- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menyegel reklamasi di salah satu galangan kapal yang ada di Batam. Perusahaan asing tersebut melakukan penimbunan laut seluas satu hektar lebih.
- Sebelumnya reklamasi diprotes puluhan warga, karena berdampak kepada kerusakan laut dan mangrove.
- KKP sedang gencar melakukan penyegelan terhadap perusahaan yang melakukan reklamasi tanpa izin. Setidaknya sejak akhir 2022 hingga Mei 2023 sudah enam titik perusahaan yang disegel di Provinsi Kepri. Seluruh perusahaan dikenakan sanksi administratif.
- Menurut WALHI, sanksi administratif bentuk lain dari pemutihan kejahatan lingkungan. Seharusnya kasus dibawa ke pengadilan, apalagi UU Cipta Kerja sudah inkonstitusional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menghentikan proyek reklamasi di pesisir Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kali ini reklamasi yang dihentikan merupakan perusahaan galangan kapal milik PT. Blue Steel Industries (BSI) di Batam.
Penyegelan berlangsung pada Jumat, 5 Mei 2023. Setelah tim KKP menemukan indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang laut. Setidaknya terdapat kegiatan reklamasi seluas 1,191 hektar (ha) yang tidak dilengkapi dengan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Temuan itu, berdasarkan investigasi berbasis Intelijen Kelautan (Marine Intelligence) yang dilakukan oleh Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K).
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Laksda TNI Dr. Adin Nurawaluddin mengatakan, kegiatan reklamasi dihentikan sementara waktu, hingga PT. BSI memenuhi perizinan dasar dalam pemanfaatan ruang laut (PKKPRL). “Benar bahwa kami stop sementara proyek tersebut supaya aktivitas pengerukan ini tidak meluas ke arah laut dimana perusahaan tersebut belum memiliki PKKPRL”, ujar Adin dalam siaran pers KKP pada Sabtu, 6 Mei 2023.
Adin menyebutkan bahwa sebelumnya KKP telah memperoleh pengaduan dari masyarakat terkait adanya proyek reklamasi tanpa izin PKKPRL milik PT. BSI. Pihaknya kemudian mengerahkan Polsus PWP3K Pangkalan PSDKP Batam untuk melakukan pengumpulan bahan keterangan di lapangan sejak Februari 2023.
baca : Ketika Perempuan di Batam Tolak Reklamasi
Menurut pengakuan yang disampaikan pihak PT. BSI, pada lahan reklamasi direncanakan akan dilakukan perluasan areal shipyard atau galangan kapal di lokasi reklamasi tersebut. PT. BSI merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bergerak di bidang manufaktur peleburan baja dan galangan kapal.
Total luas lahan proyek milik PT. BSI berdasarkan pengalokasian lahan yang diterbitkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam terhitung seluas 62 ha, yang terdiri dari lahan darat seluas 13 ha bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan ruang laut seluas 49 ha. “Sesuai dengan aturan yang berlaku, proyek reklamasi dihentikan sementara hingga PT. BSI melengkapi perizinan dasar dalam pemanfaatan ruang laut atau PKKPRL,” ujar Adin yang ikut turun ke lokasi reklamasi.
PT. BSI diduga melanggar Pasal 101 ayat (3), pasal 188, pasal 195, pasal 196 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang jo pasal 11 ayat (2) huruf f Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Kelautan dan Perikanan dan telah memenuhi unsur untuk dikenakan Sanksi Administrasi berupa Paksaan Pemerintah dengan Penghentian Sementara Kegiatan Berusaha.
“Tindakan ini juga berdasarkan kepada UU Cipta Kerja, berdasarkan PP No. 21 tahun 2021 tentang penataan ruang, dan juga PP No.85 dan selanjutnya, terkait penyelenggaraan bidang kelautan dalam PP No.27/2021, selanjutnya terkait pelaksanaan sanksi administratif yaitu permen 31 2021,” kata Adin.
Lebih lanjut Adin mendorong PT. BSI untuk segera memenuhi perizinan dasar dalam Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Pengajuan PKKPRL dapat dilakukan melalui sistem terpadu satu pintu (online single submission/OSS) yang menyertakan rencana pengambilan sumber material reklamasi, rencana pemanfaatan lahan reklamasi, gambaran umum pelaksanaan reklamasi, serta jadwal rencana pelaksanaan reklamasi. “Tentunya reklamasi (tanpa izin) itu berdampak kepada kerusakan ekosistem mangrove,” katanya.
baca juga : Reklamasi Pesisir Batam, Luhut Ingatkan Pembangunan Jaga Lingkungan
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa Pemerintah telah memetakan tingkat risiko usaha sesuai dengan bidang usaha dalam Peraturan Pemerintah No.5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Dalam aturan tersebut, reklamasi termasuk dalam kategori kegiatan usaha dengan resiko tinggi.
Untuk itu, Menteri Trenggono terus mendorong jajaran Ditjen PSDKP KKP untuk memastikan kegiatan pemanfaatan ruang laut sesuai dengan aturan yang berlaku supaya tidak mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan.
Walhi Minta Kasus Dibawa ke Pengadilan
Setidaknya dalam kurun waktu Desember 2022 hingga Mei 2023 ini, KKP sudah menghentikan lima kasus reklamasi yang bermasalah di Provinsi Kepulauan Riau. Tiga diantaranya berada di Kota Batam.
Data itu berdasarkan siaran pers yang dibagikan KKP kepada awak media. Kasus penyegelan pertama, 14 Januari 2023 lalu. KKP menghentikan pembangunan terminal khusus perusahaan tambang pasir kuarsa PT BBP di Batu Putih, Desa Teluk, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri.
Pembangunan terminal di ruang laut itu ditemukan tidak memiliki izin PKKPRL. Luasan ruang laut yang sudah direklamasi hampir mencapai setengah hektar. KKP juga menemukan reklamasi tanpa izin ini dipastikan merusak pesisir laut di Desa Teluk, Lingga.
Kemudian pada 4 Februari 2023, KKP memasang papan segel di dua reklamasi sekaligus di Batam. Yaitu di kawasan perusahaan PT. BSSTEC dan PT. MPP. Alasan penghentian karena kedua perusahaan tak memiliki dokumen izin reklamasi dan PKKPRL. KKP menegaskan kedua perusahaan melakukan pembangunan di luar lokasi perizinan yang mereka miliki.
Tidak hanya menyasar perusahaan-perusahaan besar, KKP juga melakukan penyegelan kepada perusahaan pelaku pariwisata di Kepri. Yaitu PT PB yang melakukan pengelolaan resort dan destinasi wisata Pulau Bawah, Anambas.
Hasil penyelidikan KKP, perusahaan ini tidak memiliki empat izin untuk mengelola pulau-pulau kecil, yaitu PKKPRL, perizinan berusaha, izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing dan izin pengusahaan pariwisata alam perairan di kawasan konservasi.
Pelanggaran ruang laut yang dilakukan perusahaan diatas, rata-rata dikenakan sanksi administrasi. Aktivitas pemanfaatan ruang laut termasuk reklamasi dihentikan sementara waktu sampai perusahaan melengkapi syarat yang dibutuhkan.
baca juga : Korupsi Proyek Reklamasi, Bisa Terjadi di Seluruh Indonesia
Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengkritik tindakan KKP yang hanya memberikan sanksi administratif kepada perusahaan yang memanfaatkan ruang laut tidak sesuai izin. Apalagi, aktivitas-aktivitas tersebut sudah menyebabkan kerusakan lingkungan seperti ekosistem mangrove yang rusak.
Seharusnya, kata Parid, kasus seperti ini dibawa ke pengadilan karena termasuk kejahatan lingkungan yang seperti dimandatkan dalam UU No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Kalau hanya sanksi administratif, jadinya seperti pemutihan kejahatan lingkungan. Kalau sudah melanggar, ketemu dulu, perbaiki (lengkapi syarat), setelah lengkap dilanjutkan, itu bahaya sekali, itu memutihkan kejahatan lingkungan,” katanya, kepada Mongabay Indonesia, Minggu, 7 Mei 2023.
Apalagi, landasan hukum KKP salah satunya juga berdasarkan UU Cipta Kerja, dimana sampai sekarang ini aturan tersebut dalam logika hukumnya masih inkonstitusional. “Kalau selama dua tahun tidak diperbaiki, artinya UU Ciptaker ini tidak bisa dipakai, makanya aturannya kembali ke dalam dua Undang-undang diatas,” katanya.
“Kita berhadapan situasi mengerikan kenaikan air laut, pulau kecil terancam tenggelam. Seharusnya prioritas ke situ, tetapi ini tidak. Malahan bicara bagaimana reklamasi yang sesuai aturan, bukan bicara dampak pulau dari krisis iklim,” kata Parid.