian, ada potensi tumpahan minyak tersebut terbawa arus sampai pantai utara Pulau Bintan.
IOJI merekomendasikan agar Pemerintah bisa bekerja sama dengan Malaysia dan Singapura untuk menindak kapal-kapal yang melakukan pencemaran laut yang diakibatkan kegiatan ship to ship transhipment di perairan timur Johor, Malaysia.
Ada juga kapal tanker MT AASHI yang mengalami insiden kebocoran lambung kapal hingga mengalami karam pada 10 Februari 2023 di pantai barat Pulau Nias, Sumatera Utara. Berdasarkan data International Maritime Organization (IMO) kapal ini dimiliki oleh AASHI SHIPPING INC yang beralamat di Liberia.
Berdasarkan lintasannya, kapal berangkat dari pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab menuju Padang, Sumatera Barat. Karamnya kapal tersebut mengakibatkan insiden tumpahan aspal yang meluas sejauh 70 km ke arah utara Pulau Nias dari titik lokasi insiden.
Dampak tumpahan aspal MT AASHI mengancam Kawasan Konservasi Perairan Sawo-Laweha dan sekitarnya yang hanya berjarak 35 km dari lokasi karamnya MT AASHI.
Secara umum, UNCLOS mengatur kewajiban setiap negara untuk melindungi dan menjaga lingkungan laut. Salah satunya pencemaran dari kapal, baik karena kecelakaan atau keadaan darurat, karena pembuangan zat tertentu yang disengaja maupun tidak disengaja, karena desain dan konstruksi kapal dan pengawakan.
Untuk itu, Tim Nasional harus bekerja sama dengan berbagai instansi yang relevan, termasuk INTERPOL melalui Divisi Hubungan Internasional POLRI, negara bendera kapal, negara pelabuhan asal dan pihak-pihak lain untuk melakukan verifikasi keabsahan dokumen kapal.
Selain itu, IOJI merekomendasikan agar seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia membentuk dan memastikan kesiapsiagaan Tim Daerah Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 263 Tahun 2020 tentang Prosedur Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak (tier 3) di Laut.