- Guna mencari keadilan atas dugaan tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran Polres Halmahera Timur, dua warga Tobelo Dalam, Maluku Utara, ajukan gugatan praperadilan.
- Gugatan ini menyusul setelah dua warga Tobelo terjerat hukum dengan tudingan sebagai pelaku pembunuhan warga Desa Tukur-tukur pada Oktober 2022.
- Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, yang hadir dalam persidangan mengatakan, gugatan praperadilan ini dilakukan karena diyakini ada tindakan pelanggaran hukum oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status tersangka kedua masyarakat adat.
- Maharani Caroline, Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam mengatakan, gugatan praperadilan ini meminta Polres Haltim menggugurkan tudingan pembunuhan dan memberikan ganti rugi kepada kedua tersangka, baik materiil maupun imateriil.
Guna mencari keadilan atas dugaan tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran Polres Halmahera Timur, Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maluku Utara, ajukan gugatan praperadilan. Gugatan ini setelah dua warga Tobelo terjerat hukum dengan tudingan sebagai pelaku pembunuhan warga Desa Tukur-tukur pada Oktober 2022.
Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara menerima permohonan gugatan dengan menggelar persidangan perdana praperadilan yang diajukan dua warga Adat Tobelo Dalam (O Hagana Manyawa), Samuel Baikole dan Alen Baikole, pada 2 Mei 2023.
Upaya hukum ini dilakukan karena ada dugaan kesalahan prosedur dan tindakan kesewenang-wenangan oleh Polres Halmahera Timur mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka.
Dalam persidangan dengan Hakim Tunggal, Kemal Syafrudin, kedua tersangka diwakili kuasa hukum dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan LBH Marimoi yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Ada 11 advokat pembela dari Jakarta, Makassar dan Ternate.
Baca juga: Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, yang hadir dalam persidangan mengatakan, gugatan praperadilan ini dilakukan karena diyakini ada tindakan pelanggaran hukum oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status tersangka kedua masyarakat adat.
Tindakan ini, katanya, ada dugaan pelanggaran HAM. Aparat Polres menyita barang tersangka tanpa prosedur. Sejatinya, kata Syamsul, penyitaan barang tersangka harus memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dan harus melalui proses di pengadilan. Hal itu, katanya, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun Peraturan Kapolri No. 14/2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.
Senada dikatakan Maharani Caroline, Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Dia bilang, dugaan aparat melakukan kekerasan seperti menendang, memukul, mengikat tangan warga di kursi, mengintimidasi maupun mengancam agar mereka mau mengakui itu melanggar hukum dan HAM.
Baca juga: Nestapa Orang Tobelo Dalam di tengah Ruang Hidup yang Terus Terancam
Rani mengatakan, gugatan praperadilan ini meminta Polres Haltim menggugurkan tudingan pembunuhan dan memberikan ganti rugi kepada kedua tersangka, baik materiil maupun imateriil.
“Juga harus merehabilitasi nama baik kedua tersangka melalui media lokal dan nasional,” katanya.
Sebelumnya, PPMAN, kata alam menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan terhadap warga adat Suku Togutil, Tobelo Dalam oleh Polres Haltim.
“Korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat interogasi kepolisian, anggota keluarga dibatasi aksesnya bertemu. Mereka dibatasi haknya untuk mendapatkan bantuan hukum pengacara sesuai pilihan dan keputusan korban.”
Penangkapan ini, menurut Alam diduga erat kaitan dengan upaya enam masyarakat adat menggunakan hak hukum membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” hingga mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun di penjara penjara Ternate.
Masyarakat Adat Tobelo Dalam, katanya, sedang berjuang mempertahankan wilayah adat mereka dari ekspansi modal dan pembangunan skala besar. Dia duga, upaya sistematis lewat kriminalisasi ini merupakan cara membungkam suara penolakan masyarakat adat atas pembangunan merusak wilayah adat mereka.
Baca juga: Orang Tobelo Dalam, Hutan Tergerus Hidup dalam Stigma Buruk
*******